Hentikan Banjir Longsor di Hulu, gampang!


Menyelamatkan Hutan Jatim, Menjauhkan Longsor dan Banjir

 
Hutan merupakan salah satu lingkungan alam yang mempunyai peran sangat besar dalam mensuplai kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh manusia dari alam seperti air, oksigen, bahan-bahan makanan dan obat-obatan yang seharusnya dijaga kelestariannya. Selain fungsi ekologis, hutan juga mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Tentu saja jika pengelolaannya melibatkan masyarakat komunitas terorganisir dan tercerahkan dipinggiran hutan, bahwa antara mereka dengan alam sekitarnya adalah tidak terpisah.  

Faktanya kondisi hutan di Jawa Timur saat ini sangat memprihatinkan, salah satu faktornya karena manajemen dan penebangan hutan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan ekosistem, tetapi malah cenderung merusak (destruktive logging), baik dilakukan secara legal (legal logging) maupun yang dilakukan secara illegal (illegal logging) baik di hutan alam maupun hutan produksi.

Laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan tahun 2003 menyebutkan,  luas hutan di Pulau Jawa tinggal 4% saja.  Sementara Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan kawasan hutan di Pulau Jawa seluas 3.289.131 keadaannya menyedihkan.  Luas lahan kritis di Pulau Jawa mencapai 1,714 juta hektar atau 56,7 % dari total luas hutan  yang ada di Jawa (Kompas, 9 Fepruari 2003).  Perinciannya, hutan lindung atau hutan konvervasi yang rusak seluas 567.315 hektar serta kawasan hutan produksi tak berpepohonan mencapai 1.147.116 hektar. Kondisi itu diperparah dengan meluasnya lahan kritis mencapai 9, 016 juta hektar. Sehingga total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau 84,16% dari seluruh luas Pulau Jawa. Menurut data Satkorlak PB bencana di Indonesia (1997-2003), tercatat sebagai berikut : telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia yang menelan korban jiwa 2022 orang. Dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor, (Bakornas BP, 2003). Dengan rincian sebagai berikut ; banjir di 302 lokasi dengan korban jiwa 1066, longsor di 245 lokasi dengan 645 korban jiwa dan angin topan di 46 lokasi dengan 3 korban jiwa,

Hutan di Jawa Timur terbagi atas Hutan Produksi (881,889,50 ha) atau  59,78% %, Kawasan Lindung seluas (545,754.10) atau 40,22 % yang terdiri dari, Hutan Lindung (312,636.5 ha), dan hutan Konservasi yang terdiri dari Cagar Alam (10,947.9 ha), Suaka Margasatwa (18,008.6), Taman Wisata (297.5 ha), Taman Nasional (175,994.8 ha), Taman Hutan Raya (27,868.3 ha).

Luas wilayah Provinsi Jawa Timur adalah 4.834.483 ha. Sedangkan luas hutan di Jawa Timur yang mencapai 1,357,206.30 ha, saat ini lebih 700.000 ha mengalami rusak parah. Ini berarti lebih dari separoh hutan di Jawa Timur telah rusak, padahal dengan luas yang hampir 5 juta ha jawa timur seharusnya mempunyai luas lahan 30% untuk kawasan hutan atau sekitar 1.450.344 ha. Sedangkan kondisi hutan Jawa Tmur saat ini dari Luas 1,357,206.3 ha yang semula ada telah megalami kerusakan yang sangat parah. Menurut laporan dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur  sedikitnya 660.000 ha atau lebih dari 50% telah rusak yang diakibatkan oleh illegal logging dan kebakaran. Dari jumlah  itu, 500.000 ha berada di luar kawasan lindung, sementara sisanya 160.000 ha berada di kawasan hutan lindung dalam wilayah kelola Perhutani.

Jika disimak dari data diatas saat ini kondisi kawasan hutan di Jawa Timur tinggal 12 % (0,96 juta ha) dari luas Provnsi  Jawa Timur, jadi sangat jauh di bawah tingkat 30% seperti yang diatur dalam UU 41/99 tentang kehutanan. Sebab itu merupakan titik keamanan minimum yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi.

