Waste!


anak-minum-air.jpg

Es Batu Lebih Kotor Ketimbang Air Toilet

Anda suka meminum minuman dingin dari restoran siap saji? Mulai sekarang Anda harus berhati-hati karena lewat penelitian telah terbukti es batu yang disediakan restoran fast food mengandung lebih banyak kuman daripada air toilet. Ihh…

Anda kerap merasa kurang nyaman menggunakan air yang berada di kamar mandi umum? Tentunya Anda tak bisa menjamin kebersihan air tersebut bukan? Tapi apakah Anda pernah berpikir dari mana asal air yang dibekukan menjadi es batu di restoran siap saji favourit Anda?

Sepertinya Anda harus mengubah anggapan bahwa es batu yang berasal dari restoran siap saji aman untuk dikonsumsi. Sebuah penelitian baru-baru ini membuktikan bahwa 70% es batu restoran siap saji lebih memiliki banyak kuman dibandingkan air toilet.

Penelitian ini dilakukan oleh seorang anak perempuan yang baru berusia 12 tahun, Jasmine Roberts. Lewat penelitian ini Jasmine berhasil mendapatkan penghargaan proyek sekolah menengah.

Jasmine membuktikan penelitian ini dengan mengambil contoh es batu dan air toilet dari lima restoran siap saji yang berada di wilayah Florida Selatan. Setelah lengkap, ia melakukan pengecekan bakteri dari contoh es batu dan air toilet itu di University of South Florida.

Dari hasil tes positif ditemukan bakteri E.coli yang biasanya terdapat dari sisa air pembuangan yang menyebabkan timbulnya beberapa jenis penyakit.

“Bakteri ini seharusnya tak berada di dalam es batu. Jasmine membantu kita memperingatkan adanya bahaya kesehatan yang bisa disebabkan oleh es batu ini,” ungkap Dr. David Katz komtributor masalah kesehatan ‘Good Morning Amerika’ seperti
dilansir detikhot dari ABC News, Senin (27/2/2006).

Baik Jasmin dan Dr. David mengatakan bahwa es batu tersebut dinilai lebih
kotor dari air toilet karena mesin es batunya tidak bersih dan orang menggunakan tangan yang kotor untuk mengambil es. Sedangkan air toilet dinilai lebih bersin karena berasal dari sumber air yang telah melalui proses penyaringan.

(admin – diambil dari detikHot).

AYO MINUM ES!


1160.gif Dibalik Segernya ES TEH manis…??

Setelah pengungkapan-pengungkapan peristiwa-peristiwa yang cukup mengagetkan seperti, pemakaian boraks pada beberapa jajanan favorit dipinggir jalan, pemakaian formalin yang berlebihan, pemakaian deterjen pada ikan asin biar keliatan lebih bersih dan putih atau pemakaian pewarna pada ikan kakap putih biar menjadi kakap merah yang di pasaran lebih mahal. (sekali lagi) BAH!! BAJIGUR!

Nah tayangan kali ini mengungkap kasus es batu yang banyak digunakan di warung-warung seluruh Jakarta. Es batu ini ternyata berasal dari air sungai ciliwung yang kinclong banget warnanya itu. Pada awalnya mereka menggunakan zat pemutih agar air keliatan lebih jernih. Kemudian dimasukkan kedalam pendingin dan jadilah peti-peti es yang besar dan bening. Awalnya es ini hanya digunakan untuk mengawetkan makanan (ikan, buah dan sayuran) atau mendinginkan minuman botol pada kotak2 yang tidak memiliki sistem refrigerator. Tapi sialnya, para penjaja makanan dan minuman di jakarta (bahkan warung-warung yang besar) menggunakan es ini pada minuman dingin yang mereka jual. Es teh manis, aneka juice, es campur, es doger, dan lainnya yang membuat kita menelan ludah ketika melihat minuman ini kala terik menyengat. HANYA dengan alasan MURAH, OMG!

Taukah kalian, setelah tim investigasi TransTV mencoba mengambil sampel secara acak di beberapa penjual yang menggunakan es ini pada aneka minuman, dan kemudian mengetesnya di laboratorium, terbukti dalam es itu mengandung bakteri E-COLI jauh diatas batas normal (10.000 – 20.000 per 100 mL). Dengan kata lain es ini mengandung bakteri hampir setara dengan (maaf) kotoran manusia.

Nah… Masih mau jajan sembarangan??? Emang Home made jauhhhhh lebih enak dan Sehat!!!!

Ini Dia yang bikin BBM kita Bolak-Balik-Mahal


Perjalanan Privatisasi Migas Indonesia

Oleh : RIDHO SAIFUL ASHADI

Pada tanggal 4 Februari 2000 Dewan Direksi IMF di Washington mengadakan pertemuan untuk menyetujui langkah dan jadwal reformasi “sektor energi” dengan kompensasi bantuan sebesar 260 juta dollar AS dan sebesar lima milyar dollar AS dalam tiga tahun mendatang (berikutnya) akan dikucurkan. Tidak lama kemudian, dari ide restrukturisasi ini Pemerintah Indonesia menetapkan Rancangan Undang Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas menjadi Undang Undang.

Restrukturisasi energi ini merupakan bagian dari proses reformasi ekonomi untuk mendorong peningkatan efisiensi ekonomi nasional. Restrukturisasi energi pada intinya adalah reformasi harga energi dan reformasi institusional/kelembagaan dalam pengelolaan energi. UU No.22/2001 tentang Migas  merupakan implementasi restrukturisasi energi di sektor energi (baca : migas), termasuk beberapa peraturan pelaksana UU Migas, diantaranya: PP Nomor 42 Tahun 2002 Tentang BP Migas; PP Nomor 67 Tahun 2002 Tentang BPH Migas; PP Nomor 31 Tahun 2003 Tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Perseroan (Persero); PP Nomor 35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; PP Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi; RPP Penerimaan Negara Bukan Pajak; RPP Keselamatan Kerja dan Lindungan lingkungan pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi.

Di bawah payung UU  22/2001 yang “liberal dan ekspor minded” ini, pihak swasta (baca : perusahaan multinasional) diijinkan mengelola sektor migas baik di hulu maupun hilir, seperti tertuang pada pasal 9 ayat 1. Sementara badan usaha yang sudah melakukan kegiatan di sektor hulu tak diijinkan melakukan kegiatan yang sama di sektor hilir (Pasal 10, ayat 1). Dengan demikian, Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus rela kehilangan dominasinya di sektor migas. Tidak cuma itu, Pertamina pun harus memilih: mau usaha di bagian hulu atau hilir saja?

Jadi, apa yang dikatakan sebagai sebuah skenario restrukturisasi sektor energi di Indonesia dengan  produknya UU Migas No.22 tahun 2001, pada kenyataannya adalah sebuah blue print penguasaan dan pengontrolan atas sumberdaya energi bangsa ini. Dengan segala dampak yang ditimbulkan baik secara langsung maupun tidak langsung yang dapat dirasakan, di antaranya;

Ø      Krisis “kelangkaan” BBM dan minyak tanah hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hampir satu bulan lebih sejak akhir bulan Juni 2005, paling sedikit dari data yang terpantau, krisis BBM terjadi di tiga belas Propinsi. Akhirnya, membuat Presiden SBY mengeluarkan Inpres No.10/2005 tentang hemat energi yang mengatur langkah-langkah penghematan pendingin ruangan, penerangan, peralatan yang menggunakan listrik, serta penggunaan kendaraan. Tentu saja hal ini tidak tepat sebagai kebijakan yang bersifat ideal dalam jangka panjang,

Ø      Kenaikan harga bahan bakar. Harga Elpiji, Petramax, dan Petramax Plus yang “disesuaikan” pada tanggal 19 Desember 2004 dan dilanjutkan lagi dengan kenaikan harga pada tanggal 1 Maret 2005 sampai 25% adalah fakta bahwa pemerintah hanya mengejar keuntungan dari kenaikan ini. Selanjutnya, akan menyusul kenaikan harga bahan bakar minyak lainnya. Paling cepat adalah bulan November 2005 SPBU dari parusahaan multinasional akan buka.

 

Migas Jawa Timur Dikuasai Perusahaan Multinasional

            Jumlah produksi minyak di Jawa Timur pada tahun 2001 diperkirakan mencapai 6,328 juta barrel. Dari perkiraan produksi minyak bumi itu paling banyak dihasilkan oleh Kabupaten Tuban, dengan 52 persen produksi, yaitu sebesar 3,305 juta barrel; kemudian Kabupaten Sumenep, 24 persen produksi yang menghasilkan 1,534 juta barrel, sedangkan Bojonegoro memproduksi 1,260 juta barrel minyak bumi. Di samping produksi minyak bumi yang dieksplorasi di darat, juga produksi minyak bumi di wilayah 12 mil laut sebesar 2.364 barrel.

Selain minyak bumi, prediksi gas alam yang dihasilkan Jatim mencapai 127.391 juta kaki kubik. Sumber daya alam itu berada di wilayah Kabupaten Sumenep dengan produksi 118.891 juta kaki kubik serta di Kabupaten Sidoarjo yang memproduksi 8.500 juta kaki kubik (Kompas, kamis 5 Juli 2001). Sedangkan di wilayah 12 mil laut, produksi gas alam Jatim diperkirakan sebesar 10.440 juta kaki kubik. Dan di Provinsi Jatim sendiri, terdapat 12 KPS (Kontrak Production Sharing)  yang beroperasi yaitu, BP Kangean Ltd, Gulf Indonesia Resources Ltd, Mobil Madura Strait (Eton), Lapindo Brantas Inc, Indo Pacific Resources (Jawa) Ltd, Premier Oil Pangkah Ltd (sekarang dibeli Amerada Hess), Santos Sampang Pty Ltd, Wirabuana Resources Ltd, YPF-Maxus SES BV, Kodeco Energy, Job Pertamina-Medco Madura Ltd, Job Pertamina-Santa Fe Tuban (yang sempat dibeli Devon Canada 1999-2001 dan sekarang sahamnya dibeli oleh PT. Petrochina Ltd). Satu lagi adalah Exxon Mobil oil sudah melakukan eksplorasi dan siap melakukan eksploitasi di Bojonegoro, dengan jangka waktu eksploitasi selama 35 tahun .

 

Memilih Bangkrut atau Bangkit Berdaulat?

UU Migas 22/2001 adalah produk kebijakan yang lahir atas intervensi IMF/World Bank pada pemerintah Indonesia sejak masa krisis moneter tahun 1997. Di belakang IMF/World Bank ini berdiri berbagai perusahaan minyak dunia yang dikenal dengan “the five sisters”, seperti Caltex yang merupakan anak dari Chevron Texaco Coorporation, Unocal, BP, Exxon Mobile Oil, Shell,  dan lainnya.

Tujuan dari perusahaan minyak dunia itu tidak lain adalah menguasai dan mengontrol sumberdaya energi. Penguasaan atas bangsa-bangsa utara dari dulu hingga saat ini tidak pernah mengalami perubahan pola, dari peristiwa Perang Dunia satu sampai Perang Dunia dua menceritakan kisah yang sama. Begitu juga dengan sisi lain dari perang yang masih terus berlangsung hingga saat ini, ketika Amerika-Inggris-Australia bersatu padu menggempur Iraq, juga menyiratkan pesan yang sama. Bahwa, “sebuah bangsa akan mampu ditaklukkan jika energi, pangan, dan sumber air-nya sebagai sumber kehidupan dapat direbut”.

Kalau mau keluar dari krisis, contoh yang layak dijadikan referensi adalah keteguhan Presiden Venezuela, Hugo Chavez, yang mempertahankan migasnya demi kesejahteraan rakyatnya atau perlawanan suku-suku di Bolivia yang berani memimpin aksi massa untuk menduduki istana presiden dan memaksa presiden Carlos Messa mundur dari kursi kepresidenan, dengan menuntut nasionalisasi migas untuk rakyat. Fenomena itu adalah pilihan “kedaulatan” untuk menunjukkan bahwa negara dibuat untuk memenuhi kebutuhan kesejahteraan bersama. Dan rakyat adalah soko guru dan subyek yang seharusnya merasakan kesejahteraan, melalui terwujudnya pemenuhan  hak-hak warga negara atas sumber-sumber kehidupan di negeri sendiri. ***

 

 

 

 

 

 

Identitas Penulis            : Ridho Saiful Ashadi

Organisasi                    : Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur

Jabatan                         : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur 2005-2008

 

Oe… Gas Bumi Jatim Mau Dikuras Habis!


Potret Eksploitasi Gas Bumi Jawa Timur

 

Kebutuhan dan ketergantungan masyarakat dalam menjalani aktivitas dan mobilitasnya sehari-hari saat ini sangat tergantung pada ketersediaan energi bahan bakar. Terutama aktivitas kehidupan yang telah memasuki era industrialisasi ”yang selalu butuh energi” dan sarana transportasi saat ini juga sangat bergantung dengan ketersediaan energi bahan bakar, baik minyak maupun gas. Tetapi pernahkah kita membayangkan jika semua mesin-mesin pabrik itu berhenti karena tidak mendapat bahan bakar, semua alat masak kita ”kompor” tidak bisa menyala karena tidak ada  bahan bakar, pernahkah kita membayangkan jika semua  sepeda motor dan mobil-mobil baik pribadi maupun angkutan umum tidak mendapatkan bahan bakar, semua kapal dan perahu nelayan tidak bisa melaut, semua pembangkit lisktrik kita tidak mendapat supplai bahan bakar untuk memutar turbin dan membangkitkan generatornya? Ya, mungkin akan terjadi kepanikan secara massal, bahwa  semua orang bisa ”putus asa” dan bingung apa yang harus dilakukan. Kecuali mereka yang hidup di tengah hutan dan kaya dengan sumber daya alam dan sumber-sumber kehidupan, yang masih percaya dan bisa menjalani bahwa dengan menjaga keseimbangan dan mengelola sumber daya alam secara arif adalah sistem yang sudah menyatu sebagai  praktek nyata untuk menjaga keberlanjutan kehidupan mereka sendiri.

Sekarang, mulai 1 Oktober 2005  pemerintah melalui Perpres 55/2005 telah menetapkan harga bahan bakar dengan lonjakan yang cukup tinggi,  BBM naik sampai 120%.  Tentu saja ini memicu kenaikan harga barang-barang pokok dan kebutuhan lainnya, serta membawa efek domino disektor lain, seperti terjadinya ancaman PHK massal kaum buruh. Bahan bakar yang di komersialisasikan, terdiri dari produk  BBM dan non BBM. Produk BBM terdiri atas: JP-5, avgas, avtur, bensin, premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar serta bahan bakar khusus (BBK) yang mencakup bensin super tanpa timbal (super-TT), premix 94, dan bensin biru 2 langkah (BB2L).

Saat ini sedang dibangun infrastruktur jaringan transmisi pipa gas yang  di bangun di beberapa wilayah indonesia dan di tawarkannya 20 wilayah kerja baru blok lapangan migas kepada parusahaan pertambangan asing. Wilayah jaringan transmisi gas bumi terpadu meliputi Sumatera Selatan ke Jawa Barat (480 Km), adalah tahapan dari proyeksi transmisi gas seluruh pulau Jawa sebagai wilayah industrialisasi yang di huni oleh 60% penduduk Indonesia, meskipun luasnya hanya 7% luas seluruh Indonesia. Infrastruktur Pipa Transmisi gas itu merupakan rencana eksploitasi dari jumlah cadangan terbukti gas bumi sekitar 90 triliun standart kaki kubik (TSCF). dengan tingkat produksi tahun 2002 sebesar 3 TCF maka cadangan tersebut akan habis dalam 30 tahun. Bahkan tahun 2005 ini Total cadangan gas bumi sebesar 176,59 (TSCF), terdiri dari 90,30 TSCF cadangan terbukti dan 86,29 TSCF cadangan potensial. Dari jumlah tersebut dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri 45%, sementara 55% di ekspor (Menteri ESDM, Kompas 10 Agustus 2005). Sedangkan stasiun pengisian bahan bakar Gas yang telah dibangun sebanyak 28 unit, dengan kapasitas 408.020 LSP, yang beroperasi 14 unit (Sumber : Kompas 10/8/2005). Dan Jumlah pelanggan PT Perusahaan Gas Negara Jawa Bagian Timur terdiri dari 146 pabrik, 63 komersial dan 3.945 rumah tangga.

Jelas situasi energi bahan bakar minyak Indonesia tinggal menunggu waktu saja memasuki era senja, dengan jumlah cadangan yang begitu besar maka pemerintah seolah membuka dan mendorong investasi asing masuk pada sektor hulu dan hilir industri gas bumi di Indonesia. Nampak jelas di sini sebuah peralihan penguasaan sumberdaya energi fosil dari rejim hidrokarbon minyak bumi ke rejim hidrokarbon gas bumi. Penawaran wilayah kerja migas atau yang biasa disebut blok migas terus menerus dilakukan oleh pemerintah pusat. Blok migas yang berada di wilayah Jatim selalu banyak peminatnya, diantaranya tiga blok migas yang diminati oleh investor yaitu Blok Northeast Madura III, Northeast Madura IV, dan Northeast Madura V di Jawa Timur. Investor yang tertarik antara lain, Sheel, ExxonMobil, Total E&P, Santos, CNOOC dan Amerada Hess.

Bukti konkrit lainnya dalam peralihan dan potensi bisnis gas yang bisa dilihat di wilayah Propinsi Jawa Timur  adalah di temukannya blok lapangan migas yang meliputi beberapa wilayah Kabupaten seperti Gresik, Madura, Tuban, Bojonegoro dan Sidoarjo. Disekitar wilayah Jawa Timur dan Madura terdapat sedikitnya 14 Cekungan hidrokarbon yang mengandung minyak dan gas. Data tahun 2000 menunjukkan cadangan minyak terbukti sebesar 150,0 juta barel; potensial sebesar 133,7 juta barel; totalnya adalah sebesar 283,7 juta barel. Sedangkan untuk cadangan gas bumi terbukti sebesar 2 TSCF; potensial 3,2 TSCF; Total 5,2 TSCF. Eksploitasi gas bumi di Jawa Timur hingga tahun 2003, dilakukan oleh 3 perusahaan kontraktor bagi hasil (KPS), yaitu : BP Kangean, Lapindo Brantas, dan Kodeco Energi masing-masing memproduksi gas sebanyak 175 MMSCFD, 48 MMSCFD, dan 80 MMSCFD.

Berdasarkan data tahun 2003 Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jatim, kebutuhan gas di Jatim mencapai 420 juta kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/MMSCFD). Namun, dari total kebutuhan itu, baru 300 juta kaki kubik yang dapat dipenuhi para kontraktor produksi sharing (KPS) di Jatim atau masih terjadi kekurangan sebanyak 120 juta kaki kubik gas per hari. Dari total 420 juta kaki kubik gas per hari itu, yang dikonsumsi PT PGN (untuk industri) sebanyak 14 persen, untuk PT PLN Gresik (untuk pembangkit energi listrik) sebanyak 72 persen, dan PT Petrokimia Gresik butuh 14 persen. Besarnya kekayaan dari cadangan gas alam yang terambil selama ini sebesar 4,72 trilyun dollar Amerika Serikat (AS). Angka itu diperoleh dari besarnya cadangan gas sebesar 2,36 ton kaki kubik (ton cubic feet/TCF) dikalikan dengan harga gas sebesar 2 dollar AS per kaki kubik (CF). Jika dalam satu hari selama ini telah terpenuhi 300 juta kaki kubik, maka transaksi bahan bakar gas dalam satu hari adalah mencapai omzet 600 juta dollar.  Dan apabila dikalikan dalam satu tahun maka akan ketemu 219.000.000.000 milliar dollar, dengan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar maka nilai transaksi yang terjadidalam satu tahun di sektor migas hanya di Propinsi Jawa Timur saja mencapai 219.000.000.000 x 10.000 = 2.190.000.000.000.000 (dua juta 190 milliar rupiah. Seandainya sumber daya ini di kuasai total oleh Indonesia maka, mungkin negri ini tidak perlu terjebak hutang luar negeri. Tapi karena semua bahan bakar dan kekayaan alam ini tidak lagi di kuasai Negara maka, swasta asing selaku pemegang da pengendali pasar Internasional yang menguasainya.

Selain itu besarnya kekayaan dari cadangan gas alam yang terambil selama ini sebesar 4,72 trilyun dollar Amerika Serikat (AS). Angka itu diperoleh dari besarnya cadangan gas sebesar 2,36 ton kaki kubik (ton cubic feet/TCF) dikalikan dengan harga gas sebesar 2 dollar AS per kaki kubik (CF). Cadangan migas Jatim terdeteksi sebanyak 19 triliun cubic feet (TCF). Artinya, dengan harga per TCF sebesar 2 dollar AS, kekayaan alam yang tersimpan senilai 38 triliun dollar AS. Sejauh ini, cadangan gas yang terbukti baru 13 TCF dan yang sudah diambil baru 2,5 TCF senilai 5 triliun dollar AS. “Kekayaan alam yang tersimpan di perut bumi Jatim masih 30-an triliun dollar AS.

 

Kaya cadangan bahan bakar  gas, tapi tidak untuk rakyat

Besarnya cadangan sumber daya gas yang dimiliki Jawa Timur, tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan akan gas bagi wilayah Jawa Timur. Untuk Kabupaten Gresik saat ini investor migas Amerada Hess “Amerika-Canada” sedang memasuki tahapan rencana kegiatan pengembangan lapangan minyak dan gas di blok Ujungpangkah. Lokasi lapangan migas blok pangkah ini berada di lepas pantai, sekitar 3-5 KM sebelah Timur Laut daerah Ujungpangkah. Dengan kapasitas maksimum produksi minyak dari lapangan ini adalah 25.000 BOPD (Barrel Oil per Day = Barel miyak perhari). Sedangkan produksi gas adalah 100 MMSCFD (Million Standart Cubic feet per Day = juta kaki kubik perhari). Jelas jumlah cadangan minyaknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan cadangan potensi terbukti gas di blok pangkah ini. Jika candangan gas dalam satu hari saja 100 juta kaki kubik, maka ketika di ekspolitasi akan ketemu 36.500.000.000 kaki kubik per tahun.

 

Mewaspadai dampak perlu antisipasi terpadu

            Melihat arus investasi migas yang ada di Jawa Timur, maka perlu mewaspadai dan diantisipasi terkait dengan dampak-dampak eksploitasi tambang migas. Mulai dari dampak sosial, lingkungan, ekonomi dan budaya. Kasus radikalisasi nelayan di Kecamatan Ujungpangkah tahun 2001 dan aksi massa Desa Rahayu kecamatan Sooko Tuban pata tahun 2002. Kiranya cukup membuat para pengambil kebijakan belajar dan dijadikan pengalaman oleh para pelaku usaha tambang migas. Bahwa akses dan kontrol masyarakat terhadap sumber-sumber kehidupannya adalah perlu diakui, sehingga mengakui keberadaan mereka sebagai subyek yang hidup jangan sampai diabaikan. Mempertimbangkan untuk mendapatkan migas murah atau menghitung biaya lingkungan (cost ecology) sejak dari awal sebagai bagian dari transparansi informasi juga tidak boleh diabaiakan. Selain itu mengakui kearifan tradisional yang masih berlaku pada masyarakat lokal agar mereka tidak tercerabut dari akar sosial kehidupannya sebagai makhluk sosial, juga bagian yang sangat fundamen.

Untuk antisipasi dampak sosial dan ekonomi terkait kekayaan alam di sektor ini perlu dipertimbangkan sistem bagi hasil yang memenuhi rasa keadilan sosial rakyat di daerah dengan setoran kepada pemerintah pusat. Jangan sampai kasus Exxon Aceh yang menghisap migas disana selama puluhan tahun, tetapi tidak membawa dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), sehingga ketika ditambah perlakuan otoriter rejim saat itu semakin membuat radikal dan memicu perlawanan yang massif dari kalangan rakyat Aceh..

 

 

Identitas Penulis        : Ridho Saiful Ashadi

Jabatan                                  : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur 2005-2008

Alamat            Organisasi    : Jl. Gubeng Kertajaya IX-G/17 Surabaya

Email/Telp/Fax          : walhi9@indo.net.id  / 031-5014092/ 031- 5054313

HP                               : 081. 5509. 3589

Email Pribadi                        : radinyono@yahoo.com

Publikasi        ; 

  1. Ada Apa Dengan Kelangkaan BBM (dimuat di Kolom Artikel  atau Forum KOMPAS Jawa Timur, 14 Juli 2005)

 

 

 

 

 

 

 

 

Migas Jatim DiKuasai dan Siap Dieksploitasi “Dajjal Kapitalisme”


Migas Jatim Untuk Siapa?

 
            Bencana luapan lumpur panas pada proses eksplorasi Lapindo Brantas di Sumur Banjar Panji 1, telah menurunkan citra industri migas di Jatim. Untuk itu diperlukan memperbaiki citra industri migas di jatim dengan melakukan langkah-langkah secara bersama antara korporasi, pemerintah dan perguruan tinggi. Demikian yang ditulis oleh Sukemi selaku staff ahli PR III ITS Bidang Komunikasi (Surya, 25/9/2006). Menurut beliau solusinya adalah membuka akses informasi, memberi rasa aman dan percaya, serta  pentingnya melibatkan perguruan tinggi yang teruji nilai akademis dan kepakaranya, serta ditempatkan pada posisi netral dan tidak memiliki kepentingan. Dengan harapan kedepanan pembangunan dan tingkat kesejaheraan di Jatim lebih baik, akibat menerima tambahan penghasilan dari suksesnya industri migas.

            Solusi atas kompleksitas problem sektor migas memang diperlukan. Masalah citra industri migas bukan persoalan utama dari skenario atas akses keadilan masa depan rakyat untuk meraih kesejahteraan dan terpenuhinya kebutuhan energi. Sebab berdasarkan realitas dan fakta yang ada kekayaan migas kita sebelum reformasi dan sejak disahkannya UU No.22 tahun 2001, membawa dampak serius atas suramnya masa depan pengelolaan energi di Indonesia. Sebab kekuatan pemodal dan kepentingan korporasi lebih diutamakan dibandingkan kpentingan rakyat. Tentunya dampak secara ekonomi, sosial, lingkungan sangat mengancam masa depan kehidupan di Jatim.

 

Dikuasai Pemodal Bukan Untuk Rakyat

Migas memang srategis, terutama sebagai kepentingan ekonomi, politik, sosial dan untuk menopang kebutuhan produktivitas serta mobilitas hampir seluruh  umat manusia diseluruh dunia, tidak terlepas di Jawa Timur. Di Jatim khususnya akan menopang kebutuhan 40% migas nasional dengan indikator saat ini ada 28 Blok Migas sedang eksplorasi (Direktorat Eksplorasi dan Eksplotasi Dirjen Migas). Sayangnya besarnya cadangan sumber daya gas yang dimiliki Jawa Timur, tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan energi migas bagi wilayah Jawa Timur dan di distribusikan untuk keadilan serta kesejahteraan masyarakat Jatim.

Penawaran wilayah kerja migas atau yang biasa disebut blok migas terus menerus dilakukan oleh pemerintah pusat. Blok migas yang berada di wilayah Jatim selalu banyak peminatnya, diantaranya tiga blok migas yang diminati oleh investor yaitu Blok Northeast Madura III, Northeast Madura IV, dan Northeast Madura V di Jawa Timur. Investor yang tertarik antara lain, Sheel, ExxonMobil, Total E&P, Santos, CNOOC dan Amerada Hess.Bukti konkrit lainnya potensi bisnis migas yang bisa dilihat di wilayah Propinsi Jawa Timur  adalah di temukannya blok lapangan migas yang meliputi beberapa wilayah Kabupaten seperti Gresik, Madura, Tuban, Bojonegoro dan Sidoarjo. Disekitar wilayah Jawa Timur dan Madura terdapat sedikitnya 14 Cekungan hidrokarbon yang mengandung minyak dan gas.

Berdasarkan data tahun 2003 Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jatim, kebutuhan gas di Jatim mencapai 420 juta kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/MMSCFD). Namun, dari total kebutuhan itu, baru 300 juta kaki kubik yang dapat dipenuhi para kontraktor produksi sharing (KPS) di Jatim atau masih terjadi kekurangan sebanyak 120 juta kaki kubik gas per hari. Dari total 420 juta kaki kubik gas per hari itu, yang dikonsumsi PT PGN (untuk industri) sebanyak 14 persen, untuk PT PLN Gresik (untuk pembangkit energi listrik) sebanyak 72 persen, dan PT Petrokimia Gresik butuh 14 persen. Cadangan migas Jatim terdeteksi sebanyak 19 triliun cubic feet (TCF). Artinya, dengan harga per TCF sebesar 2 dollar AS, kekayaan alam yang tersimpan senilai 38 triliun dollar AS. Sejauh ini, cadangan gas yang terbukti baru 13 TCF dan yang sudah diambil baru 2,5 TCF senilai 5 triliun dollar AS. “Kekayaan alam yang tersimpan di perut bumi Jatim masih 30-an triliun dollar AS (sumber: Jaringan Advokasi Tambang/JATAM Catatan Akhir tahun 2005)

Besarnya kekayaan dari cadangan gas alam yang terambil selama ini sebesar 4,72 trilyun dollar Amerika Serikat (AS). Angka itu diperoleh dari besarnya cadangan gas sebesar 2,36 ton kaki kubik (ton cubic feet/TCF) dikalikan dengan harga gas sebesar 2 dollar AS per kaki kubik (CF). Jika dalam satu hari selama ini telah terpenuhi 300 juta kaki kubik, maka transaksi bahan bakar gas dalam satu hari adalah mencapai omzet 600 juta dollar.  Dan apabila dikalikan dalam satu tahun maka akan ketemu 219.000.000.000 milliar dollar, dengan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar maka nilai transaksi yang terjadi dalam satu tahun di sektor migas hanya di Propinsi Jawa Timur saja mencapai 219.000.000.000 x 10.000 = 2.190.000.000.000.000 (dua juta 190 milliar rupiah. Seandainya sumber daya ini di kuasai total oleh Pemerintah Republik Indonesia dan untuk kesejahteraan rakyat. Maka negeri ini tidak perlu terjebak hutang luar negeri.

Potensi dan besarnya kekayaan migas, ternyata tidak mampu meningkatkan penghasilan negara baik di daerah maupun di nasional. Lihat saja Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sidoarjo, dengan keberadaan Blok Brantas yng mempunyai 43 ttitik sumur pengeboran dan sejak tahun 1999 telah ada 21 titik sumur migas yang beroperasi (sumber draft AMDAL Lapindo Brantas). Ternyata tidak membawa pengaruh signifikan terhadap pendapatan di daerah, apalagi dikaitkan dengan subsidi kesejahteraan para kaum duafa dan mustadz’afiin di daerah tersebut. Pengurasan sumber migas telah menjadi pembiayaan utama penguasa negara yang dikelola sangat tidak transparan serta dipenuhi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Seperti temuan dan hasil audit PriceWaterhouseCoopers 1999, menemukan bahwa negara telah kehilangan jutaan dollar antara bulan April 1996 hingga Maret 1998. Secara nasional industri ekstraktif seperti migas dan tambang umum pendapatnnya pun mengalami grafik menurun sejak tahun 2001 hingga 2004, sebagaimana data berikut;

Uraian

Jumlah yang masuk ke APBN dari tahun

 2001 – 2004 (dalam Triliun rupiah)

2001

2002

2003

2004

1.      Penerimaan negara Bukan Pajak :

  1. Penerimaan Migas
  2. Penerimaan Tambang Umum

 

81,1

  2,3

 

60,8

  1,9

 

56,2

  1,5

 

43,1

  1,3

*) Ringkasan APBN dari tahun ke tahun (2001-2004)

 

Alasan ketidaktersediaan SDM juga sering menjadi alasan “klise” ketika negeri ini sudah selayaknya mengelola sendiri energi migasnya. Tetapi praktek impor teknologi dan sekaligus tenaga pengoperasinya terus dilakukan. Baik untuk teknis eksplorasi dan eksploitasi, maupun di sektor pengolahannya.Hal ini berlangsung cukup lama, sebab tambang migas Jatim sudah  ditemukan kolonial belanda pada tahun 1888 dan dieksploitasi, lantas ditinggalkan pada tahun 1937 (sumber: Sutantri, Samuel dan Nayoan 1973). Dan sekarang, lah koq kita belum mampu mengelola sendiri?  Kalau demikian adanya, lantas wajar dong jika kita mempertanyakan mutu, kualitas pendidikan dan SDM yang disediakan oleh para alumni perguruan tinggi kita? Tentunya ini bukan situasi yang terjadi dengan sendirinya atau alamiah dan satu-satunya ketidakmampuan menjadikan migas sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara.

 Orientasi perguruan tinggi dengan dukungan para akademikus memang perlu juga dikritisi. Bagaimana saat mereka kadang mengaku netral, tetapi disisi lain tidak tegas dan jelas dalam meletakkan kelembutan empatinya. Contohnya seperti dalam kasus Lumpur Lapindo. Perguruan tinggi seperti ITS selayaknya transparan dalam kaitannya sebagai tim yang menyusun draft Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT.Lapindo Brantas. Entah itu dilakukan oleh unit-unitnya yang berada di civitas akademik ITS, ataupun dengan cara sehalus mungkin untuk mensiasati keterlibatan tidak langsung atas nama profesionalitas.

Terkait transparansi dan partisipasi masyarakat bukankah dalam PP.27/1999 tentang AMDAL sudah diatur semua tentang itu? Lantas kenapa faktanya banyak warga tidak tahu menahu keberadaan proyek sebelum keluar lumpur seperti sekarang? Mulai dari Desa Siring, Renokenongo, Mindi, Jatirejo, Kedungcangkring dll. banyak  yang tidak tahu dan tidak pernah ditanya untuk dimintai persetujuan saat proyek PT. Lapindo akan dimulai? Partispasi masyarakat dalam rencana dan pelaksanaan pembangunan, banyak pihak memposisikan rakyat sebagai obyek, bukan subyek penting selaku pihak yang diatasnamakan untuk mendapat kesejahteraan. Baru pada saat dampak, reaksi, perlawanan dan protes cerdas dari masyarakat terjadi, pihak yang seharusnya bertanggungjawab saling tuding dan lempar tanggungjawab.

 

Mewaspadai dampak perlu antisipasi terpadu

Salah satu sebab mengapa di sektor migas ini membuka peluang kemungkinan terjadi “mark up dan kebocoran” adalah sifat kerahasiaan yang melingkupi transaksi bisnis sektor ini. Mulai proses negosiasi mendapatkan Production Sharing Contract (PSC), proses penghitungan bagi hasil, proses tender, dll. Semua dilakukan dengan kondisi yang tertutup dari pengawasan publik. Malah, dokumen yang menyangkut sebagian besar bisnis prosesnya dinyatakan sebagai dokumen rahasia.

Ironisnya sifat kerahasiaan ini di atur dalam UU 22/2001 yang berwatak neo liberal. Dalam pasal 20 (ayat 4) disebutkan; “kerahasiaan data atau informasi mengenai keadaan di bawah permukaan tanah dari hasil investasi yang dilakukan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, data tidak dapat dibuka secara langsung kepada umum untuk melindungi kepentingan investasi”. Otomatis hak atas informasi bagi publik sudah dilanggar. Belum lagi ancaman hak yang lain, terutama pihak yang rentan terkena dampak (sosial, ekonomi, ekologi, budaya) dari proses eksploitasi sumber-sumber kehidupan rakyat Indonesia. Disisi lain sampai hari ini, belum pernah ada laporan neraca keuangan dari korporasi migas yang di informasikan kepada publik, berapa modal yang di investasikan di blok tertentu dan telah mendapat keuntungan berapa setiap hari, setiap tahun dan selama kontrak kerja samanya berlangsung?

Sebenarnya tidak ada alasan yang dapat diterima tentang argumen sifat kerahasiaan dalam industri ini. Alasan rahasia dalam transaksi dan proses bisnis mestinya hanya dibatasi yang berhubungan dengan persaingan usaha antar perusahaan swasta terhadap barang-barang privat (private goods). Padahal sumber daya alam dan sumber-sumber kehidupan bukanlah private goods, tetapi merupakan Public goods.            

Jadi apakah tidak relevan, kalau sebagai pegiat dan anggota organisasi sosial non pemerintah seperti saya mempertanyakan. Benarkah energi migas yang ada di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Timur khususnya, dengan memperbaiki citra industri migas di Jatim bisa menjamin akses dan keadilan antar generasi dimasa depan?

Menjamin akses keadilan masa depan rakyat atas sumber-sumber kehidupannya adalah fundamen untuk diakui, sehingga memposisikan keberadaan rakyat sebagai subyek yang hidup jangan sekali-sekali atau pernah diabaikan. Implementasi dari akses keadilan masa depan dan penghargaan terhadap hak generasi mendatang dapat dilakukan dengan dua cara; Pertama, dengan menghemat sumber daya alam. Kedua, dengan menyimpan dan menginvestasikan hasil pemanfaatan sumber daya alam untuk infrastruktur sosial, pengembangan teknologi atau menyimpannya dalam bentuk tabungan modal sosial. Yang diorientasikan dalam bentuk tabungan negara untuk pendidikan dan kesehatan rakyat. Semuanya dapat dipakai generasi mendatang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Semoga!

 

Identitas Penulis :

Nama              : RIDHO SAIFUL ASHADI

Jabatan                      : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur

Alamat                        : JL. Pucang Anom Timur II No.21 Surabaya T/F:. 031-5014092/ 5054313

HP                   : 08155093589 / 031 – 71116367

Email              : radinyono@yahoo.com

Tulisan “Artikel” Yang Pernah di Publikasi :

  • ADA APA DENGAN KELANGKAAN BBM? (di muat Forum Koran KOMPAS Jawa Timur, tanggal 14 Juli 2005)
  • BISNIS BAHAN BAKAR GAS AKAN MENGGESER MINYAK (di muat Forum koran KOMPAS Jawa Timur, tanggal 12 Oktober 2005)
  • MEWASPADAI BENCANA ALAM DI JATIM (dimuat Forum koran KOMPAS Jawa Timur, tanggal 3 Januari 2006)
  • RENCANA SUBSIDI BENIH UNTUNGKAN PETANI? (dimuat Forum Koran KOMPAS Jatim, 17 Juli 2006)

·        SUMBER KEHIDUPAN JATIM DIBAWAH KUASA MODAL (dimuat Opini Koran SURYA, selasa 26 September 2006)

 

Bahan Bakar Gas Dikuasai Siapa?


 Komersialisasi Energi Ancam Kepentingan Rakyat

            BBG masih milik rakyat, begitu judul tulisan Bung Didik S Setyadi selaku Goverment and Stakeholders Relation, Amerada Hess Indonesia – Pangkah Ltd (Kompas Jawa Timur, 19/10/2005). Dalam tulisan itu mempertanyakan apa agenda tersembunyi tulisan saya yang sebelumnya (Kompas, 12/10/2005) yang menurutnya provokatif, menyesatkan, dan  mengesankan pengelolaan energi bahan bakar “migas” Indonesia tidak “mensejahterakan rakyat dan berpotensi meminggirkan hak dasar rakyat atas energi”. Bukankah sudah selayaknya energi bahan bakar migas (minyak dan gas), serta listrik seharusnya berfungsi secara sosial, tidak hanya komersial? Seperti digariskan dalam UUD 1945 Pasal 33 (ayat 3) bahwa: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Tapi sayangnya amanat konstitusi ini sampai sekarang belum terwujud, ibarat peribahasa “jauh api dari panggang”. Penyebabnya karena kebijakan ekonomi pemerintah pada sektor energi migas mengarah pada mainstream ekonomi liberal yang mengagungkan mekanisme pasar bebas sebagai raja di atas segala raja dalam sistem tata ekonomi. Sedangkan sistem ekonomi kerakyatan yang ditegaskan menjadi landasan kekuatan sosial dalam Pembukaan UUD 1945 diabaikan.

Seperti apakah rasionalisasinya? Mari kita perhatikan sekali lagi sejarah kebijakan restrukturisasi migas Indonesia, menurut Senior Resident Representatif  Internasional Monetary Fund (IMF) di Indonesia, John Dodsworth, mengatakan pada tanggal 4 Februari 2000, Dewan Direksi IMF di Washington mengadakan pertemuan untuk menyetujui jadwal dan langkah reformasi “sektor energi” yang akan segera di umumkan. Begitu diumumkan akan mengucur bantuan sebesar 260 juta dollar AS dan sebesar lima milyar dollar AS (baca; hutang LN) dalam tiga tahun mendatang (berikutnya) untuk Indonesia. Dari ide restrukturisasi energi ini pemerintah Indonesia menetapkan Rancangan Undang Undan tentang Minyak dan Gas, yang tidak lama kemudian akhirnya disahkan menjadi Undang Undang No 22 tahun 2001.

UU 22/2201 memang lebih pro korporasi tambang migas. Contohnya adalah pasal 20 (ayat 4) yang mengatur tentang  “kerahasiaan data atau informasi mengenai keadaan di bawah permukaan tanah dari hasil investasi yang dilakukan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, data tidak dapat dibuka secara langsung kepada umum untuk melindungi kepentingan investasi”. Otomatis hak atas informasi bagi publik sudah dilanggar. Belum lagi ancaman hak yang lain, terutama pihak yang rentan terkena dampak (sosial, ekonomi, ekologi, budaya) dari proses eksploitasi sumber-sumber kehidupan rakyat Indonesia. Makanya sampai hari ini, belum pernah ada neraca keuangan dari korporasi migas yang di informasikan kepada publik, berapa modal yang di investasikan di blok tertentu dan akan mendapat keuntungan berapa setiap hari, setiap tahun dan selama kontrak kerja samanya berlangsung?

Seiring dengan kebijakan pro pasar terbuka itu, para pengusaha tambang yang mengantongi kontrak segera melakukan eksplorasi dan eksploitasi di Provinsi Jawa Timur. Dari 35 blok yang ada, saat ini baru beberapa yang  mengantongi kontrak kerja sama/KKS yang juga biasa disebut production sharing contract/PSC dan Joint Operation Body (JOB)  di beberapa blok yang tersedia.

Tetapi dengan banyaknya perusahaan tambang migas yang beroperasi di Indonesia pada umumnya, ternyata setoran yang diterima APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara) dari sektor migas dan tambang umum mengalami grafik yang terus menurun sejak tahun 2001 hingga 2004;

Uraian

Jumlah yang masuk ke APBN dari tahun

 2001 – 2004 (dalam Triliun rupiah)

2001

2002

2003

2004

1.       Penerimaan negara Bukan Pajak :

  1. Penerimaan Migas
  2. Penerimaan Tambang Umum

 

81,1

  2,3

 

60,8

  1,9

 

56,2

  1,5

 

43,1

  1,3

*) Ringkasan APBN dari tahun ke tahun (2001-2004)

 

            Mari belajar dari kisah Exxon Mobil (USA) di Aceh, tepatnya bernama Exxon Oil Indonesia (EMOI) dengan kendali saham sebesar 100 persen terhadap anak cabangnya. Pada tahun 2000 keuntungan yang di raih Exxon mencapai US $ 210 milyar, dimana sebesar US $ 1 milyar setiap tahunnya disetorkan untuk penyelenggara negara di Jakarta. Dan ironisnya, hingga januari 2000, tercatat 59.192 kepala keluarga tergolong prasejahtera (baca; sangat miskin) di Kabupaten Aceh Utara. Lantas pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kenyataan ini? Jelasnya adalah jangan sampai yang terjadi di Aceh berulang ke Jawa Timur. Dan seandainya itu terjadi kepada rakyat Jawa Timur korban eksplotasi tambang migas, siapa  seharusnya yang bertanggungjawab?

            Energi bahan bakar Dalam konteks BBG, kalau memang untuk rakyat.  Kenapa dalam sektor penjualan BBG seperti yang dicontohkan dan dijelaskan oleh bung Didik S Setyadi. BBG mesti dijual melalui kontrak jangka panjang sebelum gas itu di eksploitasi?  Artinya dengan memastikan pembeli, perusahaan bisa menjual BBG dengan jumlah besar dan dalam kontrak jangka panjang. Mungkin ini cerminan UU 22/2001, yang memangkas peran negara mengelola sumber daya alamnya, dengan mengutamakan kepentingan korporasi migas dan  menggeser kepentingan rakyat.

            Meski Indonesia merupakan pemakai gas bumi terbesar di wilayah Asia Timur dan Oesania. Pemakaian terbesar untuk industri pupuk dan pembangkit listrik, yang masing-masing sekitar 35 persen. Sisanya 30 persen untuk industri lain, seperti keramik. Bahkan menurut menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro gas Indonesia hasil KKS, 55 persen di eksport dan 45 persen untuk kebutuhan domestik (Kompas,10/8/2005). Sedangkan untuk. Menurut data JATAM sektor rumah tangga menggunakan dalam presentase yang sangat kecil, tahun 2002 distribusi energi bahan bakar gas bumi untuk rumah tangga hanya sebesar 0,85 persen, sementara LPG 7,16 persen.          Jadi apakah tidak relevan, kalau sebagai pegiat dan anggota organisasi sosial non pemerintah seperti saya mempertanyakan. Benarkah energi bahan bakar migas dan listrik yang ada di Indonesia pada umumnya dan di Jawa Timur khususnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya?

 

    * * * * *     

Identitas Penulis            : Ridho Saiful Ashadi

Jabatan                         : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur 2005-2008

HP                               : 081. 5509. 3589

Email Pribadi                : radinyono@yahoo.com, ipul@walhi.or.id 

Publikasi           ; 

  1. Ada Apa Dengan Kelangkaan BBM?( Forum KOMPAS Jatim, 14/07/2005 )
  2. BBG akan Geser Minyak                     (Forum KOMPAS Jatim, 12/10/2005 )

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                                                                                  

                                                                                                                  

.

 

 

 

Kepentingan Dibelakang Konversi Kompor Minyak Ke Elpiji


Dibalik Konversi Kompor Minyak Tanah ke ELpiji

 

Sebanyak 133.000 rumah tangga di Jatim akan menerima kompor gas berikut tabung elpiji berkapasitas 3 kilogram. Rencananya akan mulai dilakukan pada februari 2007, pada tahap awal akan dibagikan di tiga daerah di Jatim, yakni Surabaya, Gresik dan Sidoarjo. Langkah ini merupakan awal dari pelaksanaan program konversi energi dari minyak tanah ke elpiji (Surya,17/1/2007

Sejak orde baru berkuasa dan pasca reformasi bahkan orde paling baru ini, masa depan energi bahan bakar Indonesia mengalami ketidakmenentuan dan kompleksitas persoalannya. Saat kepentingan korporasi modal bertabrakan dengan kesejahteraan rakyat yang jadi “omong kosong” para penguasa. Pada akhir tahun 2004 pemerintah gencar mempromosikan perubahan konsumsi minyak bumi ke gas. Pemerintah melakukan hal ini dengan  alasan  gas adalah solusi tepat untuk memecahkan krisi energi di Indonesia , apalagi dengan menipisnya cadangan minyak bumi dan pemerintah tak mampu terus terusan mensubsidi  warganya. Ironis, negara mau ingkari mandat rakyat.

Pendekatan keliru dipakai pemerintah, dengan menganggap bahan bakar ini sebagai barang dagangan, sehingga siapa yang punya uang dia yang bisa mendapatkan. Jelas ini kekeliruan fatal. Tapi sektor migas inilah yang membiayai para aktor politik dan bisnis berkuasa dinegara ini demi mengamankan  mata rantai penghubung kepentingan negara asing, perusahaan transnasional (TNC)  dan komprador domestik. Menurut Goerge Aditjondro komprador domestik dinegeri ini meliputi; (a) anggota ologarki bisnis nasional diseputar keluarga istana, (b) unsur partai penguasa, atau aliansi partai penguasa, dan (c) unsur angkatan bersenjata. Ketiga unsur inilah yang bahu membahu melincinkan jalan dan memantapkan operasi TNC dinegara dunia ketiga. Jika di tengok ke era orde baru, bahkan sampai kini pun sepertinya belum berubah.

 

Konspirasi Modal dan Penguasa

Kebijakan ini berkorelasi posisitif dengan aneka kebijakan energi Indonesia yang memang menuju pada “kebangkrutan” akibat konspirasi dari oligarkhi penguasa dan korporasi ( capital and power sindicated) sejak beberapa tahun lalu. Meski kerahasiaan terjadi sejak eksplorasi dan eksploitasi sampai pengolahan dan distribusi migas bukankah juga telah berlangsung dari lebih dari 40 tahun lebih yang lalu. Mencermati agenda terselubung dan ketidakterbukaan informasi bisa di antitesa dengan realitas yang ada.

Pertama, konversi ini akan membuat bangsa ini makin tidak mandiri dalam mengelola energinya sendiri? Sebab semua sumber gas bumi dengan cadangan besar dan ekonomis sudah digadaikan kepada operator asing. Dibagian hulu sektor tambang, tepatnya wilayah-wilayah penghisapan migas dari perut bumi Indonesia telah dikuasai oleh perusahan-perusahaan asing hampir empat  dekade yang lalu. Dengan kesepakatan kontrak-kontrak  jangka panjang untuk ekspor. Paling tidak terdapat 160 ijin ekploitasi migas di Indonesia sejak 1971. Eksploitasi besar-besaran tersebut saat ini menyisakan cadangan minyak untuk 10 sampai 15 tahun kedepan dan gas bumi sekitar 35-40 tahun lagi habis! Korporasi asing telah menguasai energi ini, seperti Exxon Mobil di ladang Arun – Aceh,  Conocophilips Blok Ramba, Kuala Tungkal dan Pagar Dewa, Sumatera Selatan, BP Tangguh di Ladang Bintuni Papua dan lainnya. Begitu juga dengan 28 Blok lapangan Migas di Jawa Timur, hampir 90 persen dikuasai oleh  korporasi asing.

Kedua, mengganti BBM dengan gas adalah upaya pengalihan isu saja, untuk pembenaran eksploitasi besar-besaran gas bumi dan hanya akan memperpanjang krisis energi di Indonesia. Bahwa karut marut pengelolaan yang lebih berorientasi pada export minded dan privat good oriented. Bukti, menipisnya cadangan minyak bumi sebenarnya ada dibalik keputusan ini. Agar pemerintah punya alasan secara bertahap menghapus subsidi energi dan mendorong penggantian konsumsi BBM ke gas bumi. Sayangnya, pemerintah tak mau menyatakan alasan sebenarnya kepada publik,  bahwa ini semua lagi-lagi akibat salah urus sektor energi.

Nafsu serakah mengeksploitasi minyak bumi secara besar-besaran membuat pemerintah mengabaikan bahwa minyak bumi bisa  habis. Dan sayangnya penganekaragaman sumber energi dalam kerangka membangun “sistem ketahanan energi” tak pernah dilakukan dengan serius. Contohnya energi terbarukan, tak lebih dari 15% ketersediaannya. Akibatnya tingkat ketergantungan terhadap minyak bumi sangat tinggi.

Saat persediaan minyak bumi menipis, pembangunan jaringan transmisi dan distribusi gas di dalam negeri juga diabaikan. Jikapun dilakukan, pembangunan jaringan transmisi ditujukan untuk pemenuhan ekspor gas bumi. Seperti pembangunan jaringan pipa gas ke Malaysia dan Singapura dari Natuna dan Sumatera Selatan, misalnya. Artinya untuk mengganti BBM ke gas, pemerintah harus melakukan percepatan perubahan teknologi dan pembangunan infrastruktur. Selanjutnya pembangunan infrastruktur membutuhkan tekonologi, lahan dan yang pasti juga dana. Darimanakah dana yang selalu diatasnamakan pembangunan dan bagian dari restrukturisasi energi Indonesia?

            Di titik inilah pemerintah berupaya mengaburkan fakta bahwa rendahnya subsidi sektor pelayanan publik bukan karena tingginya subsidi energi. Hal tersebut dikarenakan Anggaran pembelanjaan negara harus dipotong sebanyak 1/3 bagian setiap tahunnya untuk membayar bunga utang. Pemangkasan subsidi pelayanan publik digunakan untuk membayar utang kepada negara donor di utara. Baik utang najis (odeus debt) dimasa rejim Soeharto, utang karena resep yang salah IMF dan bank dunia saat Indonesia mengalami krisis moneter ditahun 1997 – 1999 hingga utang kepada lembaga keuangan internasional lainnya. Penurunan subsidi energi adalah resep IMF dan Bank Dunia (BD) untuk pemulihan ekonomi Indonesia. Patut dicatat besarnya korupsi yang dilakukan dengan sepengetahuan IMF dan BD adalah mencapai 30 persen dari jumlah utang (John Pilger, dalam The New Ruller of The World).  

 

Bumi Indonesia dan Rakyat Dihisap Tiada Henti?

Jika kita cermati sebagain besar proyek-proyek yang ditawarkan dalam infrastruktur project adalah proyek pemipaan gas. Untuk mendistribusikan gas bumi ke luar negeri. Dalam 30 tahun terakhir,  konsumsi energi per kapita meningkat hampir mencapai 6x lipat. Dari peningkatan tersebut sekitar 75% pemenuhannya berasal dari BBM (Sumber:http://www.djlpe.go.id). Jika dilihat kecenderungannya ternyata dalam 30 tahun terakhir konsumsi energi lebih banyak diserap oleh sektor industri dan transportasi.  Kebutuhan untuk Transport dan industri meningkat dua kali lipat, sementara  energi untuk kebutuhan rumah tangga menurun hingga 50% selama 30 tahun terakhir. Mengapa konsumsi rumah tangga menurun? Salah satu yang mungkin menjadi penyebabnya adalah dua hal, pertama daya konsumsi rakyat  terhadap BBM menurun dan alasan yang lain rakyat kesulitan mengkases BBM.

Dengan prosentase pemakaian tertinggi BBM ada disektor rumah tangga dan transportasi, maka penggantian BBM ke gas tidak akan berpengaruh besar terhadap sektor industri, sebab 57% energi yang digunakan oleh industri bukanlah BBM. Sebaliknya penggantian tersebut berdampak sangat signifikan terhadap rakyat karena 99,8% rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi BBM (JATAM, 2002). Demikian halnya bidang transportasi, yang mengkonsumsi BBM hingga 71,3%. Melihat besarnya konsumsi BBM oleh sektor rumah tangga dan transportasi, bisa dipastikan penggantian BBM mengharuskan perubahan dan percepatan besar-besaran penyediaan “teknologi penggunaan gas” di sektor rumah tangga dan transportasi. Tak hanya harus berkompromi dengan kenaikan harga BBM, tetapi rakyat dipaksa menyediakan atau membeli teknologi tersebut. Dan kedepan ketergantungan kebutuhan energi bahan bakar harus mengikuti apa yang menjadi orientasi para “saudagar” pemilik bahan bakar gas ini.

Jadi konversi kompor minyak tanah ke elpiji ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk mencari pembenaran dari publik bagi upaya percepatan pembangunan infrastruktur berbasis utang kepada investor/korporasi di sektor migas. Dan mempercepat laju investasi korporasi asing untuk menguras sumber energi migas yang ada di Indonesia. Selain itu tentu produsen kompor berbahan bakar elpiji ini juga akan diuntungkan. Maka bisa disimpulkan, lagi-lagi negara telah menjadi alat capital, sehingga lebih mengutamakan untuk melayani proyek padat modal para korporasi daripada untuk kedaualatan energi dan demi kesejahteraan rakyatnya. Dan sepertinya Indonesia makin sulit keluar dari krisis energi yang di desainnya sendiri melalui kebijakan yang sungguh-sungguh tidak populis. Selayaknya adagium “bersama kita bisa” segera diganti “bersama mereka menjual Indonesia!”

 

 

Identitas Penulis ;

Nama             : Ridho Saiful Ashadi

Jabatan         : Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia

                          (WALHI) Jawa Timur

Alamat           : JL. Pucang Anom Timur II No.21 Surabaya

Email              : ipulsuroboyo@gmail.com  atau  radinyono@yahoo.com

No rekening : 142. 000. 466. 2507

 

 

 

 

 

Kenapa Elpiji Langka?


Dibalik Kelangkaan Elpiji

Liquified Petrolleum Gas (LPG) yang di masyarakat akrab dengan sebutan “elpiji”, telah memasuki minggu ketiga dalam kelangkaan dibeberapa kota besar Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, Gresik, Sidoarjo, dll. Meski pertamina menjanjikan penambahan untuk menyambut bulan puasa dan lebaran tetap saja elpiji makin langka (Surya, 29/9/2006). Kelangkaan ini apakah karena persoalan keterlambatan produksi, ketidaklancaran jalur distribusi, atau dampak jangka panjang dari kebijakan restrukturisasi energi di Indonesia setelah disahkannya UU No.22 tahun 2001 tentang migas yang, berwatak private dan export minded?

Di Jatim khususnya akan menopang kebutuhan 40% migas nasional dengan indikator saat ini ada 28 Blok Migas sedang eksplorasi. Berdasarkan data tahun 2003 Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jatim, kebutuhan gas di Jatim mencapai 420 juta kaki kubik per hari (million metric standard cubic feet per day/MMSCFD). Namun, dari total kebutuhan itu, baru 300 juta kaki kubik yang dapat dipenuhi para kontraktor produksi sharing (KPS) di Jatim atau masih terjadi kekurangan sebanyak 120 juta kaki kubik gas per hari. Dari total 420 juta kaki kubik gas per hari itu, yang dikonsumsi PT PGN (untuk industri) sebanyak 14 persen, untuk PT. PLN Gresik “untuk pembangkit energi listrik” sebanyak 72 persen, dan PT.Petrokimia Gresik butuh 14 persen.

Sebesar 80 persen dari konsumsi gas nasional ada di pulau Jawa, sementara cadangan gas di Pulau Jawa ada di Jawa Timur. Cadangan migas Jatim terdeteksi sebanyak 19 triliun cubic feet (TCF). Artinya, dengan harga per TCF sebesar 2 dollar AS, kekayaan alam yang tersimpan senilai 38 triliun dollar AS. Sejauh ini, cadangan gas yang terbukti baru 13 TCF dan yang sudah diambil baru 2,5 TCF senilai 5 triliun dollar AS. “Kekayaan alam yang tersimpan di perut bumi Jatim masih 30-an triliun dollar AS

Lalu apa dasar sebenarnya pemerintah membuka pintu lebar bagi swasta untuk mengelola sektor migas? Tidak lain adalah Gas Bumi. Data tahun 2002 menunjukkan cadangan minyak bumi sekitar 5 miliar barel dan dengan tingkat produksi minyak saat ini sekitar 500 juta barel, maka cadangan tersebut diperkirakan akan habis dalam 11 tahun mendatang.. Artinya sumberdaya ini tidak lagi menjadi fokus eksploitasi.

Dengan cadangan terbukti gas bumi sekitar 90 TSCF dengan tingkat produksi tahun 2002 sebesar 3 TCF maka cadangan tersebut akan habis dalam 30 tahun. Bahkan tahun 2005  total cadangan gas bumi sebesar 176,59 triliun standart kaki kubik (TSCF), terdiri dari 90,30 TSCF cadangan terbukti dan 86,29 TSCF cadangan potensial dan adanya stasiun pengisian bahan bakar gas yang telah dibangun sebanyak 28 unit, dengan kapasitas 408.020 LSP, dan yang beroperasi baru 14 unit (sumber: Jaringan Advokasi Tambang/JATAM Catatan Akhir tahun 2005)

 Nampak jelas di sini sebuah peralihan penguasaan sumberdaya energi fosil dari rejim hidrokarbon minyak bumi ke rejim hidrokarbon gas bumi. Dan sayangnya orientasi maupun paradigma yang dikedepankan oleh negara lagi-lagi untuk melayani kepentingan modal korporasi. Sumber daya alam hanya dipandang sebagai barang dagangan demi menumpuk/mengakumulasikan keuntungan dari bisnis di sektor bahan bakar ini. Padahal energi bahan bakar adalah penunjang utama produktivitas dan mobilitas tiap orang saat ini. Sehingga selayaknya dia ditetapkan menjadi kebutuhan dasar warga negara, untuk itu akses keadilan masa depan dan antar generasi untuk mendaptkan hal yang sama harus diatur dan dilakukan.

            Mari belajar dari kisah Exxon Mobil (USA) di Aceh, tepatnya bernama Exxon Oil Indonesia (EMOI) dengan kendali saham sebesar 100% terhadap anak cabangnya, bisa melengkapi informasi tentang potensi laba korporasi tambang migas. Pada tahun 2000 keuntungan yang di raih Exxon mencapai US $ 210 milyar, dimana sebesar US $ 1 milyar setiap tahunnya disetorkan untuk penyelenggara negara di Jakarta. Dan ironisnya, hingga januari 2000, tercatat 59.192 kepala keluarga tergolong prasejahtera (baca; sangat miskin) di Kabupaten Aceh Utara “kecamatan Pidie”. Lantas pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kenyataan ini di Provinsi Jatim, jelasnya adalah jangan sampai yang terjadi di Aceh berulang ke Jawa Timur. Mnsinya tetap besar, seperti hasil survei Pendataan Indeks Kependudukan Terbaru (PIKB) BPS Jatim, bahwa daerah yang kaya sumber day alam migas penduduknuya banyak yang miskin. Seperti Kabupaten Sumenep yang kaya dengan migas, penduduk miskinnya nomor dua se Jatim. Sedangkan Kabupaten Bojonegoro yang telah ditetapkan kandungan 1,2 milyar barel gas dan 600 milyar barel minyaknya miskin no 4 se Jawa Timur.

            Energi bahan bakar dalam konteks BBG, kalau memang untuk rakyat.  Kenapa dalam sektor penjualan BBG mesti dijual melalui kontrak jangka panjang sebelum gas itu di eksploitasi?  Artinya dengan memastikan pembeli terlebih dahulu baru gas dieksploitasi. Inilah cerminan UU 22/2001 tentang migas, yang memangkas peran negara mengelola sumber daya alamnya dan lebih mengutamakan kepentingan korporasi migas dengan  menggeser kepentingan rakyat terhadap kebutuhan energi.

            Sehingga paradigma eksport minded dalam menjual LNG (liqiud natural gas/ gas alam cair) dan BBG, seperti yang diugkapkan menteri ESDM Prurnomo Yusgiantoro bahwa gas Indonesia hasil KKS 55 persen di eksport dan 45 persen untuk kebutuhan domestik. Sedangkan untuk sektor rumah tangga menggunakan dalam presentase yang sangat kecil. Menurut data JATAM pada tahun 2002, kapasitas distribusi energi bahan bakar gas bumi untuk rumah tangga hanya sebesar 0,85 persen, sementara LPG 7,16 persen. Memang pasar eksport (baca: internasional) lebih menjanjikan daripada didalam negeri, karena dari harga saja selisih lebih besar.

            Meski Indonesia pada  tahun 2002 merupakan pemakai gas bumi terbesar di wilayah asia timur dan Oesania. Pemakaian terbesar untuk industri pupuk dan pembangkit listrik, yang masing-masing sekitar 35% persen, sementara sisanya yang 10% untuk industri lainnya. Dengan rincian 10% untuk pabrik pupuk dan sisanya sekitar 25 persen untuk pembangkit listrik, seperti pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU). Ini adalah alur pemanfaatan dan bagaimana ketergantungan dan saling keterkaitan antara sektor pupuk, pertanian, pangan dengan gas sangat substansial. Maka kita tidak perlu heran jika Traif Dasar Listrik (TDL) terus mengalami kenaikan harga dan saat pabrik Arun dan Iskandar  muda di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tidak disuplai gas oleh exxon “EMOI” selama dua bulan, maka di beberapa wilayah Sumatera dan pulau-pulau yang banyak petani dan lahan pertanian insentif mengalami kelangkaan pupuk dan  memicu kepanikan buat petani di wilayah Indonesia, terutama di Jawa.

            Rasanya semakin melengkapi betapa pemerintah tidak sensitif terhadap kebutuhan didalam negerinya sendiri. Sekarang masyarakat diposisikan menjadi konsumen dengan harga mahal di negeri sendiri. Sebab, para pelaku industri mendapatkan bahan bakar gas dengan harga mahal, sehingga barang-barang yang mereka hasilkan pun akan semakin mahal. Dan ketika harga barang mahal maka beban masyarakat sebagai konsumen juga bisa dipastikan akan ikut bertambah mahal. Disisi lain padahal tingkat penguna bahan bakar elpiji ini juga terus mengalami kenaikan jumlahnya. Maka dibutuhkan kemudahan untuk mendapatkan, menjangkau harganya dan memastikan akses keadilan masa depannya dari pengelolaan sumber kehidupan strategis ini.

Kebutuhan mendesak yang seharusnya dilakukan oleh negara adalah segera menjadikan momentum krisis elpiji ini sebagai formulasi untuk melakukan  reformasi pengelolaan sektor energi. Misalnya dengan langkah-langkah; Pertama, mengkaji ulang  dan mengganti semua produk hukum berkaitan dengan pengelolaan energi yang tidak pro rakyat. Kedua, membuat standarisasi suplai kebutuhan sektor gas dalam negeri dengan memaksimalkan peran daerah sebagai tulang punggung untuk melakukan kerja-kerja data base dan distribusi. Ketiga, menggalakkan energi alternatif yang terbarukan, misalnya dengan mengolah biji jarak secara mekanik untuk mendapatkan straight jathropa oil (SJO). Keempat, mempertahankan kelembagaan PGN sebagai representasi negara yang berfungsi sebagai Badan Umum Milik Negara (BUMN) yang harus dijaga dan dikembangkan keberadaannya. Kelima, ppemerintah harus berani melakukan nasionalisasi asset secara bertahap dan jangan sampai memprivatisasi PT. Perusahaan Gas Nasional (PGN), seperti nasib pertamina yang sudah menjadi persero sesuai dengan PP Nomor 31 Tahun 2003 tentang pengalihan bentuk pertamina menjadi perseroan (persero).

. Terakhir pemerintah harus segera mengubah paradigma dan menghentikan praktik-praktik jual cepat, jual murah, jual habis sektor energi, yang telah membawa Indonesia pada situasi krisis energi bahan bakar minyak dan gas untuk kebutuhan di dalam negerinya sendiri. Apabila  ini dibiarkan saja atau diteruskan berarti negara ini  benar-benar menjerumuskan dirinya sendiri pada  situasi kebangkrutan sektor energinya.

 

Identitas Penulis :

Nama              : RIDHO SAIFUL ASHADI

Jabatan                      : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur

Alamat                        : JL. Pucang Anom Timur II No.21 Surabaya T/F:. 031-5014092/ 5054313

HP                   : 08155093589 / 031 – 71116367

Email              : radinyono@yahoo.com

No Rekening  : 142.000.305.8483. a/n : Sutiani, Bank Mandiri KCP Gubeng Surabaya

Tulisan “artikel/opini” di media yang pernah di publikasi :

·     Ada Apa Dengan Kelangkaan BBM?                        ( KOMPAS Jatim, 14/7/2005)

·     Bisnis BBG Akan Geser Minyak                                 (KOMPAS Jatim, 12/10/2005)

·     Mewaspadai Bencana Alam Di Jatim                        (KOMPAS Jatim,, 3/1/ 2006)

·     Rencana Subsidi Benih Untungkan Petani?                      (KOMPAS Jatim,17/7/ 2006)

·     Sumber Kehidupan Jatim Dibawah Kuasa Modal (Koran SURYA, selasa 26/9/ 2006)

·     Kedaulatan Pangan dan Nasib Tragis Petani         (KOMPAS Jatim, 27/9/2006)

 

 

 

           

 

Minyak Habis, Eksploitasi-Komersialisasi Gas Berikutnya


 Bisnis Bahan Bakar Gas

 Akan Menggeser Minyak

 

            Mulai 1 Oktober 2005  pemerintah melalui Perpres 55/2005 telah menetapkan harga bahan bakar dengan lonjakan yang cukup tinggi,  BBM naik sampai 120%.  Tentu saja ini memicu kenaikan harga barang-barang pokok dan kebutuhan lainnya, serta membawa efek domino disektor lain, seperti terjadinya ancaman PHK massal kaum buruh. Bahan bakar yang di komersialisasikan, terdiri dari produk  BBM dan non BBM. Produk BBM terdiri atas: JP-5, avgas, avtur, bensin, premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar serta bahan bakar khusus (BBK) yang mencakup bensin super tanpa timbal (super-TT), premix 94, dan bensin biru 2 langkah (BB2L).

Jumlah ketersediaan energi bahan bakar Indonesia memang mengkhawatirkan, terutama ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM).  Hal ini terkait ketersediaan cadangan  sumberdaya minyak Indonesia sejak tahun 1995 sudah semakin menipis. Data tahun 2002 menunjukkan cadangan minyak bumi sekitar 5 miliar barel dan dengan tingkat produksi minyak saat ini sekitar 500 juta barel, cadangan tersebut akan habis dalam 15 tahun mendatang (Data JATAM 2003). Artinya sumberdaya minyak ini tidak lagi menjadi fokus eksploitasi dan akan segera memasuki era senja.

            Gejolak kenaikan harga bahan bakar selain BBM ternyata juga terjadi pada bahan bakar gas. Seperti LPG (liquid petrollium gas) misalnya, dalam setiap satu tabung berbobot 15 Kg dijual dengan harga Rp 58.000,- setelah kenaikan per 1 oktober 2005 bisa mencapai 75.000,- (Kompas, 8/10/2005). Sudah tidak bisa di bantah sepertinya kalau komersialisasi bahan bakar untuk 20-25 tahun lagi bisnis bahan bakar gas merupakan bisnis potensial yang akan menggeser posisi bisnis BBM. Hal ini bisa di pantau dengan meningkatnya jumlah produksi dari pemakai Kompor Gas LPG yang di jual di pasaran. Juga mulai digunakannya Bahan Bakar Gas (BBG) untuk kendaraan bermotor, seperti yang dilakukan oleh perusahaan jasa transportasi umum Taksi Zebra di Surabaya. Pabrik-pabrik pun sudah mulai menggunakan BBG, meskipun hampir 920 Pabrik di Jawa Timur belum mendapat suplai Gas (Kompas Jatim, 10/8/2005). Dan Pembangkit listrik juga sudah memakai gas, seperti yang dilakukan PLTGU (pembangkit listrik tenaga gas dan uap) Gresik yang menjadi salah satu penopang  sistem interkoneksi listrik Jawa Bali.

Saat ini sedang dibangun infrastruktur jaringan transmisi pipa gas yang  di bangun di beberapa wilayah indonesia dan di tawarkannya 20 wilayah kerja baru blok lapangan migas kepada parusahaan pertambangan asing. Wilayah jaringan transmisi gas bumi terpadu meliputi Sumatera Selatan ke Jawa Barat (480 Km), adalah tahapan dari proyeksi transmisi gas seluruh pulau Jawa sebagai wilayah industrialisasi yang di huni oleh 60% penduduk Indonesia, meskipun luasnya hanya 7% luas seluruh Indonesia.

Infrastruktur Pipa Transmisi gas itu merupakan rencana eksploitasi dari jumlah cadangan terbukti gas bumi sekitar 90 triliun standart kaki kubik (TSCF). dengan tingkat produksi tahun 2002 sebesar 3 TCF maka cadangan tersebut akan habis dalam 30 tahun. Bahkan tahun 2005 ini Total cadangan gas bumi sebesar 176,59 (TSCF), terdiri dari 90,30 TSCF cadangan terbukti dan 86,29 TSCF cadangan potensial. Dari jumlah tersebut dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri 45%, sementara 55% di ekspor (Menteri ESDM, Kompas 10 Agustus 2005). Sedangkan stasiun pengisian bahan bakar Gas yang telah dibangun sebanyak 28 unit, dengan kapasitas 408.020 LSP, yang beroperasi 14 unit (Sumber : Kompas 10/8/2005). Jelas kebijakan ini mendorong investasi asing masuk pada sektor hulu dan hilir industri gas bumi di Indonesia. Nampak jelas di sini sebuah peralihan penguasaan sumberdaya energi fosil dari rejim hidrokarbon minyak bumi ke rejim hidrokarbon gas bumi.

Bukti konkrit peralihan dan potensi bisnis gas yang bisa dilihat di wilayah Propinsi Jawa Timur  adalah di temukannya blok lapangan migas yang meliputi beberapa wilayah Kabupaten seperti Gresik, Madura, Tuban, Bojonegoro dan Sidoarjo. Untuk Kabupaten Gresik saat ini investor migas Amerada Hess “Amerika-Canada” sedang memasuki tahapan rencana kegiatan pengembangan lapangan minyak dan gas di blok Ujungpangkah. Lokasi lapangan migas blok pangkah ini berada di lepas pantai, sekitar 3-5 KM sebelah Timur Laut daerah Ujungpangkah. Dengan kapasitas maksimum produksi minyak dari lapangan ini adalah 25.000 BOPD (Barrel Oil per Day = Barel miyak perhari). Sedangkan produksi gas adalah 100 MMSCFD (Million Standart Cubic feet per Day = juta kaki kubik perhari). Jelas jumlah cadangan minyaknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan cadangan potensi terbukti gas di blok pangkah ini. Jika candangan gas dalam satu hari saja 100 juta kaki kubik, maka ketika di ekspolitasi akan ketemu 36.500.000.000 kaki kubik per tahun. Dan jika harga LPG di pasaran saat ini mencapai Rp. 5000/Kg dengan hitungan Rp 75.000 untuk setiap tabung gas LPG 15 Kg.  Maka Amerada Hess dalam satu tahun dari penjualan LPG saja bisa meraup keuntungan omzet  diatas Rp 182.500.000.000.000,- per tahun. Padahal ini belum di hitung untuk jangka waktu berapa lama eksploitasi yang akan dilakukan, kalau misalnya 20 tahun  maka hasil yang akan mereka raup adalah sebesar Rp. 3.650.000.000.000.000,-

Dengan potensi kekayaan dan cadangan sumber daya alam bahan bakar, ternyata ke depan itu bukan menjadi milik rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan kebijakan restrukturisasi migas yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia mendorong bisnis migas Indonesia menjadi bisnis pasar terbuka. Telah diatur jelas dalam UU Migas No.22/2001 tentang migas. Yang di dalamnya membawa agenda pasar bebas yang sarat komersialisasi dan privatisasi sektor Migas.

 

 

 

 

 

 

 

Komersialisasi BBM Agenda NeoLiberal


 BBM “bakal bertambah mahal”

 
Kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) masih terjadi di beberapa wilayah 13 propinsi Indonesia ditengarai makin parah. Antrean panjang warga membeli BBM juga terjadi di Kota Solo dan Boyolali, Jawa Tengah, serta dikota Banda Aceh Provinsi NAD antrean panjang kendaraan di SPBU maupun pangkalan minyak tanah, selain karena pasokan BBM tidak mencukupi, pembelian meningkat menyusul rencana pemerintah menaikkan harga (Kompas, 3/9/2005). Padahal dengan menaikkan harga bahan bakar, nantinya akan memicu kenaikan harga-harga barang lainnya. Maka tidak hanya BBM yang “bakal bartambah mahal”, tetapi semua ongkos yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya juga hampir bisa dipastikan “bakal bertambah mahal”.

Bahan bakar minyak adalah jenis energi yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pada tahun 2000, pemakaian BBM sebagai energi final sebesar 322 juta SBM, sedangkan penggunaan BBM untuk pembangkit listrik sebesar 36 juta SBM. Dari total permintaan BBM sebesar 358 juta SBM, pada tahun 2000 kilang dalam negeri hanya mampu memasok BBM sebanyak 274 juta SBM atau sekitar 756 ribu bph (barel per hari). Sehingga setiap harinya harus mengimpor BBM sebanyak 230 ribu bph. Sementara Konsumsi BBM domestik dalam 10 tahun terakhir menunjukkan kenaikkan rata-rata sebesar 4,8 % per tahun dan diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi domestik dan populasi penduduk.

Kondisi kelangkaan BBM atau tepatnya “krisis energi” yang terjadi di Indonesia saat ini, memang tidak berdiri sendiri karena meningkatnya permintaan barang dari konsumen sementara persediaan barangya yang tidak ada, sebagaimana hukum harga sebuah barang dalam teori ekonomi. Tetapi kondisi ini jelas ikut di pengaruhi oleh kondisi pasar minyak dunia, seperti melonjaknya harga crude oil (minyak mentah) yang mencapai puncaknya pada 30 Agustus lalu, dimana harga tiap barelnya dihargai 70,85 dollar AS. Menurut data BPH Migas (2004),  penyediaan BBM dalam negeri diperoleh dari : 75% Kilang dan Sisanya 25% Impor. Sedangkan penyediaan BBM dalam negeri menurut sumber Brieffing Paper Kebangkrutan Energi Indonesia, JATAM 2004, kapasitas  kilang dalam negeri (72%) dan impor (28%). Kilang mengolah minyak mentah dalam negeri dan impor th.2004 (sekitar 360.000 barel per hari ). Konsumsi BBM domestik per wilayah adalah 62% Jawa Bali, Sumatera 20%, Kawasan Lainnya 18%.

Ketika kabinet Indonesia bersatu dan tim ekonomi Presiden SBY menetapkan dan mengantisipasi perkiraan harga minyak mentah dunia senilai 40 dolllar AS per barel, ternyata sekarang menyentuh level angka 70 dollar AS per barel, jadi ada selisih harga dari sekitar 30 dollar AS per barel yang harus ditangung oleh APBN dan disesuaikan dengan kemampuan APBN. Dengan kebijakan impor BBM tiap hari sekitar 360.000 barel per hari, maka peningkatan biaya yang di tanggung oleh pemerintah Indonesia adalah tinggal 360.000 x 30 Dollar AS. Padahal nilai tukar rupiah Indonesia terhadap dollar saat ini menembus angka diatas Rp. 10.000,-  maka dapat diperkirakan  total biaya beban yang di tanggung sebesar Rp 3.600.000.000,- per hari. Dan jika ini kita hitung selama dua bulan ini maka akan ketemu angka Rp 36.000.000.000,- sebagai beban APBN.

            Kenaikan harga BBM sebentar lagi merupakan isi dari restrukturisasi migas diharapkan terjadi perubahan pasar monopoli ke pasar terbuka, hal ini disebut dengan jelas dalam  Blue Print BHP Migas  tentang Kondisi Pasar Usaha Hilir Migas tahun 2004. Tapi akan menyulitkan bagi pemain baru di pasar terbuka hilir Migas Indonesia untuk masuk, jika harga BBM Indonesia masih di subsidi atau lebih murah dari harga pasar dunia. Skenario pembukaan pasar terbuka hulu dan hilir ini di mulai sejak di rancangnya kebijakan restrukturisasi sektor energi pada tahun 2000, sampai di sahkannya RUU Migas yang kemudian ditetapkan menjadi UU No.22/2001 tentang Migas.         Aturan ini membuka peluang pasar secara terbuka bagi swasta atau tepatnya privatisasi bagi perusahaan TNC’s/MNC’s yang diijinkan mengelola sektor migas baik di hulu maupun hilir, seperti tertuang pada pasal 9 ayat 1 dan 2; dengan aturan penjelasannya, bahwa untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada badan usaha, baik yang berskala besar, menengah, maupun kecil untuk melakukan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir dengan skala operasional yang didasarkan pada kemampuan keuangan dan teknis badan usaha yang bersangkutan. Dan kegiatan usaha hulu yang berkaitan dengan resiko tinggi banyak dilakukan oleh perusahaan internasional yang mempunyai jaringan international secara luas, agar dapat memberikan iklim investasi yang kondusif untuk menarik penanaman modal, termasuk penanam modal asing.

Dengan menaikkan harga BBM secara bertahap dan membuka migas kepada pasar terbuka (UU No.22 th. 2001), sudah nampak kepentingan para pemilik modal yang mengedepan. Padahal dengan privatisasi migas, maka ini berarti migas akan terus menjadi barang komersial dan menjadi komoditas yang di nafikkan keberadannya sebagai kebutuhan dasar rakyat. Padahal privatisasi adalah pengalihan pengelolaan dan penyediaan sumber daya dari sektor publik (baca; fungsi sosial) beralih ke tangan swasta (baca; pemodal). Ini artinya memperjelas arah salah kelola dan tata produksi energi bahan bakar yang menjadi kebutuhan masyarakat luas, sehingga BBM semakin menjadi “komersialisasi”. Ketika barang mengalami komersialisasi dia tidak hanya menjadi komoditas, tetapi yang sering dilupakan adalah semua beban “biaya pengganti” produksi BBM nantinya akan menjadi beban konsumen dan BBM secara  terus-menerus “bakal bertambah mahal”.

               Tentu saja dengan kebijakan kenaikan harga BBM sebentar lagi yang akan dilakukan pemerintah, bisa dipastikan akan berdampak secara langsung turut menaikkan harga-harga kebutuhan hidup lainnya. Jadi kelangkaan BBM yang dilanjutkan dengan kenaikan harga BBM sama dengan menambah persoalan masyarakat. Atas nama apa pun dalam situasi masih dengan mahalnya pendidikan, mahalnya biaya berobat, jelas akan menambah penderitaan masyarakat jelas ini tidak tepat dan tidak populis. 
               Untuk itu dibutuhkan reformasi kebijakan pemerintah disektor energi yang tidak hanya dengan seruan penghematan energi. Tetapi seharusnya berorientasi pada penyelamatkan bangsa dan negara atas kedaulatan sumber energinya, pemerintah harus mengambil langkah tegas, mendasar dan bebas dari kepentingan asing, dengan memobilisasi seluruh aset sumber daya energi bagi kebutuhan domestik untuk  menjamin ketahanan energi bangsa (energy security). Oleh karenanya, agenda   yang bisa dilakukan misalnya; Pertama, melakukan pengutamaan pemenuhan kebutuhan energi domestik dengan menghentikan ekspor minyak mentah, renegosiasi kontrak-kontrak penjualan jangka  panjang sumber daya energi dan nasionalisasi secara bertahap pengelolaan sektor energi. Yang kedua melakukan efisiensi pengelolaan energi, melalui kebijakan transportasi masal yang bebas utang, diversifikasi energi dengan mencari alternatif sumber energi baru dan terbarukan .
*****.

Identitas Penulis        : Ridho Saiful Ashadi

Jabatan                                  : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur 2005-2008

Alamat                                    : Jl. Gubeng Kertajaya IX-G/17 Surabaya Telp 031-5014092

HP                               : 081. 5509. 3589

Email  Organisasi     :  walhi9@indo.net.id

Email pribadi             : radinyono@yahoo.com ,  ipulsuroboyo@gmail.com

Publikasi        ;  1. Ada Apa Dengan Kelangkaan BBM

               (dimuat di Kolom Forum KOMPAS Jawa Timur, 14 Juli 2005)

 

 

 

 

 

 

 

Ada apa dengan kelangkaan BBM akhir tahun 2005?


DIBALIK KRISIS ENERGI DAN BBM LANGKA

  

Produksi BBM

            Eksploitasi sumber energi selama ini hanya berorientasi pada pendapatan dan pertumbuhan ekonomi semata. Pemerintah telah mengabaikan tata produksi yang menjamin ketahanan energi nasional (energy security) dan tata konsumsi untuk menjamin keadilan pemanfaatan sumber daya energi kini dan masa depan. Penghisapan sumber daya minyak dan gas juga dipenuhi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) serta ineffisiensi dalam operasinya[1]. Di banyak kasus, justru negara menderita kerugian.

            Pengolahan minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia hingga saat ini hanya ada 9 kilang minyak. Dengan kapasitas produksi totalnya sebesar 1,057 bph (barel per hari). Ke 9 kilang tersebut adalah : Kilang Pangkalan Brandan, Kilang Cepu, Kilang Dumai, Kilang Musi, Kilang Balongan, Kilang Cilacap, Kilang Balikpapan, Kilang Sungai Pakning dan Kilang Kasim. Produk kilang yang dihasilkan adalah BBM dan non BBM. Produk BBM terdiri atas: JP-5, avgas, avtur, bensin, premium, minyak tanah, minyak solar, minyak diesel, dan minyak bakar serta bahan bakar khusus (BBK) yang mencakup bensin super tanpa timbal (super-TT), premix 94, dan bensin biru 2 langkah (BB2L).

            Bahan bakar minyak adalah jenis energi yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pada tahun 2000, pemakaian BBM sebagai energi final sebesar 322 juta SBM, sedangkan penggunaan BBM untuk pembangkit listrik sebesar 36 juta SBM. Dari total permintaan BBM sebesar 358 juta SBM, pada tahun 2000 kilang dalam negeri hanya mampu memasok BBM sebanyak 274 juta SBM atau sekitar 756 ribu bph (barel per hari). Sehingga setiap harinya harus mengimpor BBM sebanyak 230 ribu bph.

            Pengembangan kapasitas kilang dalam negeri sangat lambat dalam dekade terakhir ini [Baca Kasus Balongan ]. Sebagai akibatnya kemampuan penyediaan BBM dari dalam negeri semakin menurun. Pada tahun 2000, produksi BBM dalam negeri hanya mampu memasok 80% dari total permintaan BBM. Kekurangan pasokan BBM dari kilang minyak domestik merupakan akibat dari terhambatnya pembangunan beberapa kilang minyak yang tertunda akibat krisis ekonomi. Target produksi minyak mentah Indonesia dalam APBN 2003 diperkirakan hanya mencapai 1,09 juta barel per hari (bph), atau lebih rendah daripada yang ditargetkan 1,27 juta bph[2].

Pada tahun 2004 menurut data BPH Migas penyediaan BBM dalam negeri diperoleh dari : 75% Kilang dan sisanya 28% impor. Tugas penyediaan dan pendistribusian BBM di dalam negeri kepada Pertamina akan berakhir November 2005. Diharapkan akan terjadi perubahan pasar monopoli ke pasar terbuka. Namun masuknya pemain baru sulit diwujudkan bila harga BBM belum dapat diserahkan kepada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. [Baca Blue Print BPH Migas: Kondisi Pasar Usaha Hilir Migas ].

Sesuai dengan UU No.22/2001, paling tidak mulai bulan November 2005 atau awal tahun 2006 di Indonesia akan berdiri banyak sekali pangkalan SPBU “POM bensin”, jadi  akan beragam nama-nama perusahaan yang akan mendirikannya, tak hanya Pertamina, untuk jenis BBM tertentu investor asing seperti Shell, Petronas[3], Total, Chevron Texaco (Caltex), telah mengantongi izin prinsip dari Dirjen Migas. Menurut data dari Koalisi Advokasi Tambang Jawa Timur (KATa Jatim) tahun 2004, paling tidak saat ini sudah ada sekitar 2000 pihak-pihak yang sudah mengajukan ijin prinsip pendirian SPBU, tapi baru sekitar 200 yang sudah diberikan untuk seluruh Indonesia. Dan untuk Propinsi Jawa Timur sendiri sudah ada 100 lokasi yang di urus perijinannya untuk tempat pangkalan SPBU (stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Kenapa banyak sekali yang mengurus di Jawa Timur, karena di Jawa Timur saat ini telah dilakukan eksplorasi “seismik” di beberapa lokasi misalnya, Kabupaten  Gresik, Soidoarjo, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Lamongan, Mojokerto, Probolinggo. Bahkan PT. Devon dari Canada, yang sekarang sahamnya dikuasai oleh PT. Pterochina yang berlokasi di Desa  Rahayu Kecamatan Sooko Kabupaten Tuban sekarang sudah melakukan eksploitasi.

Konsumsi BBM

Konsumsi BBM domestik dalam 10 tahun terakhir menunjukkan kenaikkan rata-rata sebesar 4,8 % per tahun dan diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi domestik dan populasi. Penyediaan BBM dalam negeri : kilang dalam negeri (72%) dan impor (28%). Kilang mengolah minyak mentah dalam negeri dan impor (sekitar 360.000 barel per hari). Konsumsi BBM domestik per wilayah adalah 62% Jawa Bali, Sumatera 20%, Kawasan Lainnya 18%.

 
Fakta-Fakta Krisis BBM

            Pertamina tanpa malu telah mendemonstrasikan kegagalannya sebagai pemegang monopoli distribusi BBM di dalam negeri, mempertontonkan ketidakmampuannya menjamin pasokan, khususnya premium dan minyak tanah bagi konsumen di banyak daerah. Hal itu diperparah oleh tertutupnya pihak Pertamina dan penyelenggara negara kepada publik tentang persediaan dan kelangkaan BBM dalam negeri.

            Dalam kurun waktu antara 2000-2004, Jatam mencatat telah terjadi krisis penyediaan bahan bakar minyak sebanyak 47 kali di lokasi yang berbeda. Meski tidak mencerminkan angka statistik sesungguhnya atas terjadinya krisis BBM, tahun 2000 dan 2001 frekuensi terjadinya krisis adalah paling tinggi, yaitu sebanyak 12 dan 14 kali. Meski sempat turun menjadi 6 kali di tahun 2002 dan 3 kali di tahun 2003, krisis BBM melonjak lagi di tahun 2004 kemarin, yaitu 11 kali. Dari krisis yang pernah terjadi, penyebab yang sering jadi faktor pemicu antara lain; adanya penimbunan oleh pihak-pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan, kenaikan harga BBM, penyelundupan, berkurangnya pasokan dari Pertamina dan oleh faktor-faktor teknis lainnya (kecelakaan, terhentinya produksi minyak akibat kebocoran kilang, keterlambatan distribusi). (lihat lampiran 3). Tentu saja dari peristiwa-peristiwa krisis atau kelangkaan BBM yang pernah terjadi selama ini, merupakan pukulan berat bagi rakyat dari kelompok menengah ke bawah. Ketika pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM atau adanya penimbunan BBM oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, maka dengan serta merta harga bahan-bahan kebutuhan pokok akan melambung. Bahkan, tidak jarang kenaikan harga bahan kebutuhan pokok tersebut sudah berlangsung meski kenaikan harga BBM masih berupa isu. Ironisnya, dalam setiap krisis yang terjadi, rakyat selalu menjadi obyek yang tak berdaya. Protes boleh berjalan, tetapi mereka tak punya kekuatan untuk menghentikan kebijakan kenaikan harga BBM, menuntut Pertamina yang bertanggungjawab terhadap ketersediaan pasokan BBM, atapun menyeret para pengoplos dan penyelundup BBM ke pengadilan.

            Rakyat selalu menjadi ”ebyek penderita” yang harus diterima oleh rakyat ? Melihat kenyataan selama ini, dapat dikatakan hal ini jauh dari amanat Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat 3 : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan mempunyai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasasi oleh negara Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

 

Selama ini pemerintah telah mengabaikan tata produksi yang menjamin ketahanan enerji nasional (enerji security) dan tata konsumsi untuk menjamin keadilan pemanfaatan sumber daya enerji kini dan masa depan. Hal ini nampak jelas dari kenyataan bahwa eksploitasi minyak dan gas bumi (migas) selama ini, hanya mengejar pendapatan atau revenue bagi negara. Disisi lain secara berkelanjutan menguntungkan pihak-pihak asing[4] yang menjadi kontraktor tambang migas dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Disaat yang sama kegiatan pengurasan sumber migas telah menjadi pembiayaan utama penguasa negara yang dikelola sangat tidak transparan serta dipenuhi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hasil audit PriceWaterhouseCoopers 1999, menemukan bahwa negara telah kehilangan jutaan dollar antara bulan April 1996 hingga Maret 1998. Akibat kerugian yang alami oleh Pertamina, hal ini disebabkan oleh praktek korupsi dan inefisiensi.[5]

 

Dalam banyak kasus, negaralah yang menanggung kerugian tersebut. Berikut sebagian dari sedikitnya 156 kasus yang  terjadi akibat salah urus pengelolaan sumber daya enerji :

1.      Kasus Krisis Gas di Aceh, Paling tidak negara berpotensi menanggung kerugian mencapai Rp 31,8 miliar per tahun dari pembarayaran deviden PT AAF saja.

2.      Kasus Pertukaran produk gas dan minyak antara ConocoPhilips dan PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) diperkirakan berpotensi merugikan negara sebesar 36 juta dollar AS per bulan. Kerugian itu terjadi karena seharusnya setiap hasil penjualan minyak mentah masuk ke kas negara, tetapi oleh Caltex ditukar dengan gas milik ConocoPhilips.

3.      Kasus penjualan dua tanker raksasa (very large crude carrier), ternyata PT Pertamina akan menuai kerugian. Dana dari penjualan sebuah tanker raksasa sebesar 95 juta dollar AS akan habis jika menyewa selama 10 tahun. Padahal tanker baru punya usia ekonomis 25 tahun.

 

Tentunya masih banyak lagi kasus lain, baik yang terungkap kepada publik maupun yang sengaja ditutup-tutupi. Belum lagi dampak tambang minyak dan gas terhadap masyarakat dan lingkungan di wilayah hulu, yang meliputi kemiskinan, kerusakan Lingkungan dan pelanggaran HAM.

 

Ketidak adilan dan Pemiskinan di wilayah Hulu

Dalam 3 tahun terakhir, pemasukan sektor Migas mencapai 25% keseluruhan penerimaan negara, yaitu sekitar RP 70 – 80 trilyun, belum termasuk ongkos kerugian rakyat dan negara, akibat kerusakan ekologis serta dampak negatif lainnya didaerah hulu. Hingga Februari 2004, angka kemiskinan tercatat 16,6 persen atau terdapat 36,1 juta penduduk miskin di antara 217 juta penduduk Indonesia. Yang menarik dicatat,  penduduk miskin ini terakumulasi pada wilayah-wilayah ekstraksi, dimana TNC’s migas menghisap sumber migas. Wilayah tersebut adalah Nangro Aceh Darussalam (dimana terdapat 9 petusahan migas); Riau (terdapat 21 perusahaan migas); Sumatera Selatan (terdapat 22 perusahaan migas); Babelan Bekasi-Jabar; Jawa Timur (terdapat 13 perusahaan migas); Kalimantan Timur (terdapat 19 perusahan migas). Tak hanya pemiskinan, kawasan-kawasan ekstraski migas ini juga tinggi catatan pelanggaran HAM nya.

 

 

Potret Pemiskinan dan Laju Penghasilan TNC Migas

Exxon Mobil (USA) memiliki anak cabang di Indonesia dengan nama Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) dengan kendali saham sebesar 100% terhadap anak cabangnya. Exxon juga memiliki saham PT Arun yang mengoperasikan pabrik pengolahan gas sebesar 35%. Sedangkan 55% saham dimiliki oleh perusahaan minyak dan gas negara, Pertamina. Sisanya sebesar 10% dimiliki oleh Japan Indonesia LNG Company Ltd. Jumlah keuntungan yang diraih Exxon pada tahun 2000 mencapai nilai sebesar US $ 210 milyar, dimana sebesar US $ 1 Milyar setiap tahunnya disetor untuk pemerintahan Jakarta. Ironisnya, hingga Januari 2000, tercatat 59.192 KK  tergolong prasejahtera di Kab Aceh Utara. Jumlah tertinggi di antara kabupaten dan kota di Provinsi NAD. Padahal, di wilayah ini pertama kali ditemukan ladang migas di Aceh, milik Exxonmobil.  Tahun 2001, Raksasa minyak Amerika Serikat, Exxon Mobil, digugat di pengadilan Amerika atas keterlibatan mereka dalam pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Indonesia di Aceh. (International Labor Rights Fund).

 

 

Siapa Dibalik Kebijakan Kenaikan Harga BBM dan Kenapa BBM Langka?

Agenda restrukturisasi sektor enerji yang digulirkan pemerintah sejak tahun 2000 lalu, merupakan agenda yang terkait dengan skema hutang dari IMF dan Bank Dunia kepada Indonesia. Sejak mengucurnya bantuan sebesar 260 juta dollar AS, serta bantuan sebesar lima mlyar dollar AS dalam tiga tahun setelahnya[6]. Apa imbalannya ? Di sektor enerji, pemerintah Indonesia gencar melaksanakan program restrukturisasi sektor enerji. Dijelaskan bahwa restrukturisasi enerji ini merupakan bagian dari proses reformasi ekonomi untuk mendorong peningkatan efisiensi ekonomi nasional. Restrukturisasi enerji pada intinya adalah reformasi harga enerji dan reformasi institusional dalam pengelolaan enerji[7]. Salah satu hasilnya adalah UU Migas No 22 tahun 2001, yang melegitimasi pemangkasan wewenang negara secara utuh dalam mengelola sumber daya enerji. Pengelolaan didaerah ekstraksi (hulu) telah sejak lama dikuasai pemain asing, kini semakin lengkap dengan penguasaan ritel distribusi didaerah hilir.

 

Menurut data BPH Migas (2004),  penyediaan BBM dalam negeri diperoleh dari : 75% Kilang dan Sisanya 28% Impor. Tugas penyediaan dan pendistribusian BBM di dalam negeri kepada Pertamina akan berakhir November 2005. Diharapkan akan terjadi perubahan pasar monopoli ke pasar terbuka. Namun kan sulit bagi pemain baru asing untuk masuk jika harga bbm masih di subsidi atau lebih murah dari harga pasar dan tanpa “mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar” [8]. Padahal pada November 2005 POM bensin akan beragam tak hanya Pertamina, untuk jenis BBM tertentu investor asing seperti Shell, Petronas[9], Total, Chevron Texaco (Caltex), telah mengantongi izin prinsip dari Dirjen Migas. Sehingga upaya mendongkrak “harga bbm” dalam negeri agar mendukung “mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar” harus segera didorong. Menaikkan Harga BBM adalah salah satu langkah utama. Jadi untuk siapa kebijakan ini? Demi rakyat atau demi melayani perusahaan multinasional ?

 

Kebijakan menaikan harga BBM telah menodai rasa keadilan bagi rakyat karena sebelumnya pemerintah justru mengurangi PPN BM untuk pengusaha makanan dan minuman. Pukulan terberat harus dipikul oleh rakyat kelompok menengah ke bawah. Naiknya harga BBM memicu kenaikan harga-harga bahan pokok, angkutan dan lain-lain, sementara pendapatan serta daya beli masyarakat tidak sebanding dengan kenaikan tersebut. Kebijakan pemerintah yang menaikkan bahan bakar minyak (BBM) sejak 1 Maret 2005, telah menaikkan jumlah penduduk absolut miskin dari 17 juta orang menjadi 40 juta orang (Republika,1 Maret 2005).

 

Penting diingat, kenaikan BBM 1 maret 2005 tiga bulan kemarin, masih sebagai tahap  awal untuk menambah beban berat masyarakat menengah kebawah, secara bertahap penguasa negara akan meanikkan harga BBM hingga dua atau tiga tahap lagi hingga memungkinkan perusahaan asing masuk dalam ritel BBM pada November 2005. Potret rapuhnya ketahanan enerji bangsa ini semakin nyata dengan dikuasainya sektor hulu dan hilir oleh pihak asing. Jika tidak mau merebut dan melakukan reformasi mendasar pengelolaan sumber daya enerji, maka keruntuhan bangsa ini semakin dekat, saat sumber air, pangan dan enerjinya dikuasai asing (JATAM, Breifing Papeer 2004).

 

Dapat dikatakan bahwa seluruh kebijakan negara atas sumber daya energi pada intinya, melayani kebutuhan para kontraktor atau perusahaan yang bergerak di sektor energi. Tidak sama sekali berpihak pada rakyat. Sebagai contoh: dengan berlakunya UU Migas 22/2001 tentang minyak dan gas, telah disepakati dan berikan keleuasaan oleh pemerinrah Indonesia bahwa Pertamina tidak lagi menjadi satu-satunya “pemain” di sektor hilir. Bahwa para pemain “internasional” juga diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk ikut jadi pemain “hilir atau pengecer” dengan melakukan distribusi dan penjualan secara eceran. Maka kita tinggal siap-siap dengan menunggu sampai pada bulan November 2005 nanti pasar retail BBM di Indonesia sudah resmi akan dibuka bagi perusahaan swasta (asing)[10]. Khusus diseluruh Jawa telah ada hampir 1.500 pihak yang sudah mengajukan ijin pendirian SPBU “Pom Bensin”. Tentu saja yang mengajukan adalah para Perusahaan swasta asing, yangsudah memiliki kapasitas dan modal besar untuk dapat menguasai pasar, dibanding dengan swasta nasional.

 

 Dengan naiknya BBM bulan maret kemarin, tidak lain sebagai upaya menyiapkan pasar dan keuntungan besar bagi mereka[11]. Jadi sebenarnya “kelangkaan BBM” yang saat ini terjadi di beberapa wilayah Propinsi Indonesia, mulai dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Pekanbaru, Sumetera Utara dan Propinsi lainnya, adalah sebuah skenario besar dari pemilik modal internasional yang mau menjadi pemain hilir/pengecer di Indonesia, kelangkaan BBM sengaja dibuat untuk membuat kesan “ketrgantungan pada pengecer”.

            Ada semacam pra kondisi bagi masyrakat luas untuk diajak menyaksikan dan merasakan krisis BBM adalah terjadi karena lemahnya pengawasan negara, sementara keterlibatan para pengusaha swasta tidak tersentuh sama sekali. Padahal jika kritisi dengan cermat, sebenarnya ini adalah sebuah “test case” atau uji coba oleh para pemain baru di sektor hilir ini, bahwa yang namanya masyarakat tetap tidak akan bisa menghindar dari kenaikan harga BBM meskipun harganya berlipat-lipat semakin mahal, seperti yang terjadi saat ini di Kalimantan timur dan beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang  harga BBM mencapai Rp. 5000/liter. Ini artinya pada saatnya nanti “paling cepat November 2005 atau awal tahun 2006” ketika BBM dinaikkan kembali masyarakat tidak perlu panik, buktinya pada saat kelangkaan kemarin atau saat ini dengan harga yang bermacam-macam selisihnya. Sebab satu hal yang membuat para pemain ini belum bisa bermain secara resmi menjadi “pemain hilir/pengecer” di Indonesia, jika harga BBM yang di ecer di Indonesia tidak dibuat sama dahulu dengan harga pasar Internasional, atau paling tidak mendekati. Meskipun untuk menjual di Indonesia mereka tetap akan diuntungkan dengan upah buruh murah dan perijinan surat-surat penting dari birokrasi yang mudah. Dan adanya jaminan pasar yang mengiurkan dari tatal penduduk Indonesia yang sekarang saja sudah mencapai 220 juta jiwa, belum jika 20 tahun lagi ketika penduduk Indonesia akan semakin bertambah, bisa saja menjadi dua kali lipatnya.

 

            Di dalam UU 22/2001, tentang migas yang draftnya waktu itu RUU Migas di siapkan oleh menteri sumber daya enerji dan mineral Susilo Bambang Yudhoyono. Yang merubah secara endasar peran pertamina dan memberi peluang sebesar-sebarnya kepada pemodal “asing” untuk menjadi pemain di sektor hulu dan hilir migas. Adalah konsekwensi atas dikurangi perannya negara akibat restrukturisasi dan privatisasi atas tuntutan Internasional. Tapi jauh sebelum lahirnya kebijakan itu, negara ini dengan suka cita telah mengikat kontrak-kontrak penjualan sumber daya energi ke negara-negara asing. Pada tahun 1968 disahkan UU no.11 tentang pertambangan, yang juga sudah memberikan sektor mineral dan kekayaan alam kepada para pengusaha dan perusahaan tambang internasional.  Hadirnya UU Migas yang berwatak export minded makin memperkokoh usaha pengurasan sumber daya energi dari bumi pertiwi. Hingga tidak heran, jika marak dilakukan kontrak penjualan besar dan dalam kurun waktu yang panjang atas sumber daya energi. Pasaran minyak mentah (crude oil) Indonesia hingga saat ini terbesar adalah Jepang dan Korea Selatan. Dalam tabel dibawah ini dapat dilihat jumlah ekspor minyak mentah dan kondensat produksi Indonesia ke berbagai negara.

 

Crude and Condensate Exports by Destination (1,000 barrel)

 

 

 

Agenda yang harus dilakukan

Pertemuan Ciloto (2003) salah satunya menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyusun Kebijakan Pengelolaan dan Pencadangan Mineral Untuk Masa Depan dengan memperhatikan kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pembuatan Kebijakan pencadangan ini harus dilakukan melalui, pertama Penghitungan kembali (rekalkulasi) kekayaan tambang dan sumber energi fosil di seluruh kepulauan. Kedua, Penghitungan konsumsi dasar energi dan bahan tambang dalam negeri berdasarkan prinsip kebutuhan mendesak rakyat dan keadilan antar gerenasi. Ketiga, Penghitungan kembali daya rusak eksploitasi kekayaan tambang dan sumber energi terhadap kemampuan alam. Keempat, Menetapkan ambang toleransi ekstraksi kekayaan tambang dan sumber energi pada masing-masing daratan dan perairan di Kepulauan Indonesia

 

Melihat kondisi energi Indonesia saat ini, ada beberapa hal yang dirumuskan dalam “Mandat Ciloto 2003” yang relevan untuk dilakukan melalui langkah-langkah yang lebih konkrit. Setidaknya ada 6 (enam) point rekomendasi Mandat Ciloto terkait dengan sektor energi Indonesia, yaitu:

1.      Menasionalisasi kembali pengelolaan kekayaan tambang dan sumber-sumber energi

2.      Menghentikan ekspor bahan tambang dan energi fosil serta menghentikan penggunaannya secara berlebihan di dalam negeri;

3.      Mendorong prioritas pengembangan sistem dan kendaraan untuk transportasi massal;

4.      mendorong penataan pola konsumsi rakyat dalam penggunaan dan pemanfaatan  bahan tambang secara hemat dan bijaksana;

5.      Mendorong penggunaan energi terbarukan dan pemafaatan ulang (reuse) bahan mineral;

6.      Mendorong dan melindungi industri hilir rakyat melalui peraturan (regulasi) impor dan ambang batas toleransi pemanfaatan hasil tambang;

 

 

 

 

===============

 

Identitas  Penulis :

 

Nama             : Ridho Saiful Ashadi

Organisasi    : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur

Alamat           : Jl. Gubeng Kertajaya IX-G/17 surabaya, T. 5014092

HP                  : 081. 5509. 3589

 

 

 

 

 

 


[1] Hasil audit PriceWaterhouseCoopers 1999, menemukan bahwa negara telah kehilangan jutaan dollar antara bulan April 1996 hingga Maret 1998. Akibat kerugian yang alami oleh Pertamina, hal ini disebabkan oleh praktek korupsi dan inefisiensi

[2] Dirjen Minyak dan Gas Bumi (Migas) Iin Arifin Takhyan mengungkapkan hal tersebut dalam rapat kerja Menteri Keuangan dengan Panitia Anggaran DPR di Jakarta 2003

[3] Petronas siap memasuki bisnis pelumas dan mengoperasikan SPBU dengan konsep layanan terpadu di Indonesia: Faris Mustaffa, business oil manager Petronas, Bisnis Indonesia 09/09/2003

[4] Mayoritas kontraktor minyak adalah perusahan multinasional. Data Ditjen Migas 2001 tercatat 16 perusahaan asing yang telah berproduksi.

[5] Baca : PriceWaterhouseCoopers audit,1999

[6] Senior Resident Representative IMF di Indonesia, John Dodsworth, mengatakan, tanggal 4 Februari 2000, Dewan Direksi IMF di Washington, akan bertemu untuk menyetujui langkah dan jadwal reformasi yang diumumkan itu. Begitu diumumkan, akan mengucur langsung bantuan sebesar 260 juta dollar AS, serta bantuan sebesar lima milyar dollar AS dalam tiga tahun mendatang.

[7] Kesimpulan workshop Energi “dampak restrukturisasi sektor enerji dalam perekonomian nasional” tanggal 22-23 oktober 2002

[8] Baca Blue Print BHP Migas: Kondisi Pasar Usaha Hilir Migas

[9] Petronas siap memasuki bisnis pelumas dan mengoperasikan SPBU dengan konsep layanan terpadu di Indonesia: Faris Mustaffa, business oil manager Petronas, Bisnis Indonesia 09/09/2003

[10] Baca Blue Print BPH Migas 2003

[11] Majalah Trust/Sektor Riil/11/2004 : Ramai-Ramai Jualan Bensin

Awas! SUTET di Tapal Kuda Jatim


SUTET Paiton Gilimanuk Untuk Siapa?

 
        SUTET (Saluran Udara  Tegangan Ekstra Tinggi) sampai sekarang  masih menjadi persoalan bagi masyarakat Seperti yang terjadi di Gresik (Kompas Jatim, 16 Maret 2006), meski lebih dari sepuluh tahun dibangun. Begitu juga dengan yang dilakukan masyarakat Parung Kabupaten Bogor yang beberapa waktu lalu melakukan aksi protes mogok makan dan menjahit mulutnya menolak SUTET.

Sepertinya SUTET hampir tidak ada indikatornya sama sekali untuk menambah kesejahteraan mereka yang sebentar lagi rumah dan lahannya dilalui proyek ini. Apalagi jika proyek ini tidak disertai dengan informasi secara terbuka, kapan dimulai, apa manfaat untuk masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan listrik siapa dan jaminan sosial keadilan masa depan seperti apa jika ini dimaknai sebagai pembangunan? Jika tidak, maka potensi konflik dan kerentanan sosial akibat proyek ini sangat besar terjadi dikawasan tapal kuda ini.

Tapi sepertinya pemerintah Indonesia bersama PLN tidak akan berhenti untuk merancang SUTET-SUTET baru di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Pulau dengan luas  6% dari total luas Indonesia, dengan beban penduduk mencapai 65% atau sekitar 145 juta jiwa. Serta ditambah dengan beban pembangunan industri yang hampir 60-70 persen, tentu seperti kapal yang “overload” beban yang dipikulnya.

 SUTET akan tetap dibangun lagi. Di Jawa Tengah sampai Yogyakarta akan dibangun. Sedangkan di Jatim juga ada, dengan nama Mega Proyek Energi Pembangkit Listrik Jawa Bali SUTET Jawa Timur – Bali, SUTET 500 Kv. Beberapa waktu yang lalu, penulis menghadiri sidang komisi penilai AMDAL pusat untuk membahas SUTET 500kv Paiton Gilimanuk. Megaproyek “ambisius” yang sungguh harus dikaji kembali, sebab cakupan wilayah SUTET Paiton Gilimanuk tidak kecil.

Dia akan melewati dua wilayah administratif Provinsi, yaitu Jawa Timur dan Bali. Sementara luas daerah (baca; tanah) yang dibebaskan seluas 373,979 M2 mencakup wilayah di 18 Kecamatan, 300 lebih Desa, empat Kabupaten dan dua Taman Nasional di dua Provinsi, yaitu Taman Nasional (TN) Baluran dan TN. Bali Barat. Akan ada kabel  terbentang sepanjang 131,54 KM yang terdiri dari 341 Tower. 70 Tower berada di kawasan TN, sisanya 271 tower berada di areal pemukiman penduduk, fasilitas umum, sawah, ladang, dll. Serta akan menyeberangi pantai selatan Jawa untuk menyalurkan kabel diatas laut menuju Taman Nasioal Bali barat, yang bukan tidak mungkin bisa membawa dampak pada system pelayaran.

Sedangkan lahan yang digunakan untuk tiap-tiap tower adalah 28 x 28 M2 dan lahan yang digunakan sebagai tapak tower haruslah bebas dari segala tegakan dan bangunan. Selain lahan dan bangunan, tanaman yang masuk ruang bebas juga harus dibebaskan. (kutipan dari dokumen ANDAL, hal 230).

Jika mencermati “gejolak” resistensi masyarakat yang pernah mengalami masalah serupa di Parung Bogor dan Pandaan – Gresik dan Jawa Tengah. Ada dinamika yang memasuki fase-fase dimana akan terjadi masalah sosial, struktural yang krusial, karena memang proyek ini menimbulkan dampak penting dan besar. Dinamika persoalan bisa terjadi pada fase pra konstruksi,  konstruksi, saat operasi dan pasca operasi.

Pada kesemua tahapan itu; pra, pada saat dan pasca proyek dapat dipotret beberapa dampak yang akan terjadi. Pertama, masalah lingkungan; meski banyak hutan makin rusak, hutan lindung pun mau dikorbankan. Pada tahap konstruksi, tertulis ada tower No. 218 – 264 akan berada di Taman Nasional, jadi ada 46 tower. Sedangkan Tower no 317 – 341  berada di Taman Nasional Bali Barat, ada 24 tower (kutipan dari hal 229, ANDAL SUTET). Jadi ada 70 tower dengan luas; jika satu tower butuh luas lahan 28 x 28 M2 maka akan ada 784 m2 x 70 tegakan tower, yang artinya akan ada lahan seluas 54.880 m2 (5,48 ha) yang dialih fungsi. Padahal saat ini dari 1,3 juta ha hutan di jatim, baik di kawasan produksi maupun lindung hampir 50% hutannya rusak berat

Dapat dipastikan lahan tersebut  akan mengalami alih fungsi, jika konstruksi terus dilakukan menuju operasi. Jika tidak tentu akan ada perusakan yang berdmpak pada keanekaragaman hayati (Biodiversity). Belum dengan perubahan lain saat perambahan kawasan akan terjadi ketika mobilisasi alat dan pengiriman-pengadaan bahan-bahan “material” dalam proses konstruksi dilakukan. Selain kerusakan hutan secara fisik, mengalih fungsi kawasan lindung tentu saja bisa melanggar aturan yang lain yang berlaku, seperti UU. No.5 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Keppres No.32/th.1990, tentang Penglolaan Kawasan Lindung.

            Kedua, ancaman dampak  kesehatan; kasus jaringan SUTET di Gresik pada tahun 1996 sampai sekarang dan Parung Jawa Barat adalah pelajaran berharga. Penokakan warga karena kuatir dampak dari  timbulnya medan magnet maupun medan listrik akan berpengaruh  terhadap tubuh. Sel-sel tubuh yang mudah membelah adalah bagian yang paling mudah dipengaruhi oleh radiasi, sebab 70 persen tubuh manusia terdiri dari air, adalah bukti sebagian besar tubuh manusia berupa molekul air yang mudah mengalami ionisasi oleh radiasi akibat SUTET harus di buka informasinya kepada publik..

Ketiga, ancaman dampak social ekonomi; secara umum masyarakat di tiga Kabupaten wilayah “tapal kuda” Jawa Timur ini adalah petani, baik di lahan garapan sendiri maupun buruh dan bagi hasil menggarap perkebunan. Yang jelas-jelas lebih membutuhkan akses kedaulatan pangan dan pertaniannya, diantaranya adalah pemenuhan lahan untuk dikelola. Mempunyai sarana produksi yang mandiri, jalur pasar distribusi dan pemasaran yang terbebas dari para cukong. Serta kepastian tentang tunjangan modal dan teknologi yang mampu meningkatkan potensi hasil/produk pertanian mereka.

 

Rentan Konflik dan Kekerasan

Jika kekerasan muncul akibat proyek ini maka tesis Dom Helder Camara sang pencetus teori sipral kekerasan berarti masih relevan untuk ditegaskan kembali. Spiral kekerasan adalah sebuah penjelasan dari bekerjanya tiga bentuk kekerasan yang bersifat personal, institusional dan struktural (Camara, Dom Helder; Spiral of violence, Sheed and Ward, london 1971). Kekerasan melahirkan manifestasi ketidakadilan, memicu perlawanan masyarakat sipil dan menimbulkan represi negara yang juga melahirkan kekerasan baru. Menurut. Camara, perdamaian dan keadilan tidak bisa diraih selama kekerasan masih terus terjadi. Karena ketidakadilan merupakan kekerasan nomor 1 yang bisa menimpa gejala pada perseorangan, kelompok, maupun negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan sosial akibat mengedepankan kepentingan ekonomi akumulasi capital, baik nasional maupun internasional.

Pada titik ini efek dari proyek SUET jelas lebih banyak ke negatif dan berpotensi besar timbulkan konflik serta kekerasan, jika melihat tipologi dan karakter masyarakat ”tapal kuda”. Bahwa SUTET 500kv bukan kebutuhan pokok jutaan warga yang tinggal di 300 lebih  desa-desa yang akan dilalui mega proyek padat modal dan teknologi ini.

Maka saat ini kami mempertanyakan kepada para pemrakarsa dan institusi publik yang akan mengeluarkan ijin dan terlibat dalam proyek ini. Kenapa harus SUTET? SUTET ini untuk memenuhi listrik siapa? Sebenarnya berapa listrik yang tersedia dan terpakai dari pembangkit listrik interkoneksi Jawa Bali saat ini? Sampai kapan ketersediaan aman dan kapan krisis listrik mulai terjadi? Ini semua belum pernah dibuka untuk menjadi informasi bagi publik dan kapan audit itu dilakukan, serta dialkukan oleh siapa? Koq tiba-tiba mega proyek energi listrik SUTET ini harus dibangun. Begitu juga dalam dimensi yang lain, komitmen dan kemauan memaksimalkan sumber daya yang lain, juga belum dikaji atau dilakukan. Apakah tidak ada energi alternatif selain SUTET yang lebih berkelanjutan secara ekologi, social, ekonomi, politik dan budaya?.

Kalau memang mau memenuhi kebutuhan listrik rakyat, bukankah didaerah dan lokasi masyarakat yang akan dilewati terutama di tiga kabupaten wilayah Provinsi Jawa Timur sudah memakai listrik semua? Dan kalau mau solusi, masih cukup banyak alternatif pembangkit listrik skala kecil (sistem mikro hidro), bio diesel dan lainnya. Bukankah di Probolinggo ada air terjun Madakaripura yang juga punya potensi untuk jadi pembangkit listrik. Atau gelombang laut selatan di pesisir pantai Puger misalnya juga berpotensi besar untuk dijadikan pembangkit energi listrik. Intinya Jawa Timur masih cukup punya potensi untuk mengembangkan pembangkit energi listrik yang jauh lebih berkelanjutan, biar kecil tapi kalau bisa di replikasi dan dibuat banyak secara menyebar lintas wilayah lebih sustainaibility.

Apalagi jika masyarakat dilibatkan langsung. Maka harapan dan impian tentang menjaga kelestarian lingkungan hidup dan membangun dengan tidak membawa “kerentanan sosial” serta masalah baru bagi kehidupan rakyat bisa direalisasikan. Untuk itu dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan, kehati-hatian, hak asasi manusia, transparansi, keberlanjutan kehidupan, keadilan dan kedaulatan rakyat atas sumber daya alam yang adil dan lestari. Sebaiknya proyek SUTET “TransBali  Paiton-Gilimanuk 500 kv“ ini mesti ditinjau ulang, bila perlu dibatalkan.

 

Identitas Penulis            : Ridho Saiful Ashadi

Jabatan                         : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur

HP                               : 081. 5509. 3589

Email Pribadi                : ipulsuroboyo@gmail.com

 

 

 

Pemerintah Siapkan Bencana di Madura


RENCANA PEMBANGUNAN PLTN  DI MADURA

TIDAK PROSPEKTIF SECARA EKONOMIS DAN EKOLOGIS

 

                                                                                            “Masalah PLTN adalah sangat Urgent ditanggapi, jadi saya mohon,

 janganlah komentar saya ini di lecehkan!. Tetapi,

PLTN melecehkan harga nyawa Manusia,

PLTN melecehkan kenyataan perhitungan ekonomis,

PLTN melecehkan arah perkembangan teknologi energi masa depan,

PLTN melecehkan demokrasi dan peradaban,

PLTN adalah keterbatasan kecerdasan dalam wawasan dunia modern…”

 ( W.S. Rendra, Penyair, Budayawan dan Dramawan,

Fax yang dikirim ke Sekretariat Eksekutif Nasional WALHI  20 maret 1996,Dalam kampanye besama tokoh Indonesia menolak PLTN di Kawasan Muria-Jawa Tengah)

 

Sejarah rencana PLTN masuk ke Madura

Madura adalah pulau yang padat penduduk, termasuk wilayah yang berpegunungan, tanahnya banyak terdiri dari kars, banyak daerah yang termasuk kering. Selain itu kondisi masyarakat madura adalah masyarakat yang teguh memegang adat-istiadat dan tradisi terutama yang bersumber dari islam, maupun kebiasaan khas orang madura yang masih dijaga dan tetap menjadi pedoman bagi masyarakatnya untuk berpikir, bersikap dan berperilaku.

Tapi ketenangan dan kedamaian masyarakat madura seolah “dilecehkan” ketika kabar dan kepastian telah bekerjanya sebuah tim yang sedang meneliti potensi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang akan dibangun di Madura, dimana menurut hasil penelitian yang dilakukan sesuai dengan peringkat calon tapak adalah sebagai berikut ; N-1 di Sokobanah Sampang, N-2 di Ketapang Sampang, N-3 di Pasongsongan Sumenep (sumber hasil penelitian penilaian ekonomi oleh Mursid Jokolelono M.Sc)

 
Secara diam-diam. Pemerintah Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), sebuah lembaga yang dibentuk oleh pemerrintah Indonesia berdasarkan UU No.65 tahun 1958 yang untuk pertama kali di kepalai Dr.G.A. Siwabessy dan waktu itu masih bernama Lembaga Tenaga Atom Nasional, lantas pada tahun 1964 berdasar UU No. 31 tahun 1964 lembaga ini diubah menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) sampai sekarang. Dalam kaitannya terhaap rencana pembangunan PLTN, BATAN bekerja sama melalui sebuah master of Understanding (MoU) pada tanggal 10 Oktober 2001 dengan sebuah lembaga dari Korea Selatan dalam hal ini adalah Korean Atomic Energy Research Institute (KAERI).

 

Program rencana pembangunan PLTN ini dikemas melalui sebuah proses penelitian kerjasama beberapa lembaga. Diantaranya adalah Pusat Pengembangan Energi Nuklir(PPEN) BATAN melakukan Riset Ungulan Terpadu (RUT), suatu program penelitian kerjasama kantor Menristek (Menteri Negara riset dan Teknologi) dan LIPI (lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dengan tema “Penelitian Ekonomi Pabrik Listrik dan Air Bersih bagi Madura”. Penelitian untuk mengetahui “apakah suatu pembangkit listrik sekaligus pabrik penghasil air bersih dengan cara desalinasi air laut layak dioperasikan di Madura”

Rencananya PLTN akan dibangun mulai tahun 2008 dan akan dioperasikan mulai tahun 2015. PLTN yang akan dikembangkan adalah PLTN SMART 2 unit yang akan menghasilkan sumber daya listrik sebesar 200 MW. Guna menyebarkan hasil penelitiannya ini, BATAN melalui Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) Badan Tenaga Nuklir Nasional bekerjasama dengan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang melalui SPK Nomor : PA.41/028/KS001/2003. Dalam pekerjaan lapang (field work) dilibatkan 8 (delapan) orang dari Universitas di Madura, yakni Universitas Tunojoyo Madura (UTM) – Bangkalan, Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) – Sampang, Universitas MAdura (UNIRA) – Pamekasan, dan Universitas Wiraraja – Sumenep, masing-masing 2 (dua) orang. Sebagai ketua tim peneliti Dr. Ir. Sugiyanto MS dari LPM Unibraw. Melalui kerjasama ini kemudian dilakukan Sosialisasi dengan kemasan “forum sosialisasi hasil studi pabrik listrik dan air bersih di madura” yang dilakukan di Universitas Trunojoyo Madura – Bangkalan, 22 Juli 2003. Dan dilanjutkan sosialisasi kedua oleh LPM Universitas Barawijaya tentang “Draft Hasil Kajian” yang disampaikan pada tanggal 1 Oktober 2003 di Universitas Wiraraja Sumenep.

 

Akibat Ekonomis ;  pengalaman beberapa Negara berkembang terjebak hutang

Melihat pengalaman sejarah, salah satu alasan pokok untuk membangun PLTN adalah kebutuhan listrik akan meningkat sedemikian cepatnya sehingga PLTN dijadikan pembenar untuk “satu-satunya cara” yang murah untuk memenuhi tambahan kebutuhan kebutuhan itu. Tetapi ramalan tentang pertumbuhan kebutuhan seringkali meleset, karena satu alasan lain yang sering dijadikan pijakan adalah bahwa alasan pembangunan PLTN sering didasarkan pada asumsi tentang pertumbuhan kebutuhan energi. Padahal tidak selalu benar pendekatan model ini, contohnya adalah Amerika Serikat, yang hampir pasti dapat dipastikan merupakan negara yang memiliki sarana-sarana paling canggih untuk membut perkiraan-perkiraan, ternyata juga tidak tepat dalam membuat perkiraan.

Sampai tahun 1974, kebanyakan perusahaan dan ada yang bergerak di bidang penyediaan energi mengandaikan, bahwa pertumbuhan kebutuhan listrik dimasa lampau – sebesar rata-rata 7% pertahun akan berjalan terus (Repport to the Conggres of the United States, Electric Cancellations and Delays, EMD-81-25, General Accounting Office Washington DC, 8 Desember 1980, hlm.10).

 

Tapi pada tahun 1979 badan-badan yang berrtanggung jawab dibidang ini melakukan penelitian dan penghitungan kembali, hasilnya mereka memperkirakan bahwa hingga 1985 kebutuhan energi listrik yang dibutuhkan masyarakat hanya akan mencapai 4,0 – 4,47% per tahun. Sebuah kapasitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan itu. Namun kenyataannya kapasitas terpasang netto hanya memerlukan peningkatan 2,5% per tahun selama periode 1975 – 1985, dan bahkan antara 1980 sampai 1985 hanya di perlukan 1,4% per tahun (Jim Falk, ketua jurusan sejarah dan filsafat ilmu di Universitas Wollongong, New South Walles Australia)

 

Lain di Amerika lain pula yang terjadi di beberepa negara berkembang seperti Brazil, setelah 12 tahun penandatanganan kontrak pembuatan reactor atom dengan Jerman Barat, belum ada sedikit pun hasil listrik yang dihasilkan reactor. Satu-satunya reactor atom yang sudah selesai adalah reactor 626 MW yang dikerjakan perusahaan AS, Westinghouse. Tetapi pada juni 1987 pengoperasian reactor harus dihentikan. Bahkan sejak 1985 sudah 23 kali di hentikan. Majalah mingguan Brazil Veja menyebutkan, “sejak 1985 sudah KO 23 kali”. Umumnya karena kerusakan generator yang mengakibatkannya berhenti berfungsi selama beberrapa bulan. Pada 1987 reaktor Angra I yang terletak di pantai Itaorna, 150 KM sebelah barat Rio de Janeiro tidak berfungsi. Akibatnya biaya menjadi tiga kali lipat lebih besar dibandingkan tenaga listrik yang dihasilkan tenaga air. Begitu reactor atom berhenti bekerja, kerugian reactor Angra I menjadi US$6 juta perbulan. Hingga sekretaris jenderal pada kementerrian energi brazil saat itu Paulo Ritcher mengatakan, bahwa apa yang diharapkan sebagai alih teknologi tinggi dari Amerika adalah sungguh mengecewakan. Sampai akhirnya Brazil menuntut ganti rugi kepada Westhinghouse di New York sebesar US$50 Juta.

 

Akibat perencanaan program Nuklir yang kurang matang, pada 1985 pihak militer secara resmi mengundurkan diri dari kontrak tersebut. Hal ini mengakibatkan keadaan ekonomi Brazil makin memprihatinkan. Sekitar US$7 milyar sudah hutang pemerintah Brazil sampai saat ini di pergunakan untuk menginvestasi pengadaan energi nuklir. Setiap Keterlambatan 1 hari akan menelan biaya pembayaran bunga sebesar US$1 juta. Sementara di Argentina, US$10 milyar atau seperlima dari seluruh hutang luar negeri dihabiskan hanya untuk investasi tenaga nuklir (der Spiegel, majalah terbitan jerman).

Begitu juga dengan yang terjadi di Negara India. India adalah salah satu negara berrkembang yang termakan propaganda nuklir, mulanya negara itu ingin memproduksi 8.000MW dari reactor nuklir sampai tahun 1980. Kenyataan, saat ini mereka harus merasa puas dengan berfungsinya enam reactor dengan kapasitas 1.200 MW. Kapasitas sebesar itu hanya cukup memasok tiga persen dari kebutuhan total listrik India.

Perebutan pengaruh akan “efficiency” dan pemenuhan kebutuhan energi ini memang telah sering dijadikan referensi yang berlandaskan “asumsi ekonomis” bahwa PLTN adalah lebih murah, padahal tidak demikian kenyataannya.

 

Inilah yang sering menjadi perdebatan, bahwa PLTN menunjukkan perbandingan yang nampaknya meyakinkan dan bertumpu pada keahlian “modern”, antara biaya daya elektrik PLTN dan sumber-sumber lainnya. Dan ternyata banyak yang meleset juga perkiraan tersebut, hal ini bisa disebabkan oleh berbedanya dasar penghitungan biaya. Ambillah contoh biaya pembangunan reactor nuklir, akan sangat lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara, misalnya.

Hasil penelitian seorang ahli ekonomi energi Charles Komanoff, pada tahun 1981 menunjukkan, bahwa akibat inflasi dan suku bunga disingkirkan, biaya nyata untuk membangun PLTN di Amerika selama periode 1971-1978 telah naik 13,4% per tahun, sedang untuk PLTU batubara kenaikan itu hanya 7,7% per tahun. Sedangkan menurut kajian lain, yang dilakukan oleh Booz-Allen and Hamilton Inc., selama dasawarrsa 1973-1983 biaya total untuk membangun PLTN, meningkat 22% per tahun, sedangkan untuk PLTU batubara kenaikan itu hanya 12% per tahun. Maka tidak salah jika fakta saat ini banyak Negara-negara maju kemudian  menutup dan mengurangi secara bertahap terhadap  PLTN mereka, selain faktor biaya ekonomis yang cukup mahal juga dampak ekologis sampah nuklir yang tidak bisa di simpan dan dikelola secara sembarangan. Contohnya adalah Amerika Serikat yang memiliki 110 buah reaktor nuklir atau 25,4% dari total seluruh reaktor yang ada du dunia, akan menutup 103 reaktor nuklirnya. Demikian halnya dengan Jerman, negara industri besar ini juga berencana menutup 19 reaktor nuklirnya. Penutupan pertama dilakukan pada tahun 2002 kemarin, sedang PLTN terakhir akan ditutup pada tahun 2021. Keadaan lain juga terjadi di Swedia, yang  menutup seluruh PLTN-nya yang berjumlah 12 mulai tahun 1995. Sampai negara tersebut bebas  dari PLTN pada tahun 2010 mendatang.

Fakta-fakta ekonomis dan ekologis ; PLTN Madura tidak layak

Jika melihat pengalaman dari terjadinya ancaman berbagai dampak seperti kesehatan, keselamatan, lingkungan dan akibatnya, serta biaya yang cukup tinggi yang harus dibayar. Dan tidak hanya biaya ekonomis, tetapi juga biaya sosial, sulitnya rehabilitasi lingkungan dari beberapa kasus di negara-negara diatas. Maka sudah seharusnya pertimbangan kelangsungan kehidupan yang tenang, damai dan jauh dari rasa resah dan kekuatiran jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan dari PLTN di Madura ini, dijadikan prioritas dalam menunjukkan komitmen pemerintah kepada kedaulatan dan kesejahteraan rakyatnya. Mengingat hasil laporan yang dilakukan oleh tim peneliti BATAN, LPM universitas Barawijaya bahwa sejumlah masyarakat responden yang dimintai pendapat oleh tim adalah sebanyak 65,83% menyatakan tidak mungkin PLTN dibangun di Madura, sedangkan 20,83% menyatakan mungkin dapat dibangun sedangkan sisanya menyatakan tidak tahu. Untuk lebih lengkapnya adalah sebagai berikut :

 
Sikap Responden tentang pembangunan PLTN di Madura :

No.

Tingkat sikap Responden

KABUPATEN

Rata-rata

Bangkalan

Sampang

Pamekasan

Sumenep

a.

Mungkin

25,00

20,00

25,00

13,33

20,83

b.

Tidak Mungkin

66,67

66,67

63,33

66,67

65,83

c.

Tidak Tahu

8,33

13,33

11,67

20,00

13,33

            Jumlah

100

100

100

100

100

            *) sumber : Laporan Akhir tim LPM Universitas Brawijaya dan PPEN BATAN 2003

Pada dasarnya memang rencana dan kondisi PLTN ini tetap menyimpan persoalan dan seharusnya dengan kepala dingin dan fikiran jernih para pengambil kebijakan segera tidak mengambil keputusan yang kontra produktif menyangkut persoalan ini. Dan jangan sampai membuat langkah-langkah yang berorientasi jangka pendek, investasi saja misalnya.

            Alasan pertimbangan yang juga harus diperhatikan adalah adanya alasaan krisis energi yang sungguh masih belum bisa di terima, sementara dalam fenomena sosial sekarang. Bahwa ketika seorang warga Negara Indonesia mau mengurus pasang listrik baru, meski dia bertempat tinggal di perumahan RSS misalnya, listrik yang boleh bisa dipasang atau “tersedia” menurut petugas PLN adalah berkekuatan 1200 V. Padahal kebutuhan ukuran rumah RSS dengan 450 V saja sudah cukup. Belum lagi jika kita lihat pembangkit Listrik Jawa Bali yang berkekuatan 15000 MW, untuk memasok kebutuhan listrik di Jawa timur dan Bali masih terpakai sekitar 13.000 MW, ini menunjukkan masih ada sekitar 2000 MW yang tersisa.

 

Bukti lain yang bisa dijadikan basis argumentasi adalah dengan melihat rencana PLTN yang diharapkan menghasilkan 200MW jika di tilik dari kondisi kelistrikan di Pulau Madura, khususnya di Kabupaten Pamekasan memang tidak prospektif. Mengingat di kabupaten ini hanya mampu menyumbangkan Rp. 102.640 juta per tahun (tahun 2002) kepada PT. Perusahaan Listrik Negara. Ini menunjukkan bahwa penggunaan listrik di Madura masih sangat rendah, sehingga tambahan daya dari PLTN tidak menguntungkan. Menurut  Ir. Syarifuddin, pengajar Teknik elektro di ITS, hingga tahun 2002 lalu jumlah pelanggan listrik dari PLN di Madura mencapai 365,722 pelanggan, dengan total energi terjual selama satu tahun sebanyak 367.066 Megawattour (mwh). Ini artinya setiap pelanggan rata-rata membutuhkan energi listrik sebesar 1,003 mwh per tahun. Dibandingkan dengan wilayah Surabaya Selatan, kondisi Madura jauh dari prospektif. Pasalnya di Surabaya selatan tercatat 447.077 pelanggan dengan total energi yang digunakan selama satu tahun sebanyak 3.625.105 mwh. Dengan kata lain setiap orang membutuhkan 8,108 mwh per tahun. Dan sepanjang tahun 2002 industri di madura menggunakan 13.051 mwh atau 0,19 persen dari keseluruhan kebutuhan industri di Jawa Timur yang mencapai 6.841.192 mwh. Kondisi yang juga tidak jauh berbeda terjadi di dunia perkantoran di Madura, yang hanya membutuhkan 3.148 mwh atau 2,27 persen dari total kebutuhan gedung perkantoran di Jawa Timur, sebanyak 138.659 mwh. Dan untuk kebutuhan listrik rumah tangga di Madura hanya sebesar 328.148 mwhpada tahun 2002. total kebutuhan listrik untuk rumah tangga di Jawa Timur mencapai 5.558.643 mwh. Jadi, kebutuhan  di Madura hanya 5,9 persennya (kompas Jatim, 15/10/2003).

Adapun dalam perspektif ekologis limbah nuklir yang dihasilkan PLTN. Bahwa sampai saat ini belum terpecahkan solusinya. Persoalan ini juga dialami oleh negara-negara maju di Eropa, Amerika, Jepang yang belum bisa memecahkan masalah penyimpanan limbah nuklir aras tinggi. Mengingat intensitas radiasi radioaktifnya bisa berumur ribuan bahkan jutaan tahun (tergantung isotopnya). Meskipun seandaninya ditanggung tiada kecelakaan atau kebocoran selama tahap operasi (25-30 tahun). Adalah sungguh tidak bermoral dan tidak bermartabat, memberikan beban pada generasi mendatang sebuah warisan limbah nuklir dan mengharapkan tugas generasi mendatanglah menemukan teknik menimpan limbah nuklir dari produk generasi sebelumnya.

 

 Oleh, karena itu, mari kita katakan secara serentak. “Nuklir, tidak terima kasih!” Dan marilah kita kembali pada suatu kesimpulan bahwa PLTN bukanlah suatu pilihan yang mulia dan bijaksana, baik jika di lihat dari kacamata kepentigan sosial, ekonomi, politik, kelestarian  lingkungan hidup dan terjaminnya keberjlanjutan kehidupan ummat manusia dan yang lainnya. Jadi PLTN bukanlah suatu pilihan yang tepat dan benar. Masih banyak sumber-sumber kehidupan dan sumber daya alam yang bisa dijadikan alternativ untuk negeri yang sedemikian kaya seperti Indonesia, apalagi kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan energi. Dengan menggunakan bahan baku seperti batubara, gas alam (panas bumi), matahari dan lainnya lebih memungkinkan sebagai solusi jangka panjang dengan tidak menabur bahaya dan mengorbankan keselamatan ummat manusia.

 

Bukankah rata-rata setiap orang ingin hidup lebih lama dan tidak ingin mati lebih cepat. Tetapi kemungkinan orang akan rela dimatikan secara terhormat demi meningkatnya mutu hidup manusia, justru memperpanjang “kehidupan” kita. Bila tidak rela, maka kita kalah dalam membela kemuliaan. Dan sejauh kita kritis pada diri sendiri dengan sekuat tenaga mempertahankan integritas dan martabat kemanusiaan, kegagalan dalam sebuah perjuangan tidak dapat dikatakan sebagai kekalahan…. Wassalam.

 

 

***********

 

Identitas Penulis : RIDHO SAIFUL ASHADI

 

Organisasi           : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur

 

Sekretariat          : Jl. Gubeng Kertajaya IX G/17 Surabaya

 

HP                         : 081.5509.3589

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Batalkan Nuklir “PLTN” di Madura!


Solusi Krisis Energi Listrik bukan PLTN

PLTN melecehkan harga nyawa Manusia, PLTN melecehkan demokrasi dan peradaban, dan PLTN adalah keterbatasan kecerdasan dalam wawasan dunia modern…” ( W.S. Rendra, Penyair, Budayawan dan Dramawan, Fax yang dikirim ke Sekretariat Eksekutif Nasional WALHI  20 maret 1996, Dalam kampanye bersama tokoh Indonesia menolak PLTN di Kawasan Muria-Jawa Tengah)

Dengan alasan terjadi krisis energi listrik, maka pemerintah Indonesia mulai memikirkan untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Madura dan melanjutkan proyek PLTN Muria Jawa Tengah. Padahal saat ini ada fenomena alasaan krisis energi listrik yang sungguh masih belum bisa di terima akal, contoh konkretnya adalah ketika seorang warga Negara Indonesia mau pasang listrik baru. Meskipun dia bertempat tinggal di perumahan RSS (rumah sangat sederhana) misalnya, listrik yang “tersedia” menurut petugas PLN adalah berkekuatan 1200 V. Padahal kebutuhan ukuran rumah RSS dengan 450 – 900 V saja sudah cukup.

 Secara diam-diam. Pemerintah Indonesia dalam hal ini diwakili oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Sebuah lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia berdasarkan UU No.65 tahun 1958 yang untuk pertama kali di kepalai Dr.G.A. Siwabessy dan waktu itu masih bernama Lembaga Tenaga Atom Nasional. Lantas pada tahun 1964 berdasar UU No. 31 tahun 1964 lembaga ini diubah menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) sampai sekarang. Dalam kaitannya terhadap rencana pembangunan PLTN Madura, BATAN bekerja sama melalui sebuah master of Understanding (MoU) pada tanggal 10 Oktober 2001 dengan sebuah lembaga dari Korea Selatan dalam hal ini adalah Korean Atomic Energy Research Institute (KAERI). Yang akhirnya menyepakati rencana tapak PLTN madura di; N-1 di Sokobanah Sampang, N-2 di Ketapang Sampang, N-3 di Pasongsongan Sumenep (sumber hasil penelitian penilaian ekonomi oleh Mursid Jokolelono M.Sc)

 Rencananya PLTN akan dibangun mulai tahun 2008 dan akan dioperasikan mulai tahun 2015, jika usia PLTN secara ekonomisselama ini adalah 25-30 tahun maka pada tahun 2045 semua peralatannya harus di bongkar. PLTN yang akan dikembangkan adalah PLTN SMART 2 unit yang akan menghasilkan sumber daya listrik sebesar 200 MW. Guna menyebarkan hasil penelitiannya ini, BATAN melalui Pusat Pengembangan Energi Nuklir (PPEN) Badan Tenaga Nuklir Nasional bekerjasama dengan Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) Universitas Brawijaya Malang melalui SPK Nomor : PA.41/028/KS001/2003.

 

Penolakan mayoritas masyarakat Madura sebaiknya di perhatikan

Pada dasarnya rencana PLTN ini tetap menyimpan persoalan dan seharusnya dengan kepala dingin dan fikiran jernih para pengambil kebijakan segera tidak mengambil keputusan yang kontra produktif menyangkut persoalan ini. Dan jangan sampai membuat langkah-langkah yang berorientasi jangka pendek, seperti bertumpu dan berargumentasi atas pertimbangan investasi pemodal saja misalnya. Untuk itu pertimbangan kelangsungan kehidupan yang tenang, damai dan jauh dari rasa resah dan kekuatiran jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan dari PLTN di utamakan. Apalagi PLTN Madura ini, jika ingin dijadikan prioritas dalam menunjukkan komitmen pemerintah kepada kedaulatan dan kesejahteraan rakyatnya. Maka hasil laporan yang dilakukan oleh tim peneliti BATAN, LPM universitas Barawijaya bahwa sejumlah mayoritas masyarakat Madura yang jadi responden, ketika dimintai pendapat oleh tim peneliti sebanyak 65,83% menyatakan tidak mungkin PLTN dibangun di Madura, sedangkan 20,83% menyatakan mungkin dapat dibangun sedangkan sisanya 13,33% menyatakan tidak tahu.

 

Tragedi  PLTN ; dampak radiasi, merusak ekologi, boros biaya

Bencana Chernobyl (26 April 1986) termasuk bencana nuklir paling buruk di dunia. Musibah reactor Chernobyl di Uni Sovyet (kini Rusia) tanggal 26 April 1986 menjadi pelajaran berharga bagi Negara-negara dunia yang gandrung pada teknologi nuklir. Sekaligus telah membuat masyarakat dunia ketakutan untuk serta merta menerima teknologi nuklir . Pemerintah Ukraina setelah 6 tahun musibah Chernobyl menyatakan secara resmi mengakui bahwa korban meninggal langsung lebih dari 6.000 orang sebagai akibat langsung kecelakaan reakstor No. 4 Chernobyl. Salah satu kengerian akibat terkena radiasi nuklir adalah efek radiasi yang bersifat ganda, yaitu efek radiasi yang disebut somatic (langsung mencederai pada individu yang tidak terlindung) dan genetic (tidak langsung-tampak pada anak keturunannya kelak). Disamping itu, secara medis efek radiasi nuklir tidak dapat dideteksi secara pasti. Dalam jangka panjang, efek radiasi merangsang munculnya induksi kanker.

Adapun dalam perspektif ekologis limbah nuklir yang dihasilkan PLTN “reaktor nuklir” sampai saat ini belum terpecahkan solusinya. Persoalan ini juga dialami oleh negara-negara maju di Eropa, Amerika, Jepang yang belum bisa memecahkan masalah penyimpanan limbah nuklir aras tinggi. Mengingat intensitas radiasi radioaktifnya bisa berumur ribuan bahkan jutaan tahun (tergantung isotopnya). Sedangkan dalam perhitungan ekonomis, PLTN hanya bisa berproduksi selama 25-30 tahun, setelah itu harus dibongkar. Kemudian berbagai peralatannya harus disimpan dan ditimbun di tempat yang “aman” agar radiasinya tidak menimbulkan bencana.

Maka tidak salah jika fakta saat ini banyak Negara-negara maju kemudian  menutup dan mengurangi secara bertahap terhadap  PLTN mereka, selain faktor biaya  yang cukup mahal juga dampak ekologis sampah nuklir yang tidak bisa di simpan dan dikelola secara sembarangan. Contohnya adalah Amerika Serikat yang memiliki 110 buah reaktor nuklir atau 25,4% dari total seluruh reaktor yang ada du dunia, akan menutup 103 reaktor nuklirnya. Demikian halnya dengan Jerman, negara industri besar ini juga berencana menutup 19 reaktor nuklirnya. Penutupan pertama dilakukan pada tahun 2002 kemarin, sedang PLTN terakhir akan ditutup pada tahun 2021. Keadaan lain juga terjadi di Swedia, yang  menutup seluruh PLTN-nya yang berjumlah 12 mulai tahun 1995. Sampai negara tersebut bebas  dari PLTN pada tahun 2010 mendatang.

Jadi PLTN bukanlah suatu pilihan yang mulia dan bijaksana, baik jika di lihat dari kacamata kepentingan sosial, ekonomi, politik, kelestarian  lingkungan hidup dan terjaminnya keberlanjutan kehidupan ummat manusia dan yang lainnya.  Masih banyak sumber-sumber kehidupan dan sumber daya alam yang bisa dijadikan alternatif untuk negeri yang sedemikian kaya seperti Indonesia pada umumnya, apalagi kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan energi listrik. Di Jawa Timur khususnya cukup banyak tersedia bahan baku alamiah potensial yang ada, seperti panas matahari, angin dari garis pantai yang panjang, gelombang laut di pantai selatan yang stabil dan  bahan lainnya yang lebih memungkinkan sebagai solusi jangka panjang dengan tidak menabur bahaya ”tragedi” yang mengorbankan keselamatan ummat manusia dan ekosistemnya. Sebagai pilihan solusi krisis energi listrik PLTN tidak harus jadi pilihan utama. Meskipun dia adalah proyek vital, tapi juga fatal. Karena itu, klarifikasi tentang kedua aspek itu harus disampikan kepada masyarakat secara seimbang, terus menerus dan lengkap.

 
Identitas Penulis            : Ridho Saiful Ashadi

Jabatan                         : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur 2005-2008

Alamat Organisasi       : Jl. Gubeng Kertajaya IX-G/17 Surabaya

Email/Telp/Fax : walhi9@indo.net.id  / 031-5014092/ 031- 5054313

HP                               : 081. 5509. 3589

Email Pribadi                : radinyono@yahoo.com, ipul@walhi.or.id

 

Publikasi           ; 

  1. Ada Apa Dengan Kelangkaan BBM?

(dimuat di Kolom Artikel  Forum KOMPAS Jawa Timur, 14 Juli 2005)

  1. Bisnis Bahan Bakar Gas Geser Minyak

(dimuat Kolom Artikel Forum KOMPAS Jawa Timur, 12 Oktober 2005)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Spiral Kekerasan Bagi Korban Lumpur


background-lumpur.jpg  Spiral Kekerasan dan Penderitaan Korban Lumpur Lapindo

Spiral kekerasan merupakan penjelasan atas bekerjanya tiga bentuk kekerasan yang bersifat personal, institusional dan struktural yang ditulis oleh Dom Helder Camara (Spiral of violence, Sheed and Ward, london 1971). Meski ditulis lebih dari 35 tahun lalu, ternyata tesis yang lahir dari kepekaan dan kelembutan empati Camara kepada para korban kekerasan, saat ini masih sangat kontekstual. Sebagaimana dalam kasus lumpur lapindo dan kaitannya dengan derita para korban.

Kekerasan melahirkan manifestasi ketidakadilan, memicu perlawanan masyarakat sipil dan menimbulkan represi negara yang juga melahirkan kekerasan baru. Menurut. Camara seorang aktivis sosial dan kemanusiaan, meyakini perdamaian dan keadilan tidak bisa diraih selama kekerasan masih terus terjadi. Apalagi kekerasan merupakan realitas multidimensi dan penuh kompleksitas, tidak bisa dipisahkan keterkaitan kekerasan satu dengan yang lainnya. Dari ketiga bentuk kekerasan itu yang paling mendasar dan menjadi sumber kekerasan adalah ketidakadilan ”penindasan”. Ditegaska Camara, ketidakadilan merupakan kekerasan nomor 1 yang bisa menimpa gejala pada perseorangan, kelompok, maupun negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi internasional.

Lumpur Lapindo secara destruktif menghancurkan ekosistem disekitarnya yang masih berlangsung hingga sekarang. Sejak di survai, ditetapkan lokasi eksplorasi masyarakat tidak ada yang dilibatkan secara langsung di proses ini. Itu adalah contoh nyata bekerjanya kekerasan struktural yang pertama. Eskalasi lumpur yang makin tidak bisa dipastikan kapan berhentinya dan meluas dampaknya, kini menjadi malapetaka sosial yang kompleks. Situasi ketidakadilan ”akses informasi” selain orientasi pengelolaan dan tidak adanya analisis resiko bencana eksplorasi migas di kawasan padat huni, melahirkan kekerasan baru. Apalagi inkonsistensi dan orientasi kebijakan di tingkat daerah telah jelas-jelas diingkari, bahwa lokasi Kecamatan Porong dan Tanggulangin merupakan kawasan pertanian dan pemukiman, sampai sekarang (Dokumen Peraturan Daerah Tata Ruang Kab. Sidoarjo th. 2003-2013).

Kekerasan struktural yang kedua adalah di ingkarinya hak dasar masyarakat masyarakat untuk menentukan pengambilan keputusan terhadap pembangunan yang selalu diatasnamakan demi kesejahteraan rakyat. Ternyata masyarakat sekitar tidak ditanya sama sekali. Paling tidak apakah mereka setuju, kalau migas yang ada di bawah mereka diambil, tetapi sewaktu-waktu keselamatan mereka bisa terancam. Ketidakadilan struktural ketiga, tidak jelasnya jaminan akses keadilan masa depan bagi masyarakat, ketika sumber daya alam dikeruk demi kesejahteraan siapa?

Saat situasi makin kompleks. Penanganan tidak serius dilakukan, baik oleh korporasi maupun pemerintah. Menyiapkan skenario yang mengambil biaya termurah ”snubbing unit”, menyewa lahan untuk membangun ponds dengan tanggul yang tidak aman di prioritaskan, padahal ini situasi darurat. Betapa sensifitas dan kepekaan mengahadapi situasi krisis diantara mereka sangat mengerikan. Menempatkan skenario berbiaya mahal di tahap akhir ”relief well” dan menolak berbagai masukan, yang diharapkan jadi solusi alternatif. Misalnya adanya usulan lupur dimasukkan kembali lumpur kedalam tanah dengan model menyuntikkan kedalam tanah.

Tentu ini ongkos yang tidak murah. Tetapi bukankah migas sejak awal proyek yang memang padat modal dan padat teknologi? Bahwa tidak semua orang bisa mengerjakan, bahwa semua orang tidak gampang untuk menjadi tenaga kerjanya. Sehingga praktis tidak menyerap tenaga kerja lokal di sekitar lokasi dengan alasan SDM dan kompetensinya. Begitu juga saat terjadi bencana yang di duga akibat human error, dengan tidak dipasangnya block cassing.

Kesumpekan dan putus asa yang dialami korban disekitar semburan lokasi tidak diimbangi dengan menempatkan mereka sebagai subyek korban yang terkena dampak. Buktinya sejak dibentuknya tim terpadu melalui SK Gubernur maupun Timnas bedasar Keputusan Presiden, korban tidak ada yang masuk menjadi bagian dalam tim. Apalagi berharap korban bisa ikut menentukan untuk mengambil keputusan atas solusi yang di pilih. Saat rumah warga Jatirejo mau ditenggelamkan untuk dijadikan tanggul permanen, ribuan masyarakat melakukan aksi perlawanan dengan blokade jalan raya porong dan berakhir dengan damai. Tetapi setelah itu ancaman represi dari di negara terjadi juga melalui kehadiran TNI bersenjata lengkap di sekitar lumpur. Dan dilanjutkan pernyataan Kapolwiltabes Surabaya yang menyatakan, siapapun korban lumpur yang melakukan aksi di jalan raya boleh ditembak ditempat! Ironis, bagaimana menjelaskan situasi masyarakat yang sebelumnya mnikmati kedamaian dan ketenangan dalam kehidupan desa, bersama keluarga. Tiba-tiba rumah mereka direndam lumpur akibat aktivitas eksplorasi, saat menyalurkan sikap kritis harus dihadapi dengan ancaman kekerasan dari alat kekerasan negara ”perintah tembak di tempat”.

Lumpur panas bercampur gas berbau busuk ini terus meningkat debitnya hingga mencapai 126.000M3 perhari. Kandungan zat berbahaya dalam lumpur beragam pihak mempublikasikan hasil penelitiannya. Kontroversi pembuangan lumpur ke sungai dan laut menimbulkan beragam pendapat. Sayangnya beberapa pihak mengabaikan persoalan hak dasar warga negara yang menjadi korban bencana industri ini menyempitkan kondisi yang ada melalui opini “lebih penting mana ikan atau manusia?”. Jelas manusia harus diutamakan terlebih dahulu, terutama penanganan kepada mereka yang telah jadi korban!

Tetapi memberikan jaminan dan pemenuhan hak azasi kepada korban dan calon-calon korban lain yang akan tenggelam dan terkena dampak buangan ketika lumpur ini dialirkan ke sungai-laut juga sama pentingnya. Sebab mereka menyandarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial, budayanya dari perairan dan hasil laut. Selain itu juga perlu ada formula resolusi konflik untuk antisipasi agar konflik horisontal antar korban jangan sampai terjadi dan makin memperluas persoalan. Sebab reaksi yang pernah ditunjukkan oleh para petambak, buruh tambak, pedagang ikan, nelayan Pasuruan, nelayan Madura, pengolah ikan dan hasil laut dipesisir, dll. tidak boleh dikesampingkan. Sebab mereka berpotensi besar untuk kehilangan harapan hidup.

Itulah bukti kalau dampak persoalan ini sudah meluas dan memasuki ranah kompleksitas persoalan, yang meminjam istilah Camara masyakarat sedang berada dalam situasi “sub-human”. Keberadaan korban lumpur “sub human” bisa kita klasifikasikan antara lain; (1) Mereka yang telah terendam “tenggelam” asset-asset ekonominya; (2)Akan tenggelam “yang berbatasan dengan tanggul-tanggul lumpur”; (3)Mereka yang akan terkena dampak buangan lumpur “baik di hilir maupun tempat lain”; (4)Mereka yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung akibat mobilitas dan produktivitasnya terganggu, contohnya para penyedia jasa transportasi, pariwisata dan penginapan di Kota Batu serta kawasan sekitar Malang, serta para penjual tas dan produk lain dari bahan kulit di kawasan wisata Tangulangin Sidoarjo.

Inilah spiral kekerasan itu. Eksplorasi-eksploitasi migas didekat kawasan padat huni dipaksakan tanpa melalui analisis resiko bencana dan mengedepankan keselamatan warga. Saat warga protes dihadapkan dengan alat kekerasan negara. Saat diputuskan solusi korban tidak dilibatkan, baik yang sudah tenggelam, akan tenggelam maupun yang akan terkena dampak buangan, baik langsung maupun tak langsung.

Sebab disisi lain potensi konflik horisontal sudah terlihat tetapi juga dikesampingkan dan tidak disiapkan resolusi yang holistik untuk mempertemukan antar korban dan calon korban. Seperti keresahan masyarakat hilir dan desa-desa yang akan dilalui pembuangan lumpur melalui saluran irigasi. Satu fase kekerasan struktural yang sempurna. Meminjam istilah Camara; inilah kekerasan yang menimbulkan kekerasan lainnya“violence beget violence”.

Praktek ketidakadilan, dominasi dan akumulasi modal, lemahnya penegakan hukum serta tidak adanya kemauan politik dari elit politk menjadi pemicu utama dari masalah krisis lingkungan hidup dari dampak lumpur yang makin kompleksitas dampaknya. Krisis yang ditimbulkan sudah merambah pada krisis kedaulatan dan keadilan, dalam hal ini, terhadap rakyat kecil telah terjadi proses penghilangan identitas hidup (etnocide), demikian pula telah terjadi ketimpangan distribusi manfaat sumber-sumber penghidupan bagi rakyat. Buktinya lapindo Brantas saat ini dua puluh titik sumur migasnya sudah eksploitasi sejak tahun 1999, tetapi tidak ada kontribusi apa-apa pada pendapatan asli daerah (PAD) baik di Kabupaten Sidoarjo, maupun di Provinsi Jawa Timur, serta APBN.

Sebuah proses akumulasi kekayaan disatu sisi, penghisapan, penindasan serta kemiskinan disisi lainnya, tidak terjadi tanpa sebab. Tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politikekonomi yang kini kita kenal sebagai Neo-liberlisme dan Glogalisasi ekonomi “pasar bebas”. Wajah baru kapitalisme yang berkembang secara massif dan mengakar berdasarkan rekayasa modal untuk menjadikan negara sebagai alat “juru administratur”. Kembali makin benar yang jadi tesis Camara, bahwa kekerasan struktural memang terstruktur secara sistematis “by desain”, bukan alamiah.

Dalam konteks masa depan enegi migas Indonesia, di jawa Timur ada 28 Blok migas yang siap di eksplorasi dan di eksplotasi, semuanya didominasi oleh kekuatan modal asing, mulai Exxon, Petrochina, Amerada Hess, Santos Oyong Australia, Petronas, dll. Apalgi keberadaan BUMN disektor migas “pertamina” telah berubah menjadi persero sesuai dengan dikeluarkannya PP 31 tahun 2003, yang merupakan turunan dari disahkannya UU No.22 tahun 2001 tentang migas. Inilah yang memudahkan praktek penguasaan sumber penghidupan dan membuat krisis sumber daya alam ini benar-benar menjadi krisis kedaulatan bangsa terhadap kekayaan sumber-sumber kehidupannya.

Kerusakan lingkungan hidup akibat luapan lumpur Lapindo di sekitar Porong Kabupaten Sidoarjp semakin hari semakin memprihatinkan. Bahkan sekarang telah membahayakan hidup yang ada di sekitarnya. Termasuk kehidupan generasi masa datang. Ketidakadilan jangka panjang dan kehilangan harapan hidup makin dekat dengan derita para korban, seiring makin terbelitnya mereka dalam kubangan lumpur.

Inilah yang meminjam istilah Camara, mereka ”para korban” sedang mengalami situasi ”sub-human”, manusia yang dijauhkan dari situasi normal kemanusiawian untuk hidup. Jika tidak dihentikan maka keamanan dan keberlanjutan kehidupan manusia (human security) dimasa-masa yang akan datang di sekitar lokasi lumpur akan lebih parah dari hari ini. Mempertemukan semua korban dan calon korban untuk mengambil keputusan solusi terbaik adalah hak fundamen para korban, berikan sepenuhnya hak tersebut kepada mereka. Bagaimana menangani lumpur di satu sisi dan memberikan jaminan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak azasi korban adalah faktor yang saling mempengarui penyelsaian yang tidak bisa dipisahkan.

Identitas Penulis :

Nama : RIDHO SAIFUL ASHADI ( 081.5509.3589 / 031 – 71116367)

Jabatan : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur

Email : radinyono@yahoo.com

Tulisan “artikel/opini” di media yang pernah di publikasi :

1. Ada Apa Dengan Kelangkaan BBM? ( KOMPAS Jatim, 14/7/2005)

2. Bisnis BBG Akan Geser Minyak (KOMPAS Jatim, 12/10/2005)

3. Mewaspadai Bencana Alam Di Jatim (KOMPAS Jatim,, 3/1/ 2006)

4. Rencana Subsidi Benih Untungkan Petani? (KOMPAS Jatim,17/7/ 2006)

5. Sumber Kehidupan Jatim Dibawah Kuasa Modal (Koran SURYA, 26/9/ 2006)

6. Kedaulatan Pangan dan Nasib Tragis Petani (KOMPAS Jatim, 27/9/2006)

7. Dibalik Kelangkaan Elpiji (Koran SURYA, 2/10/2006)

Negara Telah Jadi Alat Pemodal


Sumber Kehidupan Jatim Dibawah Kuasa Modal

(Mengkritisi Artikel Skenario Jatim 2008 – 2023, Koran Surya 19/9/2006)

 

Problem terbesar suksesi pemerintahan adalah bergantinya kebijakan umum oleh pejabat baru di satu sisi dan paradigma politik kekuasaan yang cenderung pragmatis pada mandat kekuasaan tanpa orientasi yang jelas. Tulisan ini adalah polemik atas tulisan sebelumnya yang di tulis oleh Ir.Sucipto di harian koran ini (Surya, 19/9/2006).

Gagasan Ir.Sucipto tentang skenario Jatim 2008 – 2023 layak diapresiasi secara positif dari sisi kemauan untuk melahirkan gagasan konseptual dan mengajak kompetisi bagi seorang calon pemimpin yang mempunyai program. Paling tidak ini bisa dijadikan pulbik untuk menakar kapasitas intelektual seorang calon pejabat pulbik. Hal ini patut dilakukan juga oleh calon lainnya. Sebab bisa menjadi pendidikan politik bagi publik disatu sisi dan kemungkinan besar jadi salah satu pertimbangan pemilih. Bahwa banyak yang  nanti pada saat memilih tidak seperti memilih kucing dalam karung. Meskipun posisitf, kita sebagai pemilih jangan kehilangan sikap kritis. Melahirkan konseptual gagasan memang menarik, tetapi bukan hanya dalam kepentingan menjelang running kompetisi jabatan. Ini untuk menghindarkan kita sebagai pemilih tidak terjebak pada pragmatisme gagasan yang dikeluarkan oleh seorang calon pejabat publik hanya pada momentum menjelang hajatan politik

Setiap calon mestinya mengedepankan etika politik, menyadari kapan saat running kompetisi dibuka dan belum. Sehingga selain apresiasi positif, tetap dibutuhkan sikap kritis pemilih sebagai control bagi siapapun calon kandidat. Bahwa kesannya bermakna kampanye terselubung calon kandidat saat proses secara resmi belum dimulai.

            Terkait hasil oleh-oleh studi banding atau kunjungan kilat para pengurus PDIP ke RRC. Perlu kita sandingkan beberapa analisa dan fakta yang ada dalam perkembangan ekonomi RRC. Mereka menjadi berhasil ”saat ini” ketika dia percaya dan menekankan penuh pembangunan negeri harus dilaksanakan dengan kepercayaan diri sendiri terlebih dahulu. Baru kemudian melibatkan kerja sama dengan pihak asing, tetapi tanpa membuat mereka harus tergantung sama sekali pada kebijakan negeri lain. Ini yang membedakan situasi Jawa Timur khususnya dan Indonesia pada umumnya dengan RRC.

 

Problem Kita Kedaulatan

 Kesemrawutan sosial yang berujung pada ketidakmakmuran rakyat di Jatim juga dipengaruhi hal fundamen. Yakni problem kedaulatan yang masih semu sebagai wilayah yang merdeka. Jawa timur dalam konteks kekayaan sumber kehidupan, adalah sebuah wilayah yang kaya dengan cadangan dan ketersediaan sumber daya alam (sumber kehidupan) yang cukup strategis. Mulai dari raw material  yang terdiri sektor mineral pertambagan non strategis maupun strategis seperti migas (miyak dan gas), hutan, air, tanah, pertanian, perkebunan dan jumlah penduduk yang besar (kurang lebih 37 juta jiwa). Teori dan praktek kemakmuran rakyat menurut Bung Karno adalah kedaulatan untuk berdiri di kaki sendiri, yang kemudian populer dengan istilah BERDIKARI waktu itu. Dimensinya cukup luas meliputi bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Sebagaimana dalam tindakan riil yang dia lakukan pada tahun 1959, bung karno menunjukkan dedikasi dan karakternya sebagai pemimpin rakyat dengan melakukan nasionalisasi asset-asset sumber kehidupan rakyat untuk dikelola bagi kemakmuran rakyat dari cengkeraman modal asing.

Sayangnya kemudian pada tahun 1967, rezim orde baru memberikan otoritas pada modal asing dengan membukakan jalan melalui UU No.1 tahun 1967 tentang PMA. Dan saat yang tidak terlalu lama kemudian, pembangunan tersekenario dalam bidang-bidang tertentu yang akhirnya sekarang menuai bayak kegagalan. Lihat saja konsep dan praktek ekonomi di sektor pangan dan pertanian yang dibungkus melalui kebijakan Revolusi Hijau pada tahun 1968. Intensifikasi model pertanian, menghilangkan tradisi petani untuk bisa mandiri dan berdaulat. Begitu juga dengan skenario Blue Revolution sebagai cetak biru pembangunan kawasan peisisir. Yang sekarang bisa kita jumpai kegagalan disaat ekonomi masyarakat pesisir tidak membaik, kondisi lingkungan hidup juga rusak. Apalgi angka kemiskinan yang mencapai 20 juta orang di Jatim bukanlah main-main. Mengingat kemiskinan juga terjadi di wilayah-wilayah yang saat ini kaya dengan cadangan sumber daya alam minyak dan gas, seperti Sumenep nomor dua dan Bojonegoro nomor empat dalam pendataan indikator kemiskinan terbaru BPS.

 

Sumber Kehidupan Jatim Dan Ekspansi Modal

Di era orde reformasi  situasi diatas tidak berubah, tetapi malah diarahkan pada liberalisasi tahap kedua. Indikatornya bisa dijumpai secara mudah dengan kelahiran berbagai aturan perundangan yang berpotensi menimbulkan konflik dan kepentingan bagi kepentingan modal dengan kelahiran UU yang sangat berpihak pada orientasi pasar dalam menguasai sumber-sumber kehidupan. Seperti UU No.22 tahun 2001, tentang pengelolaan minyak dan gas, serta UU No.7 tentang Sumber Daya Air dan UU 19 tahun 2004 tentang Penambangan di Kawasan Lindung. Keseluruhan peraturan itu  membonceng kekuatan modal korporasi untuk melakukan praktek-praktek privatisasi. Masih dalam era reformasi juga, berlangsungnya Infrastructure summit atau forum infrastruktur di Jakarta pada 17-18 Januari 2005, yang semula direncanakan untuk membahas rekonstruksi Aceh pasca Tsunami, ternyata melahirkan hutang baru yang dikemas dalam proyek infrastruktur berbentuk pembukaan jalan-jalan baru yang akan membabat hutan dan kawasan-kawasan pertanian maupun pemukiman, proyek air melalui pembuatan waduk dan DAM di Jatim, pelabuhan, serta peroyek energy yang juga akan dilakukan di Jatim. Melintasi jalur selatan dari Kabupaten Banyuwangi sampai Ngawi. Berdasarkan data proyek infrastruktur di Jatim sebesar US $ 5096.607 million (sumber: http://www.usembassyjakarta.org/econ/infra-summit.).

Realitasnya Jatim wilayah yang rentan dengan  kemiskinan, rakyat kehilangan akses atas alat produksi dan sumber-sumber kehidupannya, tidak terjaminnya akses keadilan dimasa depan. Tentu tidak cukup hanya dengan konsep Tata Ruang, ketika tidak menyentuh kepastian pemenuhan kebutuhan dasar sosial, ekonomi, budaya, politik.  Apalagi konflik dan kekerasan terstruktur (baca: by desain) melalui kebijakan yang dipaksakan juga terjadi sangat tinggi di Jatim. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), konflik agraria di Jatim  nomor dua secara nasional. Mulai tahun 1970 sampai 2002, tercatat sejumlah  172 kasus, dengan luas lahan sengketa mencapai ± 397.684,09 ha, korban dalam sengketa mencapai ± 363.402 KK atau 1.609.871 jiwa, meliputi 259 desa di 136 kecamatan dan 31 kota/kabupaten, yang melibatkan lawan sengketa terdiri dari 70 pihak pemerintah, 9 militer, 32 perusahaan negara, 62 perusahaan swasta.   Untuk sektor tambang migas, di Jatim telah ditetapkan ada 28 Blok migas yang meliputi sampir seluruh pulau Madura mulai dari Sumenep sampai bangkalan, Gresik meliputi daratan hingga perariran di Pulau Bawean, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Mojokerto, Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo dan Banyuwangi. Yang kesemuanya tidak dikelola oleh BUMN yang bertanggungjawab memenuhi kebutuhan energi rakyat, seiring dengan dishkannya PP Nomor 31 Tahun 2003 Tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Perseroan (Persero).

Pasca infrastruktur summit pemerintah mengeluarkan PERPRES 36 Tahun 2005 yang jelas-jelas untuk kepentingan pemilik modal dan memposisikan warga negara sebagai pihak yang harus diperlakukan untuk dipaksa menyerahkan tanahnya ketika dibutuhkan negara atas nama pembangunan. Secara eksplisit disebutkan bahwa negara boleh mencabut hak atas tanah warga negara. Rasionalitas itu menjelaskan pemerintahan dan negara sebagai alat modal untuk melakukan operasi kepentingannya melalui kebijakan pro pasar. Wajar jika kami mengajukan pertanyaan; apakah masih ada pemimpin di daerah yang punya keberanian, dedikasi dan karakter yang jelas sikapnya dan posisinya untuk menghadapi kuasa modal di Jatim?

 

RRC Mengguncang Dunia Setelah Berdaulat dan Mandiri

            Memandang keberhasilan dengan kunjungan singkat tentu bukan satu-satunya jalan melihat perkembangan dan keberhasilan sebuah bangsa, apalagi untuk RRC. Ada banyak faktor yang ikut menentukan kenapa mereka menjadi bangsa maju yang sekarang diperhitungkan secara pergaulan internasional, baik dalam konteks ekonomi politik maupun posisi politis secara internasional. Tidak hanya RRC sebagai anggota tetap dewan keamanan tetap PBB yang punya hak veto. Tetapi secara sosial, ekonomi dan budaya memang menentukan Tiongkok menjadi bangsa yang besar.

Kemajuan dan perkembangannya RRC bukan hanya sebagai rezim yang kuat, karena hal itu tidak menjamin. Tetapi blue print yang dilakukan oleh RRC pasca Mao Tze Tung bersama kekuatan progressiv memimpin revolusi melawan rezim Chiang Kai Sek tahun 1927, dilanjutkan dengan revolusi kebudayaan tahun 1966. Sebuah proses cita-cita RRC melakukan lompatan jauh kedepan. Inilah titik awal mimpi menjadikan RRC sebagai bangsa yang berdaulat dan mandiri. Di bawah kepemimpinan  Mao kemandirian dan kedaulatan yang didukung secara kuat atas kemandirian sosial-ekonomi- politik rakyatnya menjadikan RRC bangsa yang tertutup. Pada Era Deng Xiao Ping dilanjutkan dengan reformasi ekonominya. Kedaulatan politik, yang ditopang kekuatan sosial ekonomi kerakyatan yang berorientasi pada negara sebagai penjamin atas sumber kehidupan rakyat. Negara bukan sebagai pelayan modal untuk mengusai sumber kehidupan rakyatnya. Sehingga pilihan ekonominya berorientasi atas sektor strategis yang harus dikuasai oleh negara sepenuhnya, seperti air, pertanian, migas dan kekayaan mineral lain.

Setelah hampir 20 tahun RRC menutup diri dari pengaruh asing dengan bertekad membangun sosialisme dengan cara dan upaya sendiri. Akhirnya mulai mengembangkan orientasi bisnis yang tidak mengorbankan asset strategis ekonomi rakyat yang menjadi  pondasi sosial, ekonomi, politik berdaulat disebuah negara. Sehingga waktu itu, di bawah kepemimpinan Deng Xiao Ping, ditetapkan program kebijakan satu negara dua sistem (tahun 1979). Yang pada prakteknya tertuang dalam skenario Zona Ekonomi Khusus (ZEK) di empat kota RRC. Pertama  Shenzen daerah berbentuk naga seukuran 327,5 Km2, berhadapan dengan pantai utara Hong Kong. Kedua  Zhuhai berhampiran dengan Macao yang dikusai portugis, dengan luas sekitar 6,8 KM2. Ketiga,  Shantou (Swatou) 274 Km dari pantai Shenzen, kawasan ZEK Shantou terletak di tepi kota, dengan luas sekitar 1,6 KM2. Dan yang keempat adalah Ziamen alias Amoy, ZEK berada di Xiamen yang terletak di ditepi kota, luas wilayah yang dikembangkan hanya seluas 2,5 KM2 yang akan dikembangkan untuk zona prosesing barang-barang ekspor dari kota2 lain..

ZEK ini dimaksudkan untuk memancing modal, teknologi dan ketrampilan manajemen asing. Lokasi ZEK ini berada di pantai tenggara RRC. Dirancang menjadi semacam sentrum ekspor dan produksi ”laboratorium praktek” bangsa RRC dalam mempelajari gaya ekonomi dunia. ZEK memang sebuah eksperimentasi pemerintahan RRC waktu itu, tetapi dengan semangat membuka diri pada dunia untuk menjadi pusat ekspor dan produksi,serta sentrum pariwisata yang hidup. Meski telah terbuka, tetapi tidak membuat pemerintah gegabah dengan membuka secara sepenuhnya, tetapi tetap selektif dan memberikan proteksi pada sektor strategis tetap dikelola negara.

Shenzen mampu menyerap 60 ribu tenaga kerja kostruksi, 34 perusahaan bangunan dan 14 perusahaan desain yang dikhususkan bagi usahawan dari seluruh wilayah RRC di tempat ini dengan disediakan dana pengembangan oleh pemerintah sebesar Rp 370 milyar pada tahun 1982. Tentunya masih lebih besar yang di tanam oleh investor dari asing yang mencapai Rp 1,5 Triliun pada tahun itu, dengan jumlah kontrak mencapai 1600 kontrak yang ditandatangani. Sekitar 90% penanam modal itu dari para hartawan RRC Hong Kong. Di daerah Xili, dikembangkan sektor pariwisata   yang mampu menyerap turis Hong Kong dari golongan berpenghasilan rendah sampai menengah. Cabang usaha lain di ZEK kota Shenzen yang cukup berkembang adalah untuk penduduk Hong Kong yang lapar waktu itu. Bertempat di Komune Fu Yong, hasil pertanian dan sayur mayur kelompok-kelompok tani diangkut untuk dibawa ke Hong Kong. Di sektor ini berlaku sistem bagi hasil yang saling menguntungkan antara si penenam modal dengan masyarakat, si investor menanam pengadaan bibit dan pupuk, komune tani menyediakan tanah dan tenaga kerja. pengadaan bahan pangan.

Dipihak lain ZEK, memang benar-benar jadi laboratorium baik bagi investor maupun buruhnya. ZEK menyediakan upah yang lebih mahal ketimbang yang diterima buruh pabrik pemerintah di luar kawasan khusus. Misalnya, rata-rata buruh di Kanton menerima upah sekitar Rp 37 ribu sebulan. Di ZEK upah yang diterima buruh berkisar antara Rp 120 ribu sampai dengan Rp 160 ribu sebulan ketika itu.

Sehingga patut diuji kembali gagasan Skenario Jatim 2008-2023 jika prasyarat sosial, ekonomi, budaya dan politiknya tidak terpenuhi. Memakai acuan keberhasilan RRC melalui pemerintahan yang kuat pada saat membangun tetapi melupakan spirit kedaulatan sosial, ekonomi, budaya dan politiknya terlebih dahulu sebelum membangun adalah naif. Sebab mereka baru mengundang investor dan  akselerasi modal asing untuk kepentingan mereka dibuka secara kompetitif dengan pembatasan secara jelas. Termasuk secara spesifik modal dibatasi untuk tidak mengusai sektor strategis yang diperlukan kehidupan rakyat kepada para pemodal. Sementara di Jawa Timur mulai dari sektor tambang migas dengan 28 Blok saat ini dikuasai semua oleh TNC’s dan MNC’s, monopoli pengelolaan hutan, air, pertanian yang makin tidak mandiri.

Kalau memang mau mengembangkan perencanaan berbasis kawasan dan sinergitas antar wilayah, mari memulai dengan mencari figur pemimpin yang mampu memadukan pikiran, perkataan dan tindakannya untuk menegaskan kedaulatan sosial, ekonomi, budaya dan politik terlebih dahulu. Sebab disitulah hulunya menentukan arah tata ruang sebagai master plan  perencanaan sebagai wilayah diperuntukkan untuk apa dan siapa? Jika prasyarat ini tidak terpenuhi dalam realitas sosial politik kita, tentunya jangan bermimpi seperti RRC yang tengah menggeliat dan mengguncang dunia.

 

 

Identitas Penulis :

Nama               : RIDHO SAIFUL ASHADI

Jabatan             : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur

Alamat             : JL. Pucang Anom Timur II No.21 Surabaya

HP                   : 08155093589 / 031 – 71116367

Email                : radinyono@yahoo.com

Tulisan “Artikel” Yang Pernah di Publikasi :

  • ADA APA DENGAN KELANGKAAN BBM? (di muat Forum Koran KOMPAS Jawa Timur, tanggal 14 Juli 2005)
  • BISNIS BAHAN BAKAR GAS AKAN MENGGESER MINYAK (di muat Forum koran KOMPAS Jawa Timur, tanggal 12 Oktober 2005)
  • MEWASPADAI BENCANA ALAM DI JATIM (dimuat Forum koran KOMPAS Jawa Timur, tanggal 3 Januari 2006)
  • RENCANA SUBSIDI BENIH UNTUNGKAN PETANI? (dimuat Forum Koran KOMPAS Jatim, 17 Juli 2006)

 

 

 

 

Penuhi Hak Azasi Korban Lumpur


Penanggulangan Korban Lumpur Berbasis HAM

 

Penanggulangan korban lumpur sampai saat ini terkesan karitatif dan parsial. Penanganan dilakukan dengan tidak mengurai akar masalah yaitu, kerusakan lingkungan tidak diurus secara serius dan belum ada strategi krisis untuk menghadapi bencana ekologis atau malapetaka kehidupan sosial akibat kerusakan lingkungan.

Kandungan zat berbahaya dalam lumpur yang keluar sejak 29 mei 2006, sekarang debitnya mencapai 126.000/hari. Yag mengancam menenggelamkan lebih dari 17 Desa di Sidoarjo. Kontroversi pembuangan lumpur ke laut menimbulkan beragam pendapat, ketika lumbur ini diindikasi mengandung bahan berbahaya atau tidak. Sayangnya penyempitan persoalan hak azasi warga negara atas lingkungan didorong pada perdebatan  “lebih penting mana ikan atau manusia?”. Jelas manusia harus diutamakan terlebih dahulu, terutama penanganan kepada mereka yang telah terendam! Tetapi memberikan jaminan kepada  korban lain dan calon-calon korban yang akan tenggelam dan terkena dampak buangan ketika lumpur ini dialirkan ke sungai-laut juga sama pentingnya. Sebab jika tidak, maka ini memindah masalah dan bisa menimbulkan persoalan ketidakadilan baru ditempat lain.

Masyarakat pesisir menyandarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial budayanya dari perairan dan hasil laut. Selain itu juga perlu ada formula resolusi konflik untuk antisipasi agar konflik horisontal antar korban jangan sampai terjadi. Sebab reaksi yang pernah ditunjukkan oleh para petambak, buruh tambak, pedagang ikan, nelayan Pasuruan, nelayan Madura, pengolah ikan dan hasil laut dipesisir, dll. tidak boleh dikesampingkan. Sebab mereka juga warga negara yang sah dan diakui hak-haknya yang rentan untuk kehilangan harapan hidup.

Itulah bukti kalau dampak persoalan ini sudah meluas dan memasuki ranah kompleksitas persoalan, yang dalam pemahaman penulis masalah ini sebut sebagai masalah sosial. Apalagi mereka yang terkena dampak tidak langsung akibat mobilitas dan produktivitasnya yang terganggu belum diperhitungksn. Contohnya para penyedia jasa transportasi, pariwisata dan penginapan di Kota Batu serta kawasan sekitar Malang, serta para penjual tas dan produk lain dari bahan kulit di kawasan wisata Tangulangin Sidoarjo. Pertanyaannya sekarang, bagaimana menyiapkan skenario penanggulangan yang bisa menjangkau dan memenuhi hak-hak dasar korban disemua wilayah?

Jika itu tidak dilakukan, berarti negara telah melakukan pembiaran terhadap kerentanan yang dihadapi warga negaranya akibat salah kelola dan penanganan bencana. Tentunya dalam perspektif Hak Azasi Manusia (HAM) ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan HAM. Sebab dalam konstitusi korban adalah manusia warga negara yang dijamin, dilindungi dan harus dipenuhi hak-haknya. Tidak terpenuhinya hak rakyat atas lingkungan, sebetulnya bisa dikatakan sebuah pelanggaran “konstitusi” dan kegagalan   penyelenggara negara “absen” dalam memenuhi hak-hak rakyat atas lingkungan dan sumber-sumber kehidupan.

Secara eksplisit hak rakyat atas lingkungan telah jelas diatur dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia UUD 1945 pasal 28H ayat (1) menyebutkan ; bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bati, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam aturan yang lain telah dicantumkan dalam pasal 5 dan 8 UU RI No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa: “setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bahkan dalam dimensi hak azasi diatur secara tegas dalam UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, seperti di pasal 3 menyebutkan; “masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Sedangkan dalam skala internasional sebagai instrumen “pengakuan” politik atas pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan memenuhi hak-hak masyarakat untuk memperolehnya, diakui dalam sidang Komisi Tinggi HAM pada bulan April 2001. Bahwa “setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup”.

            Tentu dengan melihat secara holistik dan menyiapkan seperangkat desain penggulangan berbasis hak asasi manusia yang bisa menjangkau keseluruhan hak korban perlu dilakukan. Ironisnya, saat dibentuk tim terpadu di tingkat Provinsi, sampai Timnas yang berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres), keduanya memandang keberadaan masyarakat korban sebagai obyek bencana. Korban tidak dilibatkan dan diberikan ruang dalam mengambil keputusan atas nasibnya sendiri. Akibatnya sekarang sebagian warga yang Desanya ditetapkan menjadi kawasan rawan bencana dan direkomendasikan untuk direlokasi menolak keputusan pemerintah (Kompas, 30/9/2006).

           

Manajemen Bencana Berbasis Hak Korban

            Penanggulangan bencana berbasis hak korban, menekankan diaturnya tentang pra, pada saat dan pasca bencana yang melibatkan sepenuhnya partisipasi korban. Untuk itu membangun pemahaman terhadap ruang kelola dan pemanfaatan lahan yang berbasis korban dan bencana dalam arti mengantisipasi dan memberikan jaminan penyelesaian dari dampak yang meluas  dari “bencana industri” ini perlu segera di buat. Misalnya secaras spesifik mengatur hak-hak dasar korban dan bagaimana menuntut tanggungjawab korporasi ketika menimbulkan “bencana industri” yang berakibat meluasnya dampak (kompleksitas) masalah.

Emergency respon dan skenario terburuk perlu dilakukan. Menempatkan korban sebagai subyek yang ikut memutuskan harus dikedepankan. Mau direlokasi atau tidak, menghitung secara detail kerugian dan dampak yang di derita korban, termasuk yang di pesisir dan tempat lain. Memberi ganti “layak” sesuai dengan kebutuhan dan hak-hak dasar dalam persepektif hak azasi manusia. Selanjutnya, tindakan pasca bencana juga harus dilakukan, dengan melakukan pembangunan kembali kawasan dengan perencanaan yang integrated dan penanggulangan bencana berbasis korban, yang di implementasikan dengan tindakan pencegahan. Sebab antisipasi setiap saat adalah kunci utama “penanggungan bencana”. Terutama mencegah bencana, harus membuka akses informasi dan melibatkan masyarakat secara luas “termasuk korban dan calon korban”, sebab mereka unsur penting dalam manajemen bencana terpadu.

Disisi lain. Apakah masyarakat Jawa Timur siap menghadapi bencana industri migas susulan di tempat lain? Sebab ada 28 Blok minyak dan gas yang akan dieksplorasi dan dieksploitasi, dikawasan padat huni. Padahal Peraturan Daerah Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jatim telah disahkan DPRD Provinsi yang tinggal menunggu pengesahan dari Menteri dalam negeri. Maka wajar jika kami mengajukan pertanyaan; bagaimana masyarakat dan kita semua bisa mengantisipasi dan terlibat, ketika akses informasi saja tidak dipenuhi? Semoga korban  tidak panik dan pelaku-pemberi ijin eksplorasi-eksploitasi tidak saling lempar tanggungjawab saat bencana lain terjadi. ***

 

Identitas Penulis :

Nama                      : RIDHO SAIFUL ASHADI  ( 081.5509.3589 / 031 – 71116367)

Jabatan                  : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur,    Email: radinyono@yahoo.com

Tulisan “artikel/opini” di media yang pernah di publikasi :

1.        Ada Apa Dengan Kelangkaan BBM?                                           ( KOMPAS Jatim, 14/7/2005)

2.        Bisnis BBG Akan Geser Minyak                                                   (KOMPAS Jatim, 12/10/2005)

3.        Mewaspadai Bencana Alam Di Jatim                                      (KOMPAS Jatim,, 3/1/ 2006)

4.        Rencana Subsidi Benih Untungkan Petani?                         (KOMPAS Jatim,17/7/ 2006)

5.        Sumber Kehidupan Jatim Dibawah Kuasa Modal           (Koran SURYA, selasa 26/9/ 2006)

6.        Kedaulatan Pangan dan Nasib Tragis Petani                        (KOMPAS Jatim, 27/9/2006)

 

 

 

 

 

 

 

 

Quo Vadis Hak Azasi Korban Lumpur?


Pengabaian Hak Korban Lumpur Langgar Konstitusi

 

Kenyataan akhir para korban lumpur makin kelihatan penuh dengan ketidakpastian. Setelah Lapindo Brantas menjual kepemilikan Blok Brantas kepada   ke PT. Freehold yang berasal dari Virgin Island yang berada di Lautan Karibia, di timur  Puarto Rico. Jelas menambah kepedihan dan duka para korban lumpur. Sejak awal memang penganan terasa sangat karitatif dan sektoral, bahwa persoalan teknis (seperti pembuatan tanggul, relief weell,  yang dibungkus penyelamatan manusia disatu sisi, tetapi tidak membuahkan hasil dan mengesampingkan hak-hak dasar korban disisi lain.

Transaksi yang dilakukan Lapindo Brantas dan Freehold sudah bukan lagi “kengerian” tarian korporasi diatas derita para korban lumpur dan lingkungan hidup. Tetapi sudah menjadi kegelian, mengingat beban yang harus ditanggung ternyata tidak membuat Blok Brantas yang dikuasai Lapindo tidak laku jual. Dalam logika bisnis yang sederhana bukankah investasi adalah praktek menanamkan modal “bila perlu sekecil-kecilnya” untuk meneguk keuntungan sebesar-besarnya? Tetapi keputusan freehold membeli lapindo meamng keputusan yang berani, sekaligus mengilustrasikan sebuah “paktek sindikalis terselubung” ketika Lapindo terlihat ingin lepas dari tanggungjawabnya kepada para korban dan dampak yang ditimbulkan.

Pemberian kompensasi dan penandatanganan surat pernyataan telah dilakukan oleh korban dan lapindo, tetapi tidak mengatur secara jelas apa tanggungjawab mutlak yang harus di tanggung oleh “si pelaku dan penanggungjawab” menyemburnya lumpur yang jadi malapetaka ini. Makanya kesepakatan itu belum membuat para korban tenang dan merasakan keadilan dari dampak yang di derita. Saat ini korban “dari hulu-hilir” telah begitu menderita dan terancam kehilangan harapan untuk hidup dimasa depan. Dampak makin meluas dan memasuki ranah kompleksitas persoalan. Hal itu terlihat mulai dari persoalan lingkungan, ekonomi, tergangugnya pendidikan dan kesehatan, hingga rasa aman dan nyaman. Pertanyaannya sekarang, bagaimana menyiapkan penanggulangan “skenario terburuk” yang bisa menjangkau dan memenuhi hak-hak dasar korban disemua wilayah?

Dinamika korban berdasarkan fakta lapangan adalah, pertama, korban yang asset kehidupannya telah tenggelam karena lumpur. Kedua, mereka yang akan tenggelam, karena berbatasan dengan “tanggul rapuh” yang dekat perkampungan padat huni. Ketiga, yang akan terkena dampak buangan di kawasan aliran sungai kali porong dan pesisir laut, serta yang setiap hari menghirup gas metan  yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Begitu juga korban yang dirugikan akibat mobilitas dan produktivitasnya yang terganggu belum diperhitungkan.

 

Mengesampingkan hak dasar korban langgar konstitusi

Memberikan pengakuan, jaminan dan pemenuhan hak dasar korban dalam prinsip-prinsip fundamen hak azasi manusia (HAM) penting dijadikan paradigma solusi dan penanggulangan dalam kasus lumpur. Memandang korban dan calon-calon korban tanpa membeda-bedakan wilayahnya perlu dijadikan pemahaman bersama. Keputusan pemerintah membuang lumpur ke laut, tanpa menyelesaikan terlebih dahulu jaminan dan pemenuhan hak korban merupakan pandangan satu sisi. Hanya terkesan memindah dan mengundang masalah sosial baru. Masyarakat pesisir menyandarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial budayanya sehari-hari  dari hasil perairan dan hasil laut. Petani tambak, buruh tambak, pedagang ikan, nelayan Pasuruan, nelayan Madura, pengolah ikan dan hasil laut dipesisir, dll. Mereka adalah warga negara yang sah dan diakui hak-hak dasarnya secara konstitusional.

Secara eksplisit hak rakyat atas lingkungan telah jelas diatur dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia UUD 1945 (pasal 28H;1). Dalam aturan yang lain telah dicantumkan secara tegas dalam UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, seperti di pasal 3. Sedangkan dalam skala internasional sebagai instrumen atas pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan memenuhi hak-hak masyarakat, diakui dalam sidang Komisi Tinggi HAM pada bulan April 2001. Bahwa “setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup”.

                       

Belajar Dari Kasus Internasional ; Minamata dan Bhopal

            Ada dua contoh kasus lingkungan yang pernah terjadi di dunia yang bisa dijadikan pelajaran. Kasus pencemaran merkuri di Minamata  Jepang adalah contoh riil bencana industri. Setelah pelaku perusak lingkungan, yakni Chisso Corporation dituntut bersalah di pengadilan. Dua tahun kemudian pemerintah Jepang mengeluarkan aturan tentang pengakuan, penjaminan hak-hak korban dan tanggung jawab mutlak korporasi dalam bencana industri. Sehingga sampai saat ini korban minamata masih mendapatkan hak dasarnya, salah satunya adalah pelayanan kesehatan dan ditanggungnya semua kerugian oleh Chisso Corporation.

Hal ini berbeda dengan yang terjadi pada bencana industri Bhopal di India. Union Carbide Corporation (UCC), perusahaan bahan kimia dari Amerika Serikat, saat tabung gasnya bocor dan  meledak pada 3 Desember 1984. Mengakibatkan 3800 orang meninggal dan lebih dari 1000 orang cacat permanen (sumber: Bhopal Information Centre). UCC selaku perusahaan yang seharusnya bertanggungjawab, mengalihkan modalnya “menjual” asset perusahaannya kepada Daw Chemicals. Setelah itu sang pemilik UCC melarikan diri, sehingga pada akhirnya pelaku lepas dari penuntutan dan tanggungjawab. Pemerintah India terkesan tidak serius mengungkap dan memenuhi keadilan korban.  Maka akibatnya korban menderita dari saat kejadian sampai sekarang.

Awalnya PT. Energi Mega Persada, selaku holding company akan melakukan “spin off”, melepas sahamnya yang di Lapindo dan siap di beli Lyte Corporation yang sedang berganti nama Bakrie oil dan gas. Tetapi ternyata pengalihan kepemilikan jatuh kepada Freehold. Ketika banyak pihak menduga ini sebagai modus melepaskan tanggungjawab PT.Lapindo sebagai korporasi atas dampak lumpur dan gas di Sidoarjo. Lantas kemana dan  pada siapa jaminan, pemenuhan  hak azasi korban bakal diperoleh?

 Apakah untuk kesekian kali pemerintah Indonesia memperlihatkan peran negara jadi alat dan tidak berdaya menghadapi oligarki modal? Bukankah lebih pro pemodal daripada rakyat yang telah dilanggar hak azasinya adalah keputusan naif. Blok Brantas mempunyai 49 titik sumur dan 20 titik sumur gasnya sudah eksploitasi. Sejak th.1999 sampai sekarang tidak ada signifikasinya apa-apa pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Kabupaten Sidoarjo. Sementara 28 blok migas lain di seluruh Jatim hanya memberikan kontribusi tidak sampai Rp 1 trillliun (APBD Provinsi Jatim th.2005).

Lumpur Lapindo sudah menjadi kasus  internasional. Mengancam ratusan ribu jiwa di sekitar Sidoarjo. Apalagi jika dalam jangka panjang lumpur dan gas berbahaya ini tidak mampu dihentikan. Ketika hak dasar korban tidak dijadikan aspek penanggulangan, maka Indonesia sedang dipertaruhkan komitmennya. Diratifikasinya UU No.11 tahun 2005 tentang hak ekosob oleh Indonesia, merupakan beban tersendiri bagi  kontribusi penegakan HAM Indonesia kepada dunia. Jika  akhirnya korporasi lepas dari tanggungjawab dan korban diabaikan hak dasarnya. Maka sekali lagi negara ini memang tergolong ceroboh dan suka mempermalukan dirinya sendiri di muka internasional.

Menjangkau hak dasar korban lumpur bukan hal sulit bagi pemerintah, sebab hanya membutuhkan kepekaan dan kemauan politik yang bisa menjamin dan memenuhi hak azasi korