Jatim Rawan Bencana


identity-penulis.jpg    Mewaspadai Bencana Alam Di Jawa Timur

Tujuh tahun setelah reformasi kondisi lingkungan hidup di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khususnya sama sekali tidak makin membaik. Berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif di tingkat Propinsi Jawa Timur untuk melakukan rehabilitasi lingkungan hidup lebih bersifat project oriented tanpa ada visi dan strategi yang jelas dan efektif.

Berbagai kisah tragis dan mengenaskan melingkupi sejak tahun 1998 sampai akhir tahun kemarin. Bencana lingkungan terjadi hampir di seluruh pelosok negeri. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia yang menelan korban jiwa 2022 orang. Dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor, (Bakornas BP, 2003). Dengan rincian sebagai berikut ; banjir di 302 lokasi dengan orban jiwa 1066, lonsor 245 lokasi dengan 645 korban jiwa, angin topan 46 lokasi dengan 3 korban jiwa, gempa bumi di 38 lokasi dengan 306 korban jiwa, gunung berapi di 16 kejadian dengan 2 korban jiwa.

Selain di wilayah negeri secara nasional. Di pulau Jawa dan Propinsi Jawa Timur juga mengalami hal yang serupa. Mulai dari bencana banjir bandang yang merendam Ibukota Jakarta dan kota-kota besar lainnya, serta tanah longsor, angin topan juga terjadi di hampir 23 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Dalam catatan WALHI Jawa Timur, bencana yang terjadi tahun 2000 hingga akhir 2004 adalah :

Ket. Tgl/Bln/Th

Lokasi Bencana dan Dampak Yang Di Timbulkan

Akhir Th. 2000

Banjir Bandang di Kab. Situbondo. Mengakibatkan 15 korban jiwa, menghancurkan ratusan rumah, ribuan sawah gagal panen. Aktifitas perkotaan dan jalan jalur luar kota terendam lumpur selama 1 minggu. Menyedot APBD Propinsi Jawa Timur 40 Milyar lebih untuk penanggulangan.

Th. 2001

Kab. Mojokerto, Bojonegoro, Lamongan, Gresik. Terkena luapan sungai Brantas dan Bengawan Solo akibat adatanggul yang jebol. Ribuan hektar sawah gagal panen, timbulnya penyakit diare dan gatal-gatal yang cukup luas di derita oleh masyarakat di sekitar kawasan sungai dan yang kebanjiran.

Th. 2002

· Banjir Bandang dan longsor Pemandian Air Panas Wana Wisata Padusan Pacet Mojokerto, 11Desember 2002. Menewaskan 24 orang (anak-anak, remaja, orang Dewasa) dan 2 orang hilang, puluhan luka berat dan ringan, serta puluhan lain mengalami trauma.

· Banjir bandang di Malang selatan th.2002, 10 orang meninggal, ribuan hektar sawah gagal panen

Th. 2003

· Pada bulan Januari-Agustus 2003 peristiwa bencana alam di Jawa Timur telah mengakibatkan sedikitnya 5 orang meninggal dunia, 6.842 hektar sawah rusak, 8.880 hektar tegalan rusak, dan sedikitnya 11.299 rumah rusak.

· Banjir bandang Mojokerto th.2003, 7 jembatan ambrol, ribuah hektar sawah gagal panen, puluhan rumah terendam air dan lumpur, banyak saluran air “anak sungai” mati karena alirannya berubah.

· Banjir dan tanah longsor di Sitiarjo Kabupaten Malang yang mengakibatkan 3 (tiga orang tewas) serta ratusan sawah dan rumah rusak berat

· pada tanggal 13 November 2003, juga banjir bandang dan tanah longsor di Tulungagung, Situbondo, Magetan, mengakibatkan rusaknya lingkungan dan menelan kerugian material yang tidak sedikit.

Th. 2004

· Banjir bandang Blitar Selatan th.2004 (16 orang meninggal, ribuan hektar sawah gagal panen, ratusan hewan ternak dan harta benda lainnya hanyut terbawa arus banjir).

· pada bulan Desember 2004 terjadi banjir yang melanda di beberapa wilayah mulai dari Kabupaten Blitar, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Lumajang, Bojonegoro, Gresik, Lamongan, Jember, Trenggalek, dan Pacitan. Tetapi, yang paling parah di Kab. Blitar pada akhir tahun 2004.

Selain korban jiwa, ternyata jelas ada kerugian ekonomi, lingkungan dan sosial yang sangat besar. Tidak menutup kemungkinan luas wilayah maupun jumlah kerugian akan bertambah jika dilihat dari kondisi lingkungan hidup yang belum menunjukkan arah kebaikan pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006.

Konsep pembangunan dengan asas pertumbuhan (growth development) yang dilakukan selama ini telah menimbulkan eksploitasi sumberdaya alam yang sulit diperbaharui. Misalnya, adanya penebangan hutan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan ekosistem yang cenderung merusak (destruktive logging), baik dilakukan secara legal (legal logging) maupun secara illegal (illegal logging), baik di hutan alam maupun hutan produksi. Berdasarkan Luas hutan di Jawa Timur yang mencapai 1.357.206,30 ha lebih dari 700.000 ha mengalami rusak parah yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh hutan di Jawa Timur telah rusak. Padahal, luas hutan 1.357.206,30 ha hanya 28,4% dari luas keseluruhan daratan Jatim yang mana secara ideal dalam suatu kawasan luas hutan adalah 30% dari luas daratan. Artinya, untuk mencapai luas hutan yang ideal Jawa Timur semestinya masih kekurangan 76.675 ha. Kemudian, darimana mendapatkan luas hutan yang ideal sementara laju kerusakan hutan saja mencapai 30% tiap tahunnya.

Dari Luas 1.357.206,3 ha tersebut, menurut laporan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur (th.2003), sedikitnya 660.000 ha atau lebih dari 50% dalam kondisi telah rusak yang diakibatkan oleh illegal logging dan kebakaran. Dari jumlah itu, 500.000 ha berada di luar kawasan lindung dan 160.000 ha sisanya berada di kawasan hutan lindung dalam wilayah kelola Perhutani. Sementara itu, berdasarkan data Satelit Citra Land-Sat tahun 2001 menunjukkan bahwa kawasan hutan Jawa Timur yang gundul 120.000 ha. Jika dibandingkan dengan tahun 2001 tingkat penggundulan tahun 2003 mengalami kenaikan lebih dari 30% (KOMPAS edisi Jawa Timur, 2 Agustus 2003).

Untuk melakukan antisipasi dari situasi ancaman rentan bencana alam akibat krisis lingkungan ini. Hendaknya mulai dari saat ini pemerintah mempersiapkan langkah-langkah jangka pendek dan panjang. Tetapi keduanya harus dalam satu langkah managemen bencana terpadu (Disaster Management Integrated). Yang kesemuanya dalam dimensi tindakan pencegahan, penanganan keadaan darurat (emergency respon), penaggulangan/rehabilitasi.

Untuk langkah jangka pendek, yang bisa ditempuh dalam menghadapi curah hujan yang tinggi menjelang mudik lebaran di hampir 23 Kabupaten/Kota di Jawa Timur (Kompas, 18/10/2005), sebaiknya pemerintah Provinsi atau kaputen/kota harus menjalin kerjasama dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) untuk mengetahui curah hujan dan kondisi perubahan alam. Kedua, pemerintah harus memiliki data base wilayah yang rawan terjadi bencana, kemudian menginformasikan secara terbuka kepada masyarakat luas. Ketiga, daerah yang memiliki rawan bencana jauh-jauh hari harus mengalokasikan dana dan menyiapkan tempat untuk merelokasi warganya yang dimungkinkan akan terkena bencana.

Sedangkan untuk jangka panjang, sebaiknya dilakukan reformasi secara menyeluruh dalam hal pengelolaan lingkungan, terutama landasan dan penegakan hukum pengelolaan lingkungan. Misalnya saat ini sedang dibahas Raperda RTRW (rencana tata ruang propinsi) Jawa Timur. Sebaiknya jangan di dominasi oleh eksekutif, legislatif dan para konsultan yang dibayar untuk membuat dokumen itu. Tetapi melibatkan multi stake holder yang dalam hal ini akan terkena dampak dan berkepentingan terhadap masa depan penataan ruang di Jawa Timur. Sebab tidak sedikit akibat salah kelola ruang, terjadi degradasi alam yang berkontribusi pada krisis lingkungan dan akhirnya berujung pada bencana alam. Karena indikasi Jawa Timur sebagai daerah padat modal “investasi” jelas akan banyak proyek-proyek besar. Mulai pertambangan, waduk, jalan lintas selatan dan terjadinya alih fungsi lahan untuk proyek infrastruktur menyiratkan ancaman akan terjadinya bencana secara luas.

Akhirnya, sudahkah kita siap menghadapi tahun penuh ketidakpastian, bencana dan konflik yang berpotensi terjadi di Jawa Timur di akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006 dengan sumber daya yang ada saat ini?



Hentikan Banjir Longsor di Hulu, gampang!


Menyelamatkan Hutan Jatim, Menjauhkan Longsor dan Banjir

 
Hutan merupakan salah satu lingkungan alam yang mempunyai peran sangat besar dalam mensuplai kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh manusia dari alam seperti air, oksigen, bahan-bahan makanan dan obat-obatan yang seharusnya dijaga kelestariannya. Selain fungsi ekologis, hutan juga mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Tentu saja jika pengelolaannya melibatkan masyarakat komunitas terorganisir dan tercerahkan dipinggiran hutan, bahwa antara mereka dengan alam sekitarnya adalah tidak terpisah.  

Faktanya kondisi hutan di Jawa Timur saat ini sangat memprihatinkan, salah satu faktornya karena manajemen dan penebangan hutan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan ekosistem, tetapi malah cenderung merusak (destruktive logging), baik dilakukan secara legal (legal logging) maupun yang dilakukan secara illegal (illegal logging) baik di hutan alam maupun hutan produksi.

Laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan tahun 2003 menyebutkan,  luas hutan di Pulau Jawa tinggal 4% saja.  Sementara Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan kawasan hutan di Pulau Jawa seluas 3.289.131 keadaannya menyedihkan.  Luas lahan kritis di Pulau Jawa mencapai 1,714 juta hektar atau 56,7 % dari total luas hutan  yang ada di Jawa (Kompas, 9 Fepruari 2003).  Perinciannya, hutan lindung atau hutan konvervasi yang rusak seluas 567.315 hektar serta kawasan hutan produksi tak berpepohonan mencapai 1.147.116 hektar. Kondisi itu diperparah dengan meluasnya lahan kritis mencapai 9, 016 juta hektar. Sehingga total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau 84,16% dari seluruh luas Pulau Jawa. Menurut data Satkorlak PB bencana di Indonesia (1997-2003), tercatat sebagai berikut : telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia yang menelan korban jiwa 2022 orang. Dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor, (Bakornas BP, 2003). Dengan rincian sebagai berikut ; banjir di 302 lokasi dengan korban jiwa 1066, longsor di 245 lokasi dengan 645 korban jiwa dan angin topan di 46 lokasi dengan 3 korban jiwa,

Hutan di Jawa Timur terbagi atas Hutan Produksi (881,889,50 ha) atau  59,78% %, Kawasan Lindung seluas (545,754.10) atau 40,22 % yang terdiri dari, Hutan Lindung (312,636.5 ha), dan hutan Konservasi yang terdiri dari Cagar Alam (10,947.9 ha), Suaka Margasatwa (18,008.6), Taman Wisata (297.5 ha), Taman Nasional (175,994.8 ha), Taman Hutan Raya (27,868.3 ha).

Luas wilayah Provinsi Jawa Timur adalah 4.834.483 ha. Sedangkan luas hutan di Jawa Timur yang mencapai 1,357,206.30 ha, saat ini lebih 700.000 ha mengalami rusak parah. Ini berarti lebih dari separoh hutan di Jawa Timur telah rusak, padahal dengan luas yang hampir 5 juta ha jawa timur seharusnya mempunyai luas lahan 30% untuk kawasan hutan atau sekitar 1.450.344 ha. Sedangkan kondisi hutan Jawa Tmur saat ini dari Luas 1,357,206.3 ha yang semula ada telah megalami kerusakan yang sangat parah. Menurut laporan dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur  sedikitnya 660.000 ha atau lebih dari 50% telah rusak yang diakibatkan oleh illegal logging dan kebakaran. Dari jumlah  itu, 500.000 ha berada di luar kawasan lindung, sementara sisanya 160.000 ha berada di kawasan hutan lindung dalam wilayah kelola Perhutani.

Jika disimak dari data diatas saat ini kondisi kawasan hutan di Jawa Timur tinggal 12 % (0,96 juta ha) dari luas Provnsi  Jawa Timur, jadi sangat jauh di bawah tingkat 30% seperti yang diatur dalam UU 41/99 tentang kehutanan. Sebab itu merupakan titik keamanan minimum yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi.

Salahsatu faktor kerusakan hutan adalah manajemen pengelolaan hutan yang monokultur (seragam), unsustainable (tidak berkelanjutan) dan demi akumulasi modal belaka (ecokapitalisme), hal itu terlihat melalui praktek hutan tanaman industri atau hutan produksi. Fakta memperlihatkan dalam prakteknya hutan yang mestinya beragam tanaman itu diubah menjadi tanaman seragam laiknya kebun kayu (kayu jati, pinus, mahoni dan lainnya). Dengan manajemen ini pohon yang tumbuh, nantinya ketika tiba jatuh temponya untuk dipanen, illegal atau legal pasti tetap ditebang.

 

Segera Uji Praktek Pengelolaan Hutan Jatim Dengan Sistem Hutan Kerakyatan

Mengingat arti pentingnya keberadaan hutan, maka pengelolaannya harus dilakukan secara arif dan bijaksana. Secara nasional, model kearifan dalam mengelola hutan telah ditunjukkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Pengetahuan dan kebudayaan nusantara yang mereka miliki merupakan warisan dari nenek moyangnya secara turun-temurun. Bahkan kearifan masyarakat dalam mengelola hutan di nusantara ini masih bisa kita jumpai di beberapa tempat. Misalnya Parak di Maninjau, Repong di Krui, Tembawang di Sidasdaya, Simpukng di Bentian, Pangale di Morowali dan masih banyak lainnya.

Pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut, kemudian dikenal dengan istilah Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Sayangnya, SHK belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal SHK telah terbukti mampu mempertahankan fungsi hutan, dan sekaligus menjamin kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Bagaimana dengan peluang SHK di Jawa Timur? Tentu saja sangat mungkin itu dilakukan, mengingat di Jawa Timur ada 2467 Desa, di 348 Kecamatan yang berada di 31 Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan hutan. Melihat akar tradisi dan budaya masyarakatnya yang agraris, tentunya aktivitas produksi seputar bertanam, merawat tanaman, beternak, mencari rebung dan biji-bijian merupakan kegiatan keseharian.

Untuk itu perlu dicarikan solusi atas kerusakan hutan yang ada. Salah satunya dengan modal kebudayaan dan tradisi yang masih ada di masyarakat Jawa Timur, perlu dilakukan sebuah uji praktek pengelolaan hutan oleh rakyat di beberapa tempat dengan SHK. SHK adalah konsep pengelolaan hutan yang diawali dari paradigma hutan adalah bukan kayu. Karena sumber daya  hutan selain kayu memang cukup banyak, seperti yang telah dilakukan di banyak tempat ternyata ada madu hutan, rotan, damar, bambu, kerajinan rotan, kerajinan damar, karet, tanaman obat, biji-bijian ”kemiri, kluweg, mlinjo” dan lain sebagainya.

Tetapi paradigma kearifan itu tetap harus di dukung dengan sebuah konsep hubungan makro kosmos ”jagad gede” (alam raya diluar manusia) dan mikro kosmos ”jagad cilik” (dalam diri manusia) seperti dilakukan dibanyak kawasan. Ini adalah konsep hidup tentang  keseimbangan alam raya yang masih bisa kita temui di beberapa masyarakat pinggiran hutan, seperti di Ngeprih Pacet Selatan, di Seloliman Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, di Panderman dan Indrokilo Kota Batu, di kawasan Gunung Wilis Kabupaten Kediri, di Kawasan Gunung Arjuno dan masih banyak tempat lainnya. Melalui ritual ”sedekah bumi” atau ”hutan sebagai ruang hidup” yang masih dilakukan oleh masyarakat, merupakan bentuk-bentuk penghormatan manusia (kawula yang di ciptakan) kepada sang penciptaNya.

 Melalui keyakinan memuliakan tanah yang ditinggali dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberi makanan, mengalirkan air dan memberinya penghidupan adalah karunia yang tiada ternilai harganya. Jika dijaga keberlangsungan dan keseimbangan dalam mengelola lingkungan dan sumber daya alam seperti diatas, sepertinya ancaman malapetaka longsor dan banjir bakal dapat di jauhkan.

 

 

 

 

 

masih ada alternatif kelola hutan jatim


Menyelamatkan Hutan Jatim dengan SHK

Hutan merupakan salah satu lingkungan alam yang mempunyai peran sangat besar dalam mensuplay kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh manusia dari alam seperti air,oksigen, bahan-bahan makanan dan obat-obatan yang seharusnya dijaga kelestariannya. Selain fungsi ekologis, hutan juga mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Tentu saja jika pengelolaannya melibatkan masyarakat komunitas terorganisir dan tercerahkan dipinggiran hutan, bahwa antara mereka dengan alam sekitarnya adalah tidak terpisah.  Faktanya kondisi hutan di Jawa Timur saat ini sangat memprihatinkan, salah satu faktornya karena penebangan hutan yang tidak berorientasi keberlanjutan ekosistem, tetapi malah cenderung merusak (destruktive logging), baik dilakukan secara legal (legal logging) maupun yang dilakukan secara illegal (illegal logging) baik di hutan alam maupun hutan produksi.

Laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan tahun 2003 menyebutkan,  luas hutan di Pulau Jawa tinggal 4% saja.  Sementara Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan kawasan hutan di Pulau Jawa seluas 3.289.131 keadaannya menyedihkan.  Luas lahan kritis di Pulau Jawa mencapai 1,714 juta hektar atau 56,7 % dari total luas hutan  yang ada di Jawa (Kompas, 9 Fepruari 2003).  Perinciannya, hutan lindung atau hutan konvervasi yang rusak seluas 567.315 hektar serta kawasan hutan produksi tak berpepohonan mencapai 1.147.116 hektar. Kondisi itu diperparah dengan meluasnya lahan kritis mencapai 9, 016 juta hektar. Sehingga total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau 84,16% dari seluruh luas Pulau Jawa.

Hutan di Jawa Timur terbagi atas Hutan Produksi (881,889,50 ha) atau  59,78% %, Kawasan Lindung seluas (545,754.10) atau 40,22 % yang terdiri dari, Hutan Lindung (312,636.5 ha), dan hutan Konservasi yang terdiri dari Cagar Alam (10,947.9 ha), Suaka Margasatwa (18,008.6), Taman Wisata (297.5 ha), Taman Nasional (175,994.8 ha), Taman Hutan Raya (27,868.3 ha).

Luas wilayah Provinsi Jawa Timur adalah 4.834.483 ha. Sedangkan luas hutan di Jawa Timur yang mencapai 1,357,206.30 ha, saat ini lebih 700.000 ha mengalami rusak parah. Ini berarti lebih dari separoh hutan di Jawa Timur telah rusak, padahal dengan luas yang hampir 5 juta ha jawa timur seharusnya mempunyai luas lahan 30% untuk kawasan hutan atau sekitar 1.450.344 ha. Sedangkan kondisi hutan Jawa Tmur saat ini dari Luas 1,357,206.3 ha yang semula ada telah megalami kerusakan yang sangat parah. Menurut laporan dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur  sedikitnya 660.000 ha atau lebih dari 50% telah rusak yang diakibatkan oleh illegal logging dan kebakaran. Dari jumlah  itu, 500.000 ha berada di luar kawasan lindung, sementara sisanya 160.000 ha berada di kawasan hutan lindung dalam wilayah kelola Perhutani.

Jika disimak dari data diatas saat ini kondisi kawasan hutan di Jawa Timur tinggal 12 % (0,96 juta ha) dari luas Provnsi  Jawa Timur, jadi sangat jauh di bawah tingkat 30% yang dikatakan sebagai titik keamanan minimum yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi.

Salahsatu faktor kerusakan hutan adalah manajemen pengelolaan hutan yang monokultur (seragam) dan demi akumulasi modal belaka, hal itu terlihat melalui praktek hutan tanaman industri atau hutan produksi. Fakta memperlihatkan dalam prakteknya hutan yang mestinya beragam tanaman itu menjadi kebun kayu (kayu jati, pinus, mahoni dan lainnya). Dengan manajemen ini pohon-poon yang tumbuh dan tiba jatuh temponya untuk masa panennya, illegal atau legal pasti akan ditebang.

Mengingat arti pentingnya keberadaan hutan, maka pengelolaannya harus dilakukan secara arif dan bijaksana. Kearifan dalam mengelola hutan telah ditunjukkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Pengetahuan dan kebudayaan yang mereka miliki merupakan warisan dari nenek moyangnya secara turun-temurun. Bahkan kearifan masyarakat dalam mengelola hutan di nusantara ini masih bisa kita jumpai di beberapa tempat. Sebut saja misalnya Parak di Maninjau, Repong di Krui, Tembawang di Sidasdaya, Simpukng di Bentian, Pangale di Morowali dan masih banyak lainnya.

Pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut, kemudian dikenal dengan istilah Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Sayangnya, SHK belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal SHK telah terbukti mampu mempertahankan fungsi hutan, dan sekaligus menjamin kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Bagaimana dengan peluang SHK di Jawa Timur? Tentu saja sangat mungkin itu dilakukan, mengingat di Jawa Timur ada 2467 Desa, di 348 Kecamatan yang berada di 31 Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan hutan. Melihat akar tradisi masyarakatnya yang agraris, tentunya aktivitas produksinya seputar bertanam, merawat tanaman, beternak, mencari rebung, bambu, kayu bakar, biji-bijian.

Untuk itu perlu dilakukan satu terobosan dalam mencari solusi atas kerusakan hutan yang ada. Salah satunya dengan modal kebudayaan dan tradisi yang masih ada di masyarakat Jawa Timur, perlu dilakukan sebuah uji praktek pengelolaan hutan oleh rakyat di beberapa tempat dengan SHK. SHK adalah konsep pengelolaan hutan yang diawali dari paradigma hutan adalah bukan kayu. Karena sumber daya  hutan selain kayu memang cukup banyak, seperti yang telah dilakukan di banyak tempat ternyata ada madu hutan, rotan, damar, bambu, kerajinan rotan, kerajinan damar, karet, tanaman obat, biji-bijian ”kemiri, kluweg, mlinjo” dan lain sebagainya.

Tetapi paradigma kearifan itu tetap arus di dukung dengan sebuah konsep hubungan makro kosmos ”jagad gede” (alam raya diluar manusia) dan mikro kosmos ”jagad cilik” (dalam diri manusia) seperti dilakukan dibanyak kawasan. Ini adalah konsep hidup tentang  keseimbangan alam raya yang masih bisa kita temui di beberapa masyarakat pinggiran hutan, seperti di Ngeprih Pacet Selatan, di Seloliman Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, di Panderman dan Indrokilo Kota Batu, di kawasan Gunung Wilis Kabupaten Kediri, di Kawasan Gunung Arjuno dan masih banyak tempat lainnya. Melalui ritual ”sedekah bumi” atau ”tegal deso” yang masih dilakukan oleh masyarakat, merupakan bentuk-bentuk penghormatan manusia (kawula yang di ciptakan) kepada sang pencipta melalui memuliakan tanah yang mereka tinggali, yang telah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberi makanan, mengalirkan air dan meberinya kehidupan.