Salahsatu faktor kerusakan hutan adalah manajemen pengelolaan hutan yang monokultur (seragam), unsustainable (tidak berkelanjutan) dan demi akumulasi modal belaka (ecokapitalisme), hal itu terlihat melalui praktek hutan tanaman industri atau hutan produksi. Fakta memperlihatkan dalam prakteknya hutan yang mestinya beragam tanaman itu diubah menjadi tanaman seragam laiknya kebun kayu (kayu jati, pinus, mahoni dan lainnya). Dengan manajemen ini pohon yang tumbuh, nantinya ketika tiba jatuh temponya untuk dipanen, illegal atau legal pasti tetap ditebang.

 

Segera Uji Praktek Pengelolaan Hutan Jatim Dengan Sistem Hutan Kerakyatan

Mengingat arti pentingnya keberadaan hutan, maka pengelolaannya harus dilakukan secara arif dan bijaksana. Secara nasional, model kearifan dalam mengelola hutan telah ditunjukkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Pengetahuan dan kebudayaan nusantara yang mereka miliki merupakan warisan dari nenek moyangnya secara turun-temurun. Bahkan kearifan masyarakat dalam mengelola hutan di nusantara ini masih bisa kita jumpai di beberapa tempat. Misalnya Parak di Maninjau, Repong di Krui, Tembawang di Sidasdaya, Simpukng di Bentian, Pangale di Morowali dan masih banyak lainnya.

Pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut, kemudian dikenal dengan istilah Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Sayangnya, SHK belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal SHK telah terbukti mampu mempertahankan fungsi hutan, dan sekaligus menjamin kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Bagaimana dengan peluang SHK di Jawa Timur? Tentu saja sangat mungkin itu dilakukan, mengingat di Jawa Timur ada 2467 Desa, di 348 Kecamatan yang berada di 31 Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan hutan. Melihat akar tradisi dan budaya masyarakatnya yang agraris, tentunya aktivitas produksi seputar bertanam, merawat tanaman, beternak, mencari rebung dan biji-bijian merupakan kegiatan keseharian.

Untuk itu perlu dicarikan solusi atas kerusakan hutan yang ada. Salah satunya dengan modal kebudayaan dan tradisi yang masih ada di masyarakat Jawa Timur, perlu dilakukan sebuah uji praktek pengelolaan hutan oleh rakyat di beberapa tempat dengan SHK. SHK adalah konsep pengelolaan hutan yang diawali dari paradigma hutan adalah bukan kayu. Karena sumber daya  hutan selain kayu memang cukup banyak, seperti yang telah dilakukan di banyak tempat ternyata ada madu hutan, rotan, damar, bambu, kerajinan rotan, kerajinan damar, karet, tanaman obat, biji-bijian ”kemiri, kluweg, mlinjo” dan lain sebagainya.

Tetapi paradigma kearifan itu tetap harus di dukung dengan sebuah konsep hubungan makro kosmos ”jagad gede” (alam raya diluar manusia) dan mikro kosmos ”jagad cilik” (dalam diri manusia) seperti dilakukan dibanyak kawasan. Ini adalah konsep hidup tentang  keseimbangan alam raya yang masih bisa kita temui di beberapa masyarakat pinggiran hutan, seperti di Ngeprih Pacet Selatan, di Seloliman Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, di Panderman dan Indrokilo Kota Batu, di kawasan Gunung Wilis Kabupaten Kediri, di Kawasan Gunung Arjuno dan masih banyak tempat lainnya. Melalui ritual ”sedekah bumi” atau ”hutan sebagai ruang hidup” yang masih dilakukan oleh masyarakat, merupakan bentuk-bentuk penghormatan manusia (kawula yang di ciptakan) kepada sang penciptaNya.

 Melalui keyakinan memuliakan tanah yang ditinggali dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberi makanan, mengalirkan air dan memberinya penghidupan adalah karunia yang tiada ternilai harganya. Jika dijaga keberlangsungan dan keseimbangan dalam mengelola lingkungan dan sumber daya alam seperti diatas, sepertinya ancaman malapetaka longsor dan banjir bakal dapat di jauhkan.

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar