Jatim Rawan Bencana


identity-penulis.jpg    Mewaspadai Bencana Alam Di Jawa Timur

Tujuh tahun setelah reformasi kondisi lingkungan hidup di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khususnya sama sekali tidak makin membaik. Berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif di tingkat Propinsi Jawa Timur untuk melakukan rehabilitasi lingkungan hidup lebih bersifat project oriented tanpa ada visi dan strategi yang jelas dan efektif.

Berbagai kisah tragis dan mengenaskan melingkupi sejak tahun 1998 sampai akhir tahun kemarin. Bencana lingkungan terjadi hampir di seluruh pelosok negeri. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia yang menelan korban jiwa 2022 orang. Dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor, (Bakornas BP, 2003). Dengan rincian sebagai berikut ; banjir di 302 lokasi dengan orban jiwa 1066, lonsor 245 lokasi dengan 645 korban jiwa, angin topan 46 lokasi dengan 3 korban jiwa, gempa bumi di 38 lokasi dengan 306 korban jiwa, gunung berapi di 16 kejadian dengan 2 korban jiwa.

Selain di wilayah negeri secara nasional. Di pulau Jawa dan Propinsi Jawa Timur juga mengalami hal yang serupa. Mulai dari bencana banjir bandang yang merendam Ibukota Jakarta dan kota-kota besar lainnya, serta tanah longsor, angin topan juga terjadi di hampir 23 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Dalam catatan WALHI Jawa Timur, bencana yang terjadi tahun 2000 hingga akhir 2004 adalah :

Ket. Tgl/Bln/Th

Lokasi Bencana dan Dampak Yang Di Timbulkan

Akhir Th. 2000

Banjir Bandang di Kab. Situbondo. Mengakibatkan 15 korban jiwa, menghancurkan ratusan rumah, ribuan sawah gagal panen. Aktifitas perkotaan dan jalan jalur luar kota terendam lumpur selama 1 minggu. Menyedot APBD Propinsi Jawa Timur 40 Milyar lebih untuk penanggulangan.

Th. 2001

Kab. Mojokerto, Bojonegoro, Lamongan, Gresik. Terkena luapan sungai Brantas dan Bengawan Solo akibat adatanggul yang jebol. Ribuan hektar sawah gagal panen, timbulnya penyakit diare dan gatal-gatal yang cukup luas di derita oleh masyarakat di sekitar kawasan sungai dan yang kebanjiran.

Th. 2002

· Banjir Bandang dan longsor Pemandian Air Panas Wana Wisata Padusan Pacet Mojokerto, 11Desember 2002. Menewaskan 24 orang (anak-anak, remaja, orang Dewasa) dan 2 orang hilang, puluhan luka berat dan ringan, serta puluhan lain mengalami trauma.

· Banjir bandang di Malang selatan th.2002, 10 orang meninggal, ribuan hektar sawah gagal panen

Th. 2003

· Pada bulan Januari-Agustus 2003 peristiwa bencana alam di Jawa Timur telah mengakibatkan sedikitnya 5 orang meninggal dunia, 6.842 hektar sawah rusak, 8.880 hektar tegalan rusak, dan sedikitnya 11.299 rumah rusak.

· Banjir bandang Mojokerto th.2003, 7 jembatan ambrol, ribuah hektar sawah gagal panen, puluhan rumah terendam air dan lumpur, banyak saluran air “anak sungai” mati karena alirannya berubah.

· Banjir dan tanah longsor di Sitiarjo Kabupaten Malang yang mengakibatkan 3 (tiga orang tewas) serta ratusan sawah dan rumah rusak berat

· pada tanggal 13 November 2003, juga banjir bandang dan tanah longsor di Tulungagung, Situbondo, Magetan, mengakibatkan rusaknya lingkungan dan menelan kerugian material yang tidak sedikit.

Th. 2004

· Banjir bandang Blitar Selatan th.2004 (16 orang meninggal, ribuan hektar sawah gagal panen, ratusan hewan ternak dan harta benda lainnya hanyut terbawa arus banjir).

· pada bulan Desember 2004 terjadi banjir yang melanda di beberapa wilayah mulai dari Kabupaten Blitar, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Lumajang, Bojonegoro, Gresik, Lamongan, Jember, Trenggalek, dan Pacitan. Tetapi, yang paling parah di Kab. Blitar pada akhir tahun 2004.

Selain korban jiwa, ternyata jelas ada kerugian ekonomi, lingkungan dan sosial yang sangat besar. Tidak menutup kemungkinan luas wilayah maupun jumlah kerugian akan bertambah jika dilihat dari kondisi lingkungan hidup yang belum menunjukkan arah kebaikan pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006.

Konsep pembangunan dengan asas pertumbuhan (growth development) yang dilakukan selama ini telah menimbulkan eksploitasi sumberdaya alam yang sulit diperbaharui. Misalnya, adanya penebangan hutan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan ekosistem yang cenderung merusak (destruktive logging), baik dilakukan secara legal (legal logging) maupun secara illegal (illegal logging), baik di hutan alam maupun hutan produksi. Berdasarkan Luas hutan di Jawa Timur yang mencapai 1.357.206,30 ha lebih dari 700.000 ha mengalami rusak parah yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh hutan di Jawa Timur telah rusak. Padahal, luas hutan 1.357.206,30 ha hanya 28,4% dari luas keseluruhan daratan Jatim yang mana secara ideal dalam suatu kawasan luas hutan adalah 30% dari luas daratan. Artinya, untuk mencapai luas hutan yang ideal Jawa Timur semestinya masih kekurangan 76.675 ha. Kemudian, darimana mendapatkan luas hutan yang ideal sementara laju kerusakan hutan saja mencapai 30% tiap tahunnya.

Dari Luas 1.357.206,3 ha tersebut, menurut laporan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur (th.2003), sedikitnya 660.000 ha atau lebih dari 50% dalam kondisi telah rusak yang diakibatkan oleh illegal logging dan kebakaran. Dari jumlah itu, 500.000 ha berada di luar kawasan lindung dan 160.000 ha sisanya berada di kawasan hutan lindung dalam wilayah kelola Perhutani. Sementara itu, berdasarkan data Satelit Citra Land-Sat tahun 2001 menunjukkan bahwa kawasan hutan Jawa Timur yang gundul 120.000 ha. Jika dibandingkan dengan tahun 2001 tingkat penggundulan tahun 2003 mengalami kenaikan lebih dari 30% (KOMPAS edisi Jawa Timur, 2 Agustus 2003).

Untuk melakukan antisipasi dari situasi ancaman rentan bencana alam akibat krisis lingkungan ini. Hendaknya mulai dari saat ini pemerintah mempersiapkan langkah-langkah jangka pendek dan panjang. Tetapi keduanya harus dalam satu langkah managemen bencana terpadu (Disaster Management Integrated). Yang kesemuanya dalam dimensi tindakan pencegahan, penanganan keadaan darurat (emergency respon), penaggulangan/rehabilitasi.

Untuk langkah jangka pendek, yang bisa ditempuh dalam menghadapi curah hujan yang tinggi menjelang mudik lebaran di hampir 23 Kabupaten/Kota di Jawa Timur (Kompas, 18/10/2005), sebaiknya pemerintah Provinsi atau kaputen/kota harus menjalin kerjasama dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) untuk mengetahui curah hujan dan kondisi perubahan alam. Kedua, pemerintah harus memiliki data base wilayah yang rawan terjadi bencana, kemudian menginformasikan secara terbuka kepada masyarakat luas. Ketiga, daerah yang memiliki rawan bencana jauh-jauh hari harus mengalokasikan dana dan menyiapkan tempat untuk merelokasi warganya yang dimungkinkan akan terkena bencana.

Sedangkan untuk jangka panjang, sebaiknya dilakukan reformasi secara menyeluruh dalam hal pengelolaan lingkungan, terutama landasan dan penegakan hukum pengelolaan lingkungan. Misalnya saat ini sedang dibahas Raperda RTRW (rencana tata ruang propinsi) Jawa Timur. Sebaiknya jangan di dominasi oleh eksekutif, legislatif dan para konsultan yang dibayar untuk membuat dokumen itu. Tetapi melibatkan multi stake holder yang dalam hal ini akan terkena dampak dan berkepentingan terhadap masa depan penataan ruang di Jawa Timur. Sebab tidak sedikit akibat salah kelola ruang, terjadi degradasi alam yang berkontribusi pada krisis lingkungan dan akhirnya berujung pada bencana alam. Karena indikasi Jawa Timur sebagai daerah padat modal “investasi” jelas akan banyak proyek-proyek besar. Mulai pertambangan, waduk, jalan lintas selatan dan terjadinya alih fungsi lahan untuk proyek infrastruktur menyiratkan ancaman akan terjadinya bencana secara luas.

Akhirnya, sudahkah kita siap menghadapi tahun penuh ketidakpastian, bencana dan konflik yang berpotensi terjadi di Jawa Timur di akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006 dengan sumber daya yang ada saat ini?



Hentikan Banjir Longsor di Hulu, gampang!


Menyelamatkan Hutan Jatim, Menjauhkan Longsor dan Banjir

 
Hutan merupakan salah satu lingkungan alam yang mempunyai peran sangat besar dalam mensuplai kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh manusia dari alam seperti air, oksigen, bahan-bahan makanan dan obat-obatan yang seharusnya dijaga kelestariannya. Selain fungsi ekologis, hutan juga mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Tentu saja jika pengelolaannya melibatkan masyarakat komunitas terorganisir dan tercerahkan dipinggiran hutan, bahwa antara mereka dengan alam sekitarnya adalah tidak terpisah.  

Faktanya kondisi hutan di Jawa Timur saat ini sangat memprihatinkan, salah satu faktornya karena manajemen dan penebangan hutan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan ekosistem, tetapi malah cenderung merusak (destruktive logging), baik dilakukan secara legal (legal logging) maupun yang dilakukan secara illegal (illegal logging) baik di hutan alam maupun hutan produksi.

Laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan tahun 2003 menyebutkan,  luas hutan di Pulau Jawa tinggal 4% saja.  Sementara Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan kawasan hutan di Pulau Jawa seluas 3.289.131 keadaannya menyedihkan.  Luas lahan kritis di Pulau Jawa mencapai 1,714 juta hektar atau 56,7 % dari total luas hutan  yang ada di Jawa (Kompas, 9 Fepruari 2003).  Perinciannya, hutan lindung atau hutan konvervasi yang rusak seluas 567.315 hektar serta kawasan hutan produksi tak berpepohonan mencapai 1.147.116 hektar. Kondisi itu diperparah dengan meluasnya lahan kritis mencapai 9, 016 juta hektar. Sehingga total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau 84,16% dari seluruh luas Pulau Jawa. Menurut data Satkorlak PB bencana di Indonesia (1997-2003), tercatat sebagai berikut : telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia yang menelan korban jiwa 2022 orang. Dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor, (Bakornas BP, 2003). Dengan rincian sebagai berikut ; banjir di 302 lokasi dengan korban jiwa 1066, longsor di 245 lokasi dengan 645 korban jiwa dan angin topan di 46 lokasi dengan 3 korban jiwa,

Hutan di Jawa Timur terbagi atas Hutan Produksi (881,889,50 ha) atau  59,78% %, Kawasan Lindung seluas (545,754.10) atau 40,22 % yang terdiri dari, Hutan Lindung (312,636.5 ha), dan hutan Konservasi yang terdiri dari Cagar Alam (10,947.9 ha), Suaka Margasatwa (18,008.6), Taman Wisata (297.5 ha), Taman Nasional (175,994.8 ha), Taman Hutan Raya (27,868.3 ha).

Luas wilayah Provinsi Jawa Timur adalah 4.834.483 ha. Sedangkan luas hutan di Jawa Timur yang mencapai 1,357,206.30 ha, saat ini lebih 700.000 ha mengalami rusak parah. Ini berarti lebih dari separoh hutan di Jawa Timur telah rusak, padahal dengan luas yang hampir 5 juta ha jawa timur seharusnya mempunyai luas lahan 30% untuk kawasan hutan atau sekitar 1.450.344 ha. Sedangkan kondisi hutan Jawa Tmur saat ini dari Luas 1,357,206.3 ha yang semula ada telah megalami kerusakan yang sangat parah. Menurut laporan dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur  sedikitnya 660.000 ha atau lebih dari 50% telah rusak yang diakibatkan oleh illegal logging dan kebakaran. Dari jumlah  itu, 500.000 ha berada di luar kawasan lindung, sementara sisanya 160.000 ha berada di kawasan hutan lindung dalam wilayah kelola Perhutani.

Jika disimak dari data diatas saat ini kondisi kawasan hutan di Jawa Timur tinggal 12 % (0,96 juta ha) dari luas Provnsi  Jawa Timur, jadi sangat jauh di bawah tingkat 30% seperti yang diatur dalam UU 41/99 tentang kehutanan. Sebab itu merupakan titik keamanan minimum yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi.

Salahsatu faktor kerusakan hutan adalah manajemen pengelolaan hutan yang monokultur (seragam), unsustainable (tidak berkelanjutan) dan demi akumulasi modal belaka (ecokapitalisme), hal itu terlihat melalui praktek hutan tanaman industri atau hutan produksi. Fakta memperlihatkan dalam prakteknya hutan yang mestinya beragam tanaman itu diubah menjadi tanaman seragam laiknya kebun kayu (kayu jati, pinus, mahoni dan lainnya). Dengan manajemen ini pohon yang tumbuh, nantinya ketika tiba jatuh temponya untuk dipanen, illegal atau legal pasti tetap ditebang.

 

Segera Uji Praktek Pengelolaan Hutan Jatim Dengan Sistem Hutan Kerakyatan

Mengingat arti pentingnya keberadaan hutan, maka pengelolaannya harus dilakukan secara arif dan bijaksana. Secara nasional, model kearifan dalam mengelola hutan telah ditunjukkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Pengetahuan dan kebudayaan nusantara yang mereka miliki merupakan warisan dari nenek moyangnya secara turun-temurun. Bahkan kearifan masyarakat dalam mengelola hutan di nusantara ini masih bisa kita jumpai di beberapa tempat. Misalnya Parak di Maninjau, Repong di Krui, Tembawang di Sidasdaya, Simpukng di Bentian, Pangale di Morowali dan masih banyak lainnya.

Pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut, kemudian dikenal dengan istilah Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Sayangnya, SHK belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal SHK telah terbukti mampu mempertahankan fungsi hutan, dan sekaligus menjamin kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Bagaimana dengan peluang SHK di Jawa Timur? Tentu saja sangat mungkin itu dilakukan, mengingat di Jawa Timur ada 2467 Desa, di 348 Kecamatan yang berada di 31 Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan hutan. Melihat akar tradisi dan budaya masyarakatnya yang agraris, tentunya aktivitas produksi seputar bertanam, merawat tanaman, beternak, mencari rebung dan biji-bijian merupakan kegiatan keseharian.

Untuk itu perlu dicarikan solusi atas kerusakan hutan yang ada. Salah satunya dengan modal kebudayaan dan tradisi yang masih ada di masyarakat Jawa Timur, perlu dilakukan sebuah uji praktek pengelolaan hutan oleh rakyat di beberapa tempat dengan SHK. SHK adalah konsep pengelolaan hutan yang diawali dari paradigma hutan adalah bukan kayu. Karena sumber daya  hutan selain kayu memang cukup banyak, seperti yang telah dilakukan di banyak tempat ternyata ada madu hutan, rotan, damar, bambu, kerajinan rotan, kerajinan damar, karet, tanaman obat, biji-bijian ”kemiri, kluweg, mlinjo” dan lain sebagainya.

Tetapi paradigma kearifan itu tetap harus di dukung dengan sebuah konsep hubungan makro kosmos ”jagad gede” (alam raya diluar manusia) dan mikro kosmos ”jagad cilik” (dalam diri manusia) seperti dilakukan dibanyak kawasan. Ini adalah konsep hidup tentang  keseimbangan alam raya yang masih bisa kita temui di beberapa masyarakat pinggiran hutan, seperti di Ngeprih Pacet Selatan, di Seloliman Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, di Panderman dan Indrokilo Kota Batu, di kawasan Gunung Wilis Kabupaten Kediri, di Kawasan Gunung Arjuno dan masih banyak tempat lainnya. Melalui ritual ”sedekah bumi” atau ”hutan sebagai ruang hidup” yang masih dilakukan oleh masyarakat, merupakan bentuk-bentuk penghormatan manusia (kawula yang di ciptakan) kepada sang penciptaNya.

 Melalui keyakinan memuliakan tanah yang ditinggali dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberi makanan, mengalirkan air dan memberinya penghidupan adalah karunia yang tiada ternilai harganya. Jika dijaga keberlangsungan dan keseimbangan dalam mengelola lingkungan dan sumber daya alam seperti diatas, sepertinya ancaman malapetaka longsor dan banjir bakal dapat di jauhkan.

 

 

 

 

 

masih ada alternatif kelola hutan jatim


Menyelamatkan Hutan Jatim dengan SHK

Hutan merupakan salah satu lingkungan alam yang mempunyai peran sangat besar dalam mensuplay kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh manusia dari alam seperti air,oksigen, bahan-bahan makanan dan obat-obatan yang seharusnya dijaga kelestariannya. Selain fungsi ekologis, hutan juga mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Tentu saja jika pengelolaannya melibatkan masyarakat komunitas terorganisir dan tercerahkan dipinggiran hutan, bahwa antara mereka dengan alam sekitarnya adalah tidak terpisah.  Faktanya kondisi hutan di Jawa Timur saat ini sangat memprihatinkan, salah satu faktornya karena penebangan hutan yang tidak berorientasi keberlanjutan ekosistem, tetapi malah cenderung merusak (destruktive logging), baik dilakukan secara legal (legal logging) maupun yang dilakukan secara illegal (illegal logging) baik di hutan alam maupun hutan produksi.

Laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan tahun 2003 menyebutkan,  luas hutan di Pulau Jawa tinggal 4% saja.  Sementara Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan kawasan hutan di Pulau Jawa seluas 3.289.131 keadaannya menyedihkan.  Luas lahan kritis di Pulau Jawa mencapai 1,714 juta hektar atau 56,7 % dari total luas hutan  yang ada di Jawa (Kompas, 9 Fepruari 2003).  Perinciannya, hutan lindung atau hutan konvervasi yang rusak seluas 567.315 hektar serta kawasan hutan produksi tak berpepohonan mencapai 1.147.116 hektar. Kondisi itu diperparah dengan meluasnya lahan kritis mencapai 9, 016 juta hektar. Sehingga total lahan yang perlu direhabilitasi mencapai 10,731 juta hektar atau 84,16% dari seluruh luas Pulau Jawa.

Hutan di Jawa Timur terbagi atas Hutan Produksi (881,889,50 ha) atau  59,78% %, Kawasan Lindung seluas (545,754.10) atau 40,22 % yang terdiri dari, Hutan Lindung (312,636.5 ha), dan hutan Konservasi yang terdiri dari Cagar Alam (10,947.9 ha), Suaka Margasatwa (18,008.6), Taman Wisata (297.5 ha), Taman Nasional (175,994.8 ha), Taman Hutan Raya (27,868.3 ha).

Luas wilayah Provinsi Jawa Timur adalah 4.834.483 ha. Sedangkan luas hutan di Jawa Timur yang mencapai 1,357,206.30 ha, saat ini lebih 700.000 ha mengalami rusak parah. Ini berarti lebih dari separoh hutan di Jawa Timur telah rusak, padahal dengan luas yang hampir 5 juta ha jawa timur seharusnya mempunyai luas lahan 30% untuk kawasan hutan atau sekitar 1.450.344 ha. Sedangkan kondisi hutan Jawa Tmur saat ini dari Luas 1,357,206.3 ha yang semula ada telah megalami kerusakan yang sangat parah. Menurut laporan dari Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur  sedikitnya 660.000 ha atau lebih dari 50% telah rusak yang diakibatkan oleh illegal logging dan kebakaran. Dari jumlah  itu, 500.000 ha berada di luar kawasan lindung, sementara sisanya 160.000 ha berada di kawasan hutan lindung dalam wilayah kelola Perhutani.

Jika disimak dari data diatas saat ini kondisi kawasan hutan di Jawa Timur tinggal 12 % (0,96 juta ha) dari luas Provnsi  Jawa Timur, jadi sangat jauh di bawah tingkat 30% yang dikatakan sebagai titik keamanan minimum yang harus dipertahankan untuk melestarikan sumber-sumber air dan mencegah erosi.

Salahsatu faktor kerusakan hutan adalah manajemen pengelolaan hutan yang monokultur (seragam) dan demi akumulasi modal belaka, hal itu terlihat melalui praktek hutan tanaman industri atau hutan produksi. Fakta memperlihatkan dalam prakteknya hutan yang mestinya beragam tanaman itu menjadi kebun kayu (kayu jati, pinus, mahoni dan lainnya). Dengan manajemen ini pohon-poon yang tumbuh dan tiba jatuh temponya untuk masa panennya, illegal atau legal pasti akan ditebang.

Mengingat arti pentingnya keberadaan hutan, maka pengelolaannya harus dilakukan secara arif dan bijaksana. Kearifan dalam mengelola hutan telah ditunjukkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Pengetahuan dan kebudayaan yang mereka miliki merupakan warisan dari nenek moyangnya secara turun-temurun. Bahkan kearifan masyarakat dalam mengelola hutan di nusantara ini masih bisa kita jumpai di beberapa tempat. Sebut saja misalnya Parak di Maninjau, Repong di Krui, Tembawang di Sidasdaya, Simpukng di Bentian, Pangale di Morowali dan masih banyak lainnya.

Pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut, kemudian dikenal dengan istilah Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Sayangnya, SHK belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Padahal SHK telah terbukti mampu mempertahankan fungsi hutan, dan sekaligus menjamin kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Bagaimana dengan peluang SHK di Jawa Timur? Tentu saja sangat mungkin itu dilakukan, mengingat di Jawa Timur ada 2467 Desa, di 348 Kecamatan yang berada di 31 Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan hutan. Melihat akar tradisi masyarakatnya yang agraris, tentunya aktivitas produksinya seputar bertanam, merawat tanaman, beternak, mencari rebung, bambu, kayu bakar, biji-bijian.

Untuk itu perlu dilakukan satu terobosan dalam mencari solusi atas kerusakan hutan yang ada. Salah satunya dengan modal kebudayaan dan tradisi yang masih ada di masyarakat Jawa Timur, perlu dilakukan sebuah uji praktek pengelolaan hutan oleh rakyat di beberapa tempat dengan SHK. SHK adalah konsep pengelolaan hutan yang diawali dari paradigma hutan adalah bukan kayu. Karena sumber daya  hutan selain kayu memang cukup banyak, seperti yang telah dilakukan di banyak tempat ternyata ada madu hutan, rotan, damar, bambu, kerajinan rotan, kerajinan damar, karet, tanaman obat, biji-bijian ”kemiri, kluweg, mlinjo” dan lain sebagainya.

Tetapi paradigma kearifan itu tetap arus di dukung dengan sebuah konsep hubungan makro kosmos ”jagad gede” (alam raya diluar manusia) dan mikro kosmos ”jagad cilik” (dalam diri manusia) seperti dilakukan dibanyak kawasan. Ini adalah konsep hidup tentang  keseimbangan alam raya yang masih bisa kita temui di beberapa masyarakat pinggiran hutan, seperti di Ngeprih Pacet Selatan, di Seloliman Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, di Panderman dan Indrokilo Kota Batu, di kawasan Gunung Wilis Kabupaten Kediri, di Kawasan Gunung Arjuno dan masih banyak tempat lainnya. Melalui ritual ”sedekah bumi” atau ”tegal deso” yang masih dilakukan oleh masyarakat, merupakan bentuk-bentuk penghormatan manusia (kawula yang di ciptakan) kepada sang pencipta melalui memuliakan tanah yang mereka tinggali, yang telah menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberi makanan, mengalirkan air dan meberinya kehidupan.


 

 

PLTA Waduk Gagal, Mikro Hidro Multilokal


Waduk Dan PLTA Terpusat Kritis, ”Energi” Multilokal Alternatifnya

Bendungan Sutami, meski pada Mei 2006 mengalami elevasi air tertinggi, yaitu 272,5 meter diatas permukaan laut (mdpl). Saat ini turun menjadi 254,2 mdpl, padahal batas terendah PLTA untuk bisa beroperasi dan menghasilkan pembangkit listrik tenaga air adalah 253 mdpl atau tinggal 1,2 meter lagi. Akibatnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang ada disana terancam berhenti beroperasi dalam jangka waktu 14 hari mendatang (Kompas, 13/12/2006).

Waduk selama ini sebagai proyek yang padat modal, padat teknologi, tidak semua orang bisa membuat/merancang apalagi merawatnya, adalah pendekatan yang selama ini dikedepankan. Bahwa dinamika sosial, politik, ekonomi dan keberlanjutan lingkungan hidup seringkali dikalahkan atas dasar alasan-alasan teknis, meskipun itu tetap penting. Sebab menurunnya elevasi waduk sutami ini bukan terjadi kali ini saja. Tetapi sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Mestinya secara teknis hal itu sudah bisa ditanggulangi, tetapi keyataannya tidak. Tanya kenapa? Tentu karena ”salah urus” sejak perencanaan, pada saat, higga pasca dibangunnya proyek padat modal dan teknologi ini.

 

Pendangkalan Waduk Sutami Sudah Dari Dulu

Pendangkalan yang terjadi di waduk Sutami meliputi dampak lainnya juga seperti perubahan vegetasi sebagai ciri negara tropik. Sungainya juga mengalami sendimentasi yang cukup ekstrem seperti terjadi pada tahun 1965, 1997, 1998 kekeringan ekstrem “the most episode” sering terjadi dalam kurun 15-20 tahunan pada waktu dahulu, karena di pengaruhi elnino dan elnina (Penelitian John Lassa, 2002). Tanda-tanda bakal adanya penurunan permukaan waduk Sutami seharusnya sudah diketahui sejak 2-3 tahun lalu. Sebab bulan Agustus 2002 dan bulan Agustus 2003 juga bulan Oktober 2004 tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Walaupun luas permukaan air waduk tidak menunjukkan perubahan, tidak ekuivalen dengan volume air waduk karena adanya pendangkalan di waduk yang cukup cepat (0ktober 2004, Bidang Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Naional).

 Bendungan/waduk susut dan tidak susut airnya bisa juga dipengaruhi sistemnya. Jadi kalau turunnya ekstrem, berarti ada yang salah dengan sistem. Sistem mikro atau makronya? Makro ”cuacanya” ada atau tidak perubahannya. Musim kering atau hujannya. Kalau mikro, sistem hidrologi setempat, keadaan hutan, mata air, Daerah Aliran Sungai (DAS) bahwa kawasan hulu strategis. Penurunannya biasanya dipengaruhi dari jejak kawasan tangkapan dan penampungan air dikawasan aliran sebelum air sampai ke waduk. Sebagaimana waduk Dawuhan Madiun yang seluruh airnya berasal dari hujan dan air dari sumber di Gunung Wilis. Ketika kawasan hutan, mata air dan DASnya rusak maka debit air yang dihasilkan yang mengarah kearah waduk juga pasti berkurang.

Artinya jelas. Bahwa mengelola waduk tidak bisa hanya dengan batas-batas teritori waduk yang melingkupi wilayahnya. Tetapi dia butuh keberlanjutan sistem hutan dan sistem tata air di kawasan hulu. Sedangkan kita tahu diatas Waduk Sutami, kebetulan penulis pada bulan kemarin (oktober 2006) sempat melewati Waduk Sutami dan kawasan hulu diatasnya. Gunung Geger yang sebagai wilayah kesatuan di hulu waduk, hampir berubah menjadi ”gundukan padang pasir” kering kerontang. Begitu juga kawasan hulu lainnya disekitar waduk yang menjadi daerah tangkapan air, mengalami hal yang sama. Jadi seharusnya membuat waduk seharusnya secara jangka panjang juga perlu di desain dan di jaga keberadaan hutan dikawasan hulunya sebgai penopang sistem tata air dan keberlangsungan DASnya.

Ini memang sudah bukan keanehan, tetapi menggelikan. Sebab terus berulang dan berlangsung tanpa evaluasi maupun perubahan berarti. Tentu ini tidak terlepas pula dari menajemen pengelolaan hutan selama ini yang cenderung eksploitatif dan monokultur, tidak berkeadilan secara lingkungan (non environmental justice). Pada lereng yang kemiringannya jelas diatas 30-40 derajat di kawasan Gunung Geger misalnya, jelas harusnya menjadi kawasan konservasi, tetapi dikawasan itu dan sekitarnya hal itu tidak berlaku. Persis seperti penuturan warga setempat, kawasan tersebut ternyata dulunya juga ditanami tanaman-tanaman non tegakan atau  yang disipakan untuk dipanen kayunya. Hal yang sudah bertentangan dan menyalahi aturan sebagaimana diatur dalam Keppres 32/1990 tentang konservasi sumber daya alam (SDA). Ini tentu saja menjadi ciri hutan produksi yang dibawah penguasaan PT. Perhutani atau perusahaan perkebunan yang cenderung mengkomoditaskan sumber daya hutan dan ekosistemnya. Disisi lain  ini merupakan ciri yang khas untuk hutan produksi yang ada di seluruh Pulau Jawa.

 

SDA untuk melayani kehidupan bukan untuk komoditas

Hutan seharusnya selain sebagai kawasan keberlanjutan sistem tata air, tanaman obat, keberlangsungan ekosistem dan sumber ilmu pengetahuan. Dia tetap bisa dijadikan sumber kehidupan dan mempunyai fungsi sosial. Bukankah SDA memang disediakan untuk menjadi pelayan kehidupan manusia? Tetapi sayangnya sumber daya alam seringkali ditempatkan sebagai obyek yang bisa di eksploitasi belaka tanpa memperhatikan daya dukungnya. Sehingga pendekatan mengkomoditaskan SDA lebih mengedepan, daripada SDA untuk melayani kehidupan. Jika tidak ditempatkan SDA sebagai pelayan kehidupan manusia, maka lebih memilih untuk eksploitasi atas nama mengejar pertumbuha akan menjerumuskan masa depan dan keberlajutan kehidupan manusia dan alam itu sendiri.

Jika ini terjadi dan sengaja dipilih oleh para pengambil kebijakan dan pihak-pihak (institusi) yang menguasai dan mengelola sebuah kawasan terus menerus. Maka apa yang pernah dibilang oleh guru bangsa dan filsuf kehidupan dari india Mahatma Gandhi menjadi benar ”bahwa alam memang menyediakan semuanya untuk kehidupan manusia, tetapi sayangnya itu tidak akan pernah cukup untuk memenuhi keserakahan manusia”.

Kebutuhan waduk untuk ketersediaan air, kebutuhan adanya pembangkit listrik. Kalau memang sebuah wilayah bisa memenuhi daya dukung alamnya kenapa itu tidak dilakukan? Bukankah pembangkit listrik mikro hidro juga bisa menjadi jalan keluar, pembangkit listrik skala kecil ”yang multi lokal” artinya memenuhi kebutuhan listrik tidak harus terpusat. Seperti halnya proyek-proyek pembangkit listrik (powwer energy project) yang padat teknologi dan modal. Dengan model terpusat, seringkali menghadapi problem yang sangat krusial dan berdampak besar saat dia gagal atau ada masalah. Seperti halnya proyek waduk Sutami ini, ketika permukaan airnya menyusut dari ambang batas permukaan. Akhirnya pembangkit listriknya juga terancam tidak bisa beroperasi. Padahal PLTA ini adalah penyuplai pembangkit listrik Jawa Bali, yang setiap tahun mencapai 1.000.000.000 kilowat hour (kWh).

 

Pembangkit Listrik Mikro Hidro Yang Multilokal

Jika pemerintah mau belajar, sebenarnya ada hal riil yang sudah dilakukan di Provinsi Jawa Timur. Kawan-kawan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman Trawas Mojokerto bersama masyarakat sekitar punya pengalaman menarik. Bahwa sejak tahun 1996 mereka mengembangkan listrik mikro hidro (pembangkit listrik skala kecil) yang mampu menghasilkan energi listrik 25.000 kWh setiap hari. Dari pemanfatan aliran air di sungai yang mengalir dari lereng gunung Penanggungan. Dan ini tentu mampu menerangi kebutuhan listrik kepada masyarakat sekitar dan komplek PPLH Seloliman dan satu pondok pesantren di wilayah tersebut.

Dari 25.000 kWh yang terpakai untuk areal tersebut  hanya 4000 kWh, sehingga menurut kawan-kawan ini ada yang ”muspro” alias hilang percuma. Maka dipilihlah jalan praktis untuk ditawarkan ke Perusahaan Litrik Negara (PLN) pada waktu itu. Sehingga dengan memberi alat pemisah yang sederhana PLN sudah bisa mengoperasikan yang 21.000 kWh dan menjual per 1 kwh lebih mahal dari yang di kelola oleh komunitas. Kalau tidak salah dalam hitungan masyarakat pada tahun 2005 sebelum terjadi kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada akhir tahun seiring kenaikan BBM. PLN menjualnya 1 kwh = Rp 475,-. Sedangkan PPLH seloliman bersama masyarakat komunitas menyepakati d 1 kwh = Rp 275. Silahkan dihitung sendiri selisihnya jika dikalikan jika selama 10 tahun sejak alat alternatif ini beroperasi (1996-2006) untuk tiap kWh nya bagi tiap pengguna.

Beragam manfaat diperoleh dari cara yang ”erif dan bijaksana” ini, secara ekonomis menguntungkan komunitas pengelola, bahwa kebutuhan administratif setiap bulan dan laba bersih yang didapat sekitar Rp 2.000.000,- dan dikelola bersama. Secara ekologis ini tentu membuat masyarakat belajar bahwa ternyata dengan tidak menempatkan hutan sebagai ”kayu” maka kita akan mendapat air untuk kebutuhan konsumsi, pertanian dan kebutuhan kehidupan lainnya secara mudah, murah alias gratis dan terus menerus. Selain itu dengan menjaga hutan ternyata itu juga bisa menghasilkan energi listrik yang berkelanjutan dan bisa dinikmati secara murah. Luar biasa!

Sekarang tergantung pada kepekaan dan kelembutan empati para pengambil keputusan, mumpung ini era otonomi daerah. Mampukah mengenali keadaan geografis wilayah dan model pengembangan apa yang akan dilakukan. Jika memang membuthkan listrik, mau pilih yang padat modal, padat teknologi, bahkan modalnya bisa didapat dari hutang yang ”menjebak”  dan tersentral pengelolaannya atau pilih kecil tetapi multilokal? Yang mampu menjadi alternatif atas krisis energi, krisis air, krisis hutan yang jelas akan menjadi bencana ekologis bagi kehidupan hari ini. Selain mikro hidro mengandalkan aliran air, tentu masih banyak lagi yang bisa dikembangkan sesuai dengan karakteristik sebuah wilayah, untuk itu dibutuhkan komitmen pemerintah untuk mengenali potensi SDA dan upaya pengembangan ilmu pengetahuan di wilayahnya. 

 

Awas Proyek Infrastruktur Air, Operasi Pemodal


Mewaspadai Dampak Proyek Infrastruktur Air

 

Water sector project  dalam skenario infrastructur summit (Jakarta 17-18 Januari 2005). Selain mencanangkan  Roads Transportaion, juga ada sektor air berupa pembangunan waduk dan proyek dam/bendungan air. Namun perlu dicermati terkait pembiayaan jebakan hutang luar negeri dan rentan timbulkan dehumanisasi.

Dalam skenario Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jatim yang telah di sahkan DPRD Provinsi Jatim. Ada  21 proyek waduk master plan dan dua detail desain . Diantarnaya meliputi Kab. Ngawi, Bojonegoro, Ponorogo, Madiun, Jombang, Nganjuk, Madura. Untuk kemandirian sektor air, demi ketersedian dan pemenuhan air untuk masyarakat menjadi pertimbangan utama. Tetapi sayangnya hal ini tidak terbukti.

 Selain alasan dan dampak positif  untuk masyarakat disatu sisi, dampak yang multidimensi dan kompleksitas disisi lain seringkli diderita rakyat saat proyek air ini dilakukan. Ada fase-fase proyek yang akan membawa dinamika persoalan sosial ketika proyek pembangunan waduk/bendungan , pipanisasi air dilakukan. Dimensi persolannya meliputi fase sebelum, pada saat dan pada saat proyek dimulai.

Sebelum proyek dimulai. Proses pembebasan tanah sering ada pola negosiasi yang tidak seimbang, penjelasan informasi sepihak atas nilai manfaat apa yang akan didapat masyarakat sekitar. Dan saat ada penolakan bisa mengundang hadirnya kekerasan bagi yang menolak dengan pengambilan tanah secara paksa, pengusiran rakyat dari tanah tinggal dan penghidupannya, sampai manifestasi cara-cara kekerasan psikis melalui ancaman, teror, dan lainnya. Sebagaimana yang terjadi pada proyek ”berdarah” di Kedungombo, Wadas Lintang Wonosobo, Waduk Nipah Madura. Maupun penolakan masyarakat Madura di sekitar waduk Blega beberapa waktu yang lalu.

 

Dam – Waduk Proyek Padat Modal Dan Jebakan Hutang

Banyak proyek baru yang akan  di danai melalui hutang luar negeri, contohnya Waduk Blega-Bangkalan yang ada dalam RTRW Jatim. Seperti halnya Yakni proyek waduk ”berdarah” Nipah Madura, adalah salah satu project hutang yang didanai oleh JBIC (Japan Bank for International Corporation). Dan beberapa proyek lainnya seperti di Madiun, Magetan, Bojonegoro akan dibiayai dana hasil hutang luar negeri. Berdasarkan data yang terhimpun, bahwa seluruh proyek yang dikemas dalam water recources di Jatim akan di alokasikan sebagian dari dana hutang luar negeri sebesar 5.096,55 milliar dollar AS (sumber US Embassy:infrastrukture summit).

Hutang luar negeri di sektor air, termasuk Dam Project dan Power Energy yang dilakukan Indonesia dari dana hutang dengan beberapa lembaga penjerat utang seperti JBIC, Bank Dunia dan IMF adalah sebagai berikut : JBIC dari tahun 1968 – 1996 US $ 8.4467 million, Bank Dunia dari tahun 1973-1997 US $ 2529 Million dan dengan Asia Development Bank dari tahun 1969 – 1991 sebesar US $ 69.888.000 million. Inilah warisan rezim orde baru yang mengantarkan kita pada kejatuhan krisis multidimensional yang bisa dirasakan sampai sekarang. Terang saja tahun 1997 terjadi resesi ”kolaps” ekonomi kita di pasar makro. Salah satu sebabnya adalah jatuh temponya pembayaran utang luar negeri yang tidak bisa dibayar oleh Indonesia. Karena sekitar 30% (menurut laporan Bank Dunia)  proyek hutang ini di korup disatu sisi. Maupun bunganya yang kelewat tinggi disisi lain dan devisa tidak mencukupi untuk membayar. Apalagi 1/3 APBN kita habis hanya untuk bayar bunga hutang. Belum pokok hutang.

Seperti halnya Waduk Karangkates Kab. Malang Jatim, juga hasil hutang luar negeri yang belum lunas sampai sekarang.  Tahap pencairan hutang meliputi fase sbb: (1). 17 September 1969, sebesar 821 juta dollar AS ; (2). 22 Desember 1969 sebesar 452 Juta Dollar AS ; (3). 28 Austus 1970 sebesar  1285 juta dollar AS ; (4). 21 Sept 1971 sebesar 515 Juta Dollar AS ; (5). 15 Desember 1973 sebesar 2180 Dollar AS ; (6). 27 Desember 1974 sebesar 743 ; (7). 25 Agustus 1975 sebesar 345 juta dollar AS. Jumlah total 6341 Juta Dollar AS.

 

Dehumanisasi; Rakyat Diusir Dari Tanah Tinggalnya

Proyek waduk/bendungan selalu membuthkan lahan yang besar. Ketika tahap proyek memasuki tahap pengerjaan (pada saat) dampak yang sering terjadi adalah mereka harus pindah. Hal ini ditimbulkan akibat lahan yang dihuni maupun lahan pertanian yang disekitar proyek akan ditenggelamkan.

Pada titik inilah terjadi migrasi masyarakat dari suatu wilayah ke wilayah lain. Dalam sejarah migrasi pada waktu dulu bisa disebabkan oleh kolonialisme (penjajahan secara fisik) oleh bangsa lain dan  fenomena “bencana alam” yang terjadi, seperti gunung meletus misalnya. Tetapi sekarang orang dipaksa migrasi dari tempat asalnya saat masyarakat sekitar tidak kuat menghadapi situasi kekerasan, atau tidak mampu berdaya saing pada perkembangan situasi sosialnya. Hingga mereka akhirnya memilih urbanisasi, transmigrasi, bedhol deso, atau pun migrasi dari ke negara lain. Sebagaimana data yang terlansir di harian koran nasional (Kompas, 3/10/2006), migrasi pada tahun 2005 saja, di antar negara mencapai 190 juta jiwa dan terus meningkat. Sebanyak 115 juta jiwa migran antarnegara  tinggal di kota-kota maju dan 75 juta jiwa di negara-negara berkembang.

Pada fase post/pasca pengerjaan proyek waduk dan bendungan, dampak serius (cenderung negatif) yang sering terjadi adalah azas pemanfaatan dan kontinuitas fungsi waduk/bendungan yang sering mengalami kegagalan. Seperti musim kemarau saat ini beberapa waduk besar di Jatim mengering. Waduk Dawuhan di Kabupaten Madiun yang menjadi ketergantungan pengairan seluas 1.273 ha sawah di sepuluh desa pada bulan September sudah mengering, waduk Pacal di Temayang Kabupaten Bojonegoro juga sudah kering (Kompas, 17/102006). Pada saat seperti inilah dampak terhadap ecosoc dan fundamental rigth rakyat atas air menjadi tidak terpenuhi.

Selain itu apa yang pernah dialami warga Kedungombo, Nipah, adalah potret nyata dampak negatif. Kejadian serupa diluar negeri pun tidak jauh berbeda. Di India  proyek Waduk Narmada mengusir lima belas ribu orang dari tanah tinggalnya dan  20 tahun terakhir diatas 500ribu orang terusir akibat 3ooo lebih proyek bendungannya. Jumlah orang yang jadi  pengungsi akibat proyek-proyek waduk, dam/bendungan air diseluruh dunia mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Meliputi negara-negara di Afrika seperti Ghana, Nigeria dan negara-negara Asia seperti Thailand, Filiphina, Vietnam, China, India, Indonesia dan Amerika Latin seprti Brazil, serta Eropa di Canada (Sumber: Kertas Posisi WALHI Hak Atas Lingkungan adalah Hak Azasi, 2004). Akibatnya disaat itulah mereka yang tidak mempunyai akses terhadap sumber-sumber kehidupan, menjadi “kere dan gembel” globalisasi kapitalisme. Kebutuhan kesehatan, hidup layak, pendidikan kalah dengan proyek infrastruktur air yang berorientasi pada bangunan fisik, bukan sektor pemenuhan hak dasar warga negaranya.

            Jika tidak dihentikan, Indonesia sebagai negara kaya SDA akan kembali pada era kolonialisme, dibawah kuasa oligarki ”persekutuan” modal yang menjadikan negara dan kekuasaan sebagai alat saja. Maka rakyat makin menderita dan kehilangan harapan hidup. Sehingga mimpi negeri damai, adil, makmur dan sejahtera yang di cita-citakan, akan digantikan dalam keterjajahan, keterpurukan dan ketidakberdaulatan atas sumber-sumber kehidupannya. Realitas kesenjangan telah sedemikian nyata adanya, proyek hutang sekian banyak dikorup dan belum lunas pembayarannya, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi proyek-proyek padat modal telah menjadikan bencana berkelanjutan.

Sebagai manusia yang mestinya bisa belajar dari kekeliruan-kesalahan yang dibuatnya sendiri, masihkah kita mengikuti jalan sesat ”agama neo liberal-globalisasi kapitalisme?”. Mari menghidupkan kembali syaraf-syaraf  kelembutan empati. Mari menentang segala keserakahan yang berpotensi merugikan dan mengancam keselamatan orang lain. Kita mesti berdaulat atas SDA di negeri sendiri. Ingatlah, bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang memperjuangkannya.

 


 

 

 

 

 

 

AIR HABIS, Finish!


Krisis Air = Bencana Kehidupan

 

Bahwa air terkait langsung dengan hutan, pertanian, konsumsi, produktivitas, industri dan masing-masing aspek tidak bisa berdiri sendiri. Tetapi sayangnya manusia kadang terlalu naif ketika belajar dan menyadari saat semuanya setelah menjadi “bencana kehidupan”. Disisi lain keserakahan manusia untuk menguasai, merusak dan mencari keuntungan melalui akumulasi capitall makin menjadi-jadi. Komoditas dikedepankankan, maka air yang berfungsi secara sosial budaya bagi kehidupan manusia di kalahkan dengan keserakahannya sekelompok kecil golongan. Dan saat itulah “bencana rasional” dan sarana pemusnah kehidupan siap menyambut. Untuk yang masih sehat akal, sensisitif dan peka perasaannya, lembut empatinya,  tentu menyadari krisis air bukan utopia.

Memahami krisis air ada tiga pendekatan mengenali bentuknya. Pertama dalam konteks kwantitatif dan kualitatif atau ketersediaan dan kualitasnya. Hal ini bisa kita jumpai  krisis dalam bentuk kekurangan kekeringan, dan krisis saat tersedia air tapi tidak memenuhi standart kelayakan untuk kebutuhan sehari-hari (konsumsi, mandi, mencuci), seperti yang terjadi di Kabupaten Nganjuk Provinsi Jawa Timur. Terjadi hal yang sangat mengerikan dan memilukan, “Warga Desa Ngetos minum air selokan!” (Surya, 4/10/2006). Kedua,  keberlanjutan (kontinuitas) yang juga mengancam. Ketiga, air yang berlebihan (over be coming), seperti banjir yang kerap terjadi.

Musim kemarau memasuki bulan ke tujuh di tahun 2006 ini,  ketersediaan air dari tahun ke tahun makin krisis. Dampaknya pun ke sektor pertanian dan panga sangat dirasakan petani, sebagaimana yang dialami petani di Kab. Ngawi saat kemarau seperti sekarang harus mengeluarkan Rp.10.000,- untuk tiap tiga jam demi mendapatkan air. Petani Kab. Nganjuk juga dalam satu bulan harus mengeluarkan biaya untuk air sebesar lima kali lima jam adalah Rp. 150.000,-

 

Komersialisasi dan Privatisasi  Air

Persoalan akses keadilan rakyat atas air,  belum dijadikan hal penting di negeri ini. Air sebagai kebutuhandasar manusia, dikalahkan dengan kepentingan akumulasi modal melalui bisnis air yang hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok.

Data yang dilansir oleh FORTUNE edisi 15 Mei 2000 menyebutkan bahwa nilai pasar air dunia sudah mencapai US $ 400 miliar. Nilai ini 40 % lebih tinggi dari nilai industri minyak global dan 30 % lebih tinggi dari nilai industri farmasi dunia. Total pemasukan industri air swasta Amerika Serikat pada tahun 2000 mencapai US $ 800 milyar per tahun. Angka ini empat kali lebih tinggi dari angka penjualan satu tahun Microsoft Corporation (penjual piranti software and hardware komputer).

Sementara dalam laporan tahunannya, perusahaan air swasta dari Inggris, Thames, membukukan pendapatan sebesar US $ 2,243 milyar pada tahun 2001. Dan Thames sekarang yang menguasai pengelolaan PDAM Pam Jaya DKI Jakarta. Sementara Suez Lyonaise des Eaux meraih pendapatan US $ 4,308 milyar pada tahun yang sama. Sementara Vivendi International mencatat pendapatan sebesar US $ 2,192 milyar. Vivendi dan Suez memiliki dan mengontrol penyediaan air bersih di 120 negara di 5 benua yang menjadi anggota Dewan Air Dunia. Dewan Air Dunia adalah salah satu panel lobi paling berpengaruh dalam organisasi perdagangan dunia (WTO).

Tingginya pendapatan yang dapat diraih dalam bisnis air ini akhirnya juga ‘menggoda’ perusahaan swasta internasional untuk mencari keuntungan di Indonesia. Pada tahun 1997, telah ada tidak kurang dari 20 investor asing telah antri untuk melakukan investasi dibidang penyediaan air bersih di seluruh Indonesia.

Tingginya ‘hasrat’ pencarian keuntungan dalam bisnis air oleh perusahaan asing juga dibuktikan dengan dominasi perusahaan swasta asing dalam bisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Indonesia. Dari 246 perusahaan AMDK di Indonesia, 65 % didominasi oleh dua perusahaan asing, yakni Aqua (group Danone) dan Ades (The Coca Cola Company). Dan peluang untuk makin dikomersilasasi dan di privatisasinya sektor air di Indonesia makin terbuka sejak disahkannya UU No.7 tahun 2004, tentang Sumber Daya Air oleh DPR RI.

 

Kerusakan Hutan – DAS dan Korelasi Krisis Air

Ketersediaan air untuk wilayah tropis seperti Indonesia pada umumnya dan Jawa khususnya yang bagian dari wilayah Indonesia banyak di topang dari kawasan hulu. Dimana kawasan ini merupakan kawasan inti dari keberadaan hutan yang menyediakan aneka macam tumbuhan dan sistem tata air dalam fungsi normatif dan obyektifnya. Sementara sejak tahun 1997-2003 areal hutan Jawa kritis, atau sekitar lebih dari 30 persen gundul. Dampak yang ditimbulkan pun tidak sedikit, 280 banjir dan tanah longsor terjadi sejak kurun waktu tahun 2000-2004 di seluruh pulau Jawa.

Dan di Jatim sudah mencapai lebih dari 500.000 hektar hutan rusak, dari luas 1,3 juta hektar hutan yang ada, baik hutan produksi maupun lindung. Keberadaan mata air yang juga faktor penting untuk mengairi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Jatim saat ini berada di titik sangat rawan. Berdasarkan data dari bidang pemantauan dan pemulihan kualitas lingkungan Jatim ada 200 titik mata air di tahun 2005 yang berada di enam pegunungan Jatim yang hilang.

Hal ini disebabkan oleh perusakan hutan yang massif (destruktif logging). Padahal 19,8 juta jiwa penduduka Jatim menggantungkan kebuthan airnya dari keberadaan sumber-sumber air ini. Semula dienam pegunungan Jatim ada 421 titik mata air dan sekarang tersisa 221 mata air saja. Padahal mata air tersebut sebagai sumber utama Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang melingkupi sekitar sepuluh Kab/Kota di Jatim. Pegunungan yang dimaksud adalah adalah Gunung Arjuno, G.Penanggungan G.Anjasmoro, G. Semeru, G. Wilis serta G.Kelud. Padahal ini belum termasuk kawasan G.Welirang, G. Argopuro dan kawasan gunung-gunung lainnya.

Jumlah DAS kritis terus bertambah. Tahun 1984 jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 22 buah. Tahun 1992 meningkat 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS. Kini dari total 62 DAS kritis di Indonesia, 26 ada di Jawa dan 4 diantaranya ada di Jawa TImur. Dengan kondisi seperti itu, dengan mudah disimpulkan, Pulau Jawa tidak jauh dari lubang jalan yang tidak kunjung diperbaiki: hujan besar akan timbulkan masalah banjir, sebaliknya pada musim kemarau, alam tidak bisa mengisi ulang karena tidak ada cadangan air di kawasan hulu, permukaan dan bawah tanah sehingga terjadi kekeringan.

 

Memadukan Sistem Sosial dan Sistem Ekologis

Konsep di atas kertas atau di kepala lebih sering tidakberdaya saat berhadapan dengan kondisi nyata di lapangan. Penggundulan hutan yang semakin lama semakin ke arah hulu sungai membuat kemampuan DAS menyerap air berkurang. Jumlah air permukaan yang mengalir menjadi lebih banyak. Dengan menggunakan istilah run off coefficient, yaitu jumlah air yang mengalir dibanding jumlah air hujan yang turun dapat dilihat akibat yang ditimbulkan rusaknya hutan. Untuk daerah DAS berhutan, run off coefficient mencapai 0,1-0,15, atau dari 100 mm air hujan yang menjadi sungai hanya 10 mm perjam. Sementara untuk daerah terbuka, seperti aspal, coefficient bisa sampai 1 mm.

Ujung-ujungnya memang kemampuan penyerapan ini tergantung pada penggunaan tanah yang kalau dilihat dari kacamata kebijakan tergantung rencana tata ruang wilayah (RTRW). Masalahnya, RTRW lebih banyak mengakomodasi kepentingan dan tujuan komersial, sementara perlunya keberadaan kawasan konservasi untuk keberlanjutan air tidak terlintas di pikiran. Kondisi yang ada saat ini, dari 30 persen kawasan DAS yang idealnya tersedia, hanya tersisa 18 persen. Angka ini berbeda dengan catatan data Badan Planologi Departemen Kehutanan yang datanya berdasarkan citra satelit, luas daerah yang tertutup hutan tinggal empat persen saja.

Ketidaksinergisan kebijakan antar lembaga pemerintah dan antar wilayah terus terjadi. Belum adanya pemahaman bersama atas kebijakan satu kesatuan dari hulu sampai hilir bisa jadi sebabnya. Serba sektoral dan mengedepankan egoisme bidangnya masing-masing dan lagi-lagi problem klasik muncul tanpa henti “kelemahan koordinasi antar sektor”. Untuk pendekatan  mengelola SDA yang berkeadilan dan berkelanjutan. Maka memadukan sistem sosial budaya yang luhur dan sistem ekologis yang menjamin keadilan lingkungan antar generasi layak dilakukan.

Bisa diawali dengan adanya evaluasi aturan yang membuka peluang penguasaan air secara privat, penegakan hukum dan pembentukan suatu lembaga yang berkaki dari kampung sampai nasional yang diberi kewenangan mengelola keberlanjutan air dan berfungsi secara sosial budaya dari kawasan hulu sampai hilir. Para pengurus bisa mengarusutamakan kelompok rentan yang menjadikan air sebagai kebutuhan dasar hidupnya. Seperti perwakilan dari petani, buruh, konsumen air minum, nelayan, petambak, dan sektor lainnya yang berkehendak baik. Dan dalam operasinalnya ditunjang dengan  instrumen monitoring evaluasi berkala secara terbuka dan melibatkan publik.  ???

 

Krisis Air Utopis?


Memahami krisis air ada tiga pendekatan. Krisis air dalam konteksnya dapat kita kenali dengan bentuk dan dampaknya. Pertama dalam konteks kwantitatif dan kualitatif atau ketersediaan dan kualitasnya. Hal ini bisa kita jumpai  krisis dalam bentuk kekurangan kekeringan, dan krisis saat tersedia air tapi tidak memenuhi standart kelayakan untuk kebutuhan sehari-hari (konsumsi, mandi, mencuci).  Kedua,  keberlanjutan (kontinuitas) juga mengancam. Ketiga, berlebihan (over be coming), seperti banjir yang kerap terjadi, baik di kawasan hulu maupun hilir. Tetapi dalam tulisan ini krisis air yang penulis maksud, lebih fokus pada krisis ketersediaan dan keberlanjutan air.

Kelangkaan, kekeringan air telah melanda beberapa wilayah Indonesia. Paling banyak terjadidi Pulau Jawa. Bisa dipengaruhi ketidakseimbangan sumber daya alam (SDA) maupun keberadaan penduduk Indonesia yang 60 persen menghuni pulau Jawa.  Selain itu kemarau panjang dar tahun ke tahun yang makin panjang dan menjadi indikator ketidakseimbangan iklim juga berpengaruh besar. Seperti yang terjadi di Kabupaten Nganjuk Provinsi Jatim. Terjadi hal yang mengerikan dan memilukan. “Warga Desa Ngetos minum air selokan”. Mereka memasang selang untuk alirkan air dari selokan ke gentong atau kamar mandi, untuk menampung air yang berwarna coklat kehitaman. Melalui proses penjernihan manual, air dibiarkan selama dua jam, agar kotorannya mengendap  dan ketika air mulai jernih warga baru menggunakannya untuk kebutuhan konsumsi dan lainnya (Surya, 4/10/2006).

Musim kemarau memasuki bulan ke tujuh di tahun 2006 ini, tetapi dampak suhu panas dan ketersediaan air dari tahun ke tahun seperti makin krisis saja. Buktinya banyak daerah-daerah yang kekurangan air. Baik untuk kebutuhan minum, memasak, mencuci dan sektor yang kurang diperhatikan adalah ancaman air pada irigasi pertanian. Petani di Kab. Ngawi saat kemarau seperti sekarang harus mengeluarkan Rp.10.000,- untuk tiap tiga jam demi mendapatkan air. Petani Kab. Nganjuk juga dalam satu bulan harus mengeluarkan biaya untuk air sebesar lima kali lima jam adalah Rp. 150.000,-

 Bahwa kehidupan sosial, budaya dan ekonomi manusia, hampir tidak ada yang terpisahkan atau tidak terkait dengan air. Sebagaimana dalam tubuh ”fisik/jasmaniah” manusia sendiri juga 70 persennya terdiri dari air. Begitu juga luas bumi dan dunia ini lebih dari 60 persennya adalah air. Baik lautan, sungai-sungai, sumber mata air, air bawah tanah, maupun air yang lain.

Untuk itulah penting ditegaskan keberadaan air juga sebagai bagian kebutuhan dasar (basic need). Manusia sebagai makhluk sosial penting menyadari akan keberlanjutan tata kelola dan tata laksanan air. Memahami masa depan kehidupan seluruh ummat manusia perlu menjadi agenda pencerdasan sosial secara kolektif. Tetapi apakah ini sudah dijadikan pemerintah bahwa air sebagai kehidupan sosial yang harus dijadikan jaminan kedaulatan dalam bernegara? Bahwa pengelolaan sumber daya alam dikawasan hulu sampai hilir mestinya dikelola secara ekologis dan tidak mengedepankan  kepentingan komersialisasi dan privatisasi air oleh korporasi ”pebisnis” air.

 

Kerusakan Hutan – DAS dan Korelasi Krisis Air

Ketersediaan air untuk wilayah tropis seperti Indonesia pada umumnya dan Jawa khususnya yang bagian dari wilayah Indonesia jelas di topang dari kawasan hulu. Dimana kawasan ini merupakan kawasan inti dari keberadaan hutan yang menyediakan aneka macam tumbuhan dan sistem tataair dalam fungsi normatif dan obyektifnya. Sementara sejak tahun 1997-2003 areal hutan Jawa kritis, atau sekitar lebih dari 30 persen gundul. Padahal di Jatim saja sudah mencapai lebih dari 500.000 hektar hutan rusak, dari luas 1,3 juta hektar hutan yang ada, baik hutan produksi maupun lindung. Dampak yang ditimbulkan pun tidak sedikit, 280 banjir dan tanah longsor terjadi sejak kurun waktu tahun 2000-2004 di seluruh Jawa.

Keberadaan mata air memang faktor penting yang akan mengairi daerah aliran sungai yang ada. Namun sayangnya  keberadaan mata air (sumber-sumber air) di Jatim sudah berada di titik sangat rawan. Berdasarkan data dari bidang pemantauan dan pemulihan kualitas lingkungan Jatim ada 200 titik mata air di tahun 2005 yang berada di enam pegunungan Jatim yang hilang. Hal ini disebabkan oleh perusakan hutan yang massif (destruktif logging). Padahal 19,8 juta jiwa penduduka Jatim menggantungkan kebuthan airnya dari keberadaan sumber-sumber air ini. Semula dienam pegunungan Jatim ada 421 titik mata air dan sekarang tersisa 221 mata air saja. Padahal mata air tersebut sebagai sumber utama Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang melingkupi sekitar sepuluh Kab/Kota di Jatim. Pegunungan yang dimaksud adalah adalah Gunung Arjuno (wilayah Kota Batu dan sekitarnya), G.Penanggungan (Kab. Pasuruan, Mojokerto), G.Anjasmoro (Kab. Malang dan Pasuruan), G. Semeru (Kab.Lumajang dan Kab. Malang), G. Wilis (Kab.Kediri dan Nganjuk), serta G.Kelud (Kab. Blitar dan Kediri). Padahal ini belum termasuk kawasan G.Welirang yang meliputi Mojokerto, Pasuruan, Jombang dan sekitarnya.

Jumlah DAS kritis terus bertambah. Tahun 1984 jumlah DAS kritis di Indonesia mencapai 22 buah. Tahun 1992 meningkat 39 DAS, tahun 1998 menjadi 59 DAS. Kini dari total 62 DAS kritis di Indonesia, 26 ada di Jawa dan 4 diantaranya ada di Jawa TImur. Dengan kondisi seperti itu, dengan mudah disimpulkan, Pulau Jawa tidak jauh dari lubang jalan yang tidak kunjung diperbaiki: hujan besar akan timbulkan masalah banjir, sebaliknya pada musim kemarau, alam tidak bisa mengisi ulang karena tidak ada cadangan air di kawasan hulu, permukaan dan bawah tanah sehingga terjadi kekeringan.

 

Pemodal dan praktek privatisasi ”bisnis air”

Selain problem kerusakan yang menyebabkan ketersediaan. Ada persoalan akses yang secara mendasar belum dijadikan hal penting di negeri ini terkait kebutuhan warga negara terhadap air. Kebutuhan orang banyak sering dikalahkan dengan kepentingan akumulasi modal melalui bisnis air yang hanya menguntungkan sebagian kecil kelompok.

Bisnis air nampaknya tidak sesederhana seperti seorang penjual teh di pinggir  jalan yang menjual tehnya dengan penghasilan tidak seberapa. Data yang dilansir oleh FORTUNE edisi 15 Mei 2000 menyebutkan bahwa nilai pasar air dunia sudah mencapai US $ 400 miliar. Nilai ini 40 % lebih tinggi dari nilai industri minyak global dan 30 % lebih tinggi dari nilai industri farmasi dunia. Total pemasukan industri air swasta Amerika Serikat pada tahun 2000 mencapai US $ 800 milyar per tahun. Angka ini empat kali lebih tinggi dari angka penjualan satu tahun Microsoft Corporation.

Sementara dalam laporan tahunannya, perusahaan air swasta dari Inggris, Thames, membukukan pendapatan sebesar US $ 2,243 milyar pada tahun 2001. Dan Thames sekarang yang menguasai pengelolaan PDAM Pam Jaya DKI Jakarta. Sementara Suez Lyonaise des Eaux meraih pendapatan US $ 4,308 milyar pada tahun yang sama. Sementara Vivendi International mencatat pendapatan sebesar US $ 2,192 milyar. Vivendi dan Suez memiliki dan mengontrol penyediaan air bersih di 120 negara di 5 benua yang menjadi anggota Dewan Air Dunia. Dewan Air Dunia adalah salah satu panel lobi paling berpengaruh dalam organisasi perdagangan dunia (WTO).

Tingginya pendapatan yang dapat diraih dalam bisnis air ini akhirnya juga ‘menggoda’ perusahaan swasta internasional untuk mencari keuntungan di Indonesia. Pada tahun 1997, telah ada tidak kurang dari 20 investor asing telah antri untuk melakukan investasi dibidang penyediaan air bersih di seluruh Indonesia.

Tingginya ‘hasrat’ pencarian keuntungan dalam bisnis air oleh perusahaan asing juga dibuktikan dengan dominasi perusahaan swasta asing dalam bisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di Indonesia. Dari 246 perusahaan AMDK di Indonesia, 65 % didominasi oleh 2 perusahaan asing, yakni Aqua (group Danone) dan Ades (The Coca Cola Company). Dan peluang untuk makin dikomersilasasi dan di privatisasinya sektor air di Indonesia makin terbuka sejak disahkannya UU No.7 tahun 2004, tentang Sumber Daya Air telah disahkan oleh DPR RI.

 

Memadukan Sistem Sosial dan Sistem Ekologis

Konsep di atas kertas atau di kepala lebih sering tidakberdaya saat berhadapan dengan kondisi nyata di lapangan. Penggundulan hutan yang semakin lama semakin ke arah hulu sungai membuat kemampuan DAS menyerap air berkurang. Jumlah air permukaan yang mengalir menjadi lebih banyak. Dengan menggunakan istilah run off coefficient, yaitu jumlah air yang mengalir dibanding jumlah air hujan yang turun dapat dilihat akibat yang ditimbulkan rusaknya hutan. Untuk daerah DAS berhutan, run off coefficient mencapai 0,1-0,15, atau dari 100 mm air hujan yang menjadi sungai hanya 10 mm perjam. Sementara untuk daerah terbuka, seperti aspal, coefficient bisa sampai 1 mm.

Ujung-ujungnya memang kemampuan penyerapan ini tergantung pada penggunaan tanah yang kalau dilihat dari kacamata kebijakan tergantung rencana tata ruang. Masalahnya, rencana tata ruang lebih banyak yang tidak komprehensif. Bagai memakai kaca mata kuda, mata pembuat kebijakan seringkali hanya melihat uang sebagai tujuan komersial, sementara perlunya keberadaan kawasan konservasi untuk air sama sekali tidak terlintas di pikiran. Kondisi yang ada saat ini, dari 30 persen kawasan DAS yang idealnya tersedia, hanya tersisa 18 persen. Angka ini berbeda dengan catatan data Badan Planologi Departemen Kehutanan yang datanya berdasarkan citra satelit, luas daerah yang tertutup hutan tinggal empat persen saja.

Ketidaksinergisan kebijakan antar lembaga pemerintah dan antar wilayah terus terjadi. Belum adanya pemahaman bersama atas kebijakan berbasis bioregion ”satu kesatuan dari hulu sampai hilir” bisa jadi sebabnya. Serba sektoral dan mengedepankan egoisme bidangnya masing-masing dan lagi-lagi problem klasik muncul tanpa henti “kelemahan koordinasi antar sektor”. Bioregion untuk jadi pendekatan  mengelola sumber daya alam layak dijadikan uji materi pengelolaan sumber daya alam.

Bahwa hutan, air, pertanian, konsumsi, produktivitas, industri dan aspek lainnya tidak bisa berdiri sendiri-sendiri untuk kepentingannya masing-masing. Tetapi sayangnya manusia terlalu naif ketika belajar dan menyadari saat semuanya setelah menjadi “bencana kehidupan”. Disisi lain tangan dan keserakahan manusia untuk menguasai, merusak dan menumpuk modal makin menjadi-jadi. Saat komoditas dikedepankankan dan mengalahkan  air sebagai sumber kehidupan yang menjadi kebutuhan dasar manusia tak dihentikan. Ketika keseimbangan alam sudah siap jadi “bencana rasional” dalam kehidupan. Untuk yang masih sehat akalnya, sensisitif perasaan dan peka empatinya, tentu mampu secara jernih menyadari krisis air bukan utopia!