never ending; bencana jember Undercover


Narasumber Seminar sehari ”Teologi Lingkungan ; Never Ending, Panti Under Cover dan Fasilitator Pelatihan ”Manajemen Bencana dan Pendidikan Lingkungan Hidup”, di selenggarakan oleh PMII Cabang Jember, 18-20 Maret 2006

Setelah dua bulan setengah lebih, bencana banjir longsor (lebih tepatnya tragedi) yang di Kecamatan Panti dan sekitarnya di Kab.Jember awal tahun ini (2 januari 2006). Masyarakat korban, masih belum di urus secara benar oleh para pihak yang harusnya bertanggungjawab. Bencana memang ”bukan takdir”, khususnya longsor dan banjir. Sebab temuan Bakorsutarnal di kawasan lereng selatan Gunung Argopuro yang menjangkau wilayah bencana ini, terjadi penambahan ”perbatasan” kawasan hutan industri dan perkebuan komoditi eksport sejauh 1,5 KM.

Berbagai bendera organisasi politik, perusahaan dan aneka kelompok2 ormas berlomba-lomba mengibarkan benderanya. Satu sisi niat membantu para korban, pada dasarnya baik sih. Apalagi kalau tanpa tendesi promosi, pasti lebih membuat korban senang.

Hari ini sekelompok mahasiswa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cab. Jember mengundangku jadi narasumber membedah masalah bencana yang memang bukan takdir ini. Alam memang bukan obyek, tetapi setelah renaisance itulah manusia mulai berani melawan keseimbangan alam dengan menyebut sumber daya alam adalah obyeknya dan manusia dianggap subyek. Hingga eksploitasi yang berwujud keserakahan itu mengoyak keseimbangan.

Dihisap terus menerus, sang ”subyek” alam. Maka titik keseimbangannya rapuh. Persis tema seminar satu hari ini tentang teologi lingkungan. Dimensi alam mewujud dalam ”jagad cilik” pada manusia, seperti halnya kandungan air yang ada di tubuh manusia hingga 70 persen adalah wujud kecil dari ”jagad bumi” di tengah jagad raya yang luas ini.

Keseimbangan energy subyek antar subyek. Kadang manusia terlalu naif mempersepsikan bumi dan alam ini sebagai obyek. Dalam pendekatan teologi tentu ini tidaklah dibenarkan, karena alam itu sendiri punya ”hidup dan kehidupannya”. Hujan sudah dari dulu, kenapa tidak longsor dan banjir di Jember tidak terjadi dari dulu. Ya karena hutan itu telah berganti menjadi kebun kayu, sungguh telah mengingkari gunung dan dataran tinggi itu sebagai penyangga kehidupan.

Seminar usai, dilanjutkan dengan pelatihan pengenalan lingkungan dan advokasi lingkungan hidup di daerah pasca bencana. Selamat wahai para pemuda yang tidak hanya asyik study di ruang kelas kampus saja. Peserta dari PMII cabang se jatim dan khususnya dari kawasan tapal kuda Jawa Timur. Sedianya fasilitator workshop untuk internal, eh ga tahunya di dapuk jadi narasumber plus fasilitasi. ya sudahlah dijalani aja, kadung di lokasi acara juga dan sudah biasa koq kena sampur yang tiba-tiba seperti ini…. hidup pasti menemukan jalan…

eksploitasi lingkungan timbulkan kemiskinan


Narasumber Seminar ”Manajemen Penanggulangan Bencana”, diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Regional (LKPR) Surabaya, 2 Maret 2006. Bertempat di Hotel Santika JL. Pandegiling dialog ini dilakukan. Disaster manajemen lagi hangat dibicarakan saat bencana meluas terjadi dimana-mana, setalah Jember kawasan Wonosalam Kab. Jombang juga longsor, setelah itu jalur kediri malang juga longsor. Kemudian di susul di Banjarnegara juga longsor.

Benar-benar negeri bencana buat indonesia pada tahun 2006 ini, Pulau Jawa khususnya, sangat rentan terhadap ini. Di panel Sekretaris Daerah Provinsi DR. Soekarwo yang mewakili Gubernur Jawa Timur, kusampaikan gagasan manajemen bencana terpadu dari pra, pada saat dan pasca bencana, beserta konsep pengelolaan lingkungan. Menarik dalam dialog ini, karena ada perwakilan korban yang juga diundang entah dihadirkan.

Ada perdebatan yang tak terelakkan saat Sekda bilang, bahwa penyebab kerusakan lingkungan adalah kemiskinan. Kontan saja ini membuat aku tertarik untuk sampaikan data dan fakta yang ada. Kutanya semua audiens apakah yang mencemari sungai-sungai dengan kandungan Logam Berat, Mangan yang jadi bahan baku air minum warga kota Surabaya adalah warga biasa? Atau oleh para orang kaya pemilik pabrik yang tidak mengelola limbahnya? Yang mengelola hutan seluas hampir 800ribu hektar di Jawa Timur menjadi hutan produksi apakah rakyat atau PT.Perhutani, yang menguasai pertambangan baik galian C, maupun tambang minyak dan gas apakah rakyat miskin atau para kapitalis? Dan yang merambah kawasan ruang terbuka hijau di perkotaan menjadi Pomb Bensin, Pertokoan,perumahan real estate, apakah developer dan ditinggali orang kaya atau oleh rakyat miskin? Yang mengelola Pemandian Air Panas Padusan Pacet yang diterjang banjir bandang akhir tahun 2003 apakah rakyat miskin atau instansi resmi? Ya tidak tersedia fakta yang cukup jelas keterlibatan si miskin dalam perusakan lingkungan. Justru mereka adalah korban yang tidak dipenuhi hak azasinya dan tidak diberi pilihan untuk menjadi lebih baik dan sejahtera.

Kontan dialog menjadi ramai dan dinamis. Inilah keniccayaan birokrat yang melihat kenyataan secara serampangan tanpa empati, menjadi tak berdaya saat dihadapkan pada temuan empiris. Dialektika mengajarkan kepada kita untuk melihat tesis pragmatis para birokrat yang selalu ingin berkampnye tentang hal baik, tanpa rasa malu sedikitpun untuk melihat problem klasik mereka ”tidak koordinatif: antar instansi sehingga antar sektor juga jalan sendiri-sendiri. Sampai kapan diakhiri?

Tentu tidak perlu kita menjawabnya, sebab yang dibutuhkan dalam bencana adalah kesadaran bahwa bencana telah menunggu saja bergiliran di tempat-tempat lain, terutama banjir dan longsor… selain kejadian fenomena alam seperti gempa bumi, gunung meletus dan tsunami seperti di Banyuwangi tahun 1991 dan di Aceh di akhir tahun 2005… melangkah kemanapun bencana sudah mengintai, tetapi ini tidak akan menghentikan kita untuk menemukan kehidupan yang lebih ceria dan warna-warni dalam membangun pasca bencana

Freeport Penjahat HAM


Gerakan adalah energy yang terus mengalir dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kebutuhan manusiawi, entah melalui pikiran, tulisan, teriakan sampai angkat senjata. Kekerasan adalah bisa jadi merupakan sebab utama yang melahirkan perlawanan, atau justru perlawanan itu sendiri yang mengakibatkan munculnya strategi kekerasan “dalam arti berjuang sampai mati?”. Meski sejarah telah begitu banyak mencatat gerakan adalah manifestasi dari kerinduan kedamaian, kebahagiaan untuk menjadikan sekelompok masyarakat manusia mendapatkannya.

Papua dengan semua perjalanannya memang tidak bisa dilepaskan dari hadirnya berbagai kekerasan. Disaat 200 ton sehari emas di tambang oleh PT.Freeport Mc Moran, ternyata di nabire dan sekitar manokwari terjadi busung lapar, betapa emas dan aneka tembaga, nikel, batubara yang ada disana di keruk demi keuntungan Freeport. Negara (pemerintah) lebih memilih berkompromi dengan penambang sekaligus perusak dan penyebab terjadinya berbagai kekerasan.

Saat masyarakat Amungme dan 40 lebih suku lainnya di tahun 1970-an melakukan perlawanan, mereka akhirnya di bumi hanguskan perkampungannya. Sebuah kerja latihan ”perang domestik” menghajar masyarakat adat yang semestinya adalah pemilik dari tanah leluhurnya. Betapa arif masyarakat ini memandang kawasan, bahwa puncak gunung sampai tengah merupakan kepala ibu, sementara kawasan tengah (lereng-lembah, DLL) adalah rahim ibu. Sementara dari dataran terendahnya gunung sampai hilir laut adalah kaki ibu, sebuah kearifan yang begitu mulia. Telah dihancurkan oleh pemerintah yang bersengkokol dengan capital. Sejak itulah orde baru memunculkan stigma, bahwa di papua telah ada Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), yang dipakai untuk melegitimasi lahirnya kekerasan menghajar masyarakat papua dan berbagai wilayah lain, seperti Timor Timur, Ambon, Aceh, DLL.

Setelah, dibakar kampungnya 500 orang meninggal, ratusan anak menjadi yatim, ratusan ibu-ibu menjadi janda. Belum usai kekerasan fisik itu dilakukan (layak sebagai kejahatan HAM Berat), TNI waktu itu bersama pemerintahan meminta masyarakat pindah, sebab daerah tinggalnya diatas akan jadi perluasan pertambangan. Ketika mereka pindah ke dataran rendah itulah pertama kali mereka mengenal penyakit malaria, tentu saja dataran rendah tidak seperti tempat mereka di kawasan atas. Ditambah dengan pola hidup dan berproduksi yang berubah. Kemarin (1 minggu lalu), terjadi aksi blokade di pintu 28 di jalan menuju pertambangan Freeport oleh masyarakat.

Dan di Kota-kota besar memicu solidaritas (Makasar, Surabaya, Jakarta dan kota lain) untuk mendukung gerakan itu. Get Out Freeport from Papua! Aktivitas di surabaya diawali dengan dialog dan aku diminta jadi narasumber Diskusi Publik ”Solidaritas Internasional Tutup Freeport”, diselenggarakan Eksekutif Daerah WALHI Jatim dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Surabaya, 15 Maret 2006. Dialog tentu tanpa kekerasan itu yang jadi tradisi kita, sebab kita percaya ini adalah perjumpaan untuk berbagi gagasan dan pengalaman untuk membuat solidaritas yang memang bisa menunjukkan energi gerakan ”terus mengalir” di Kota Surabaya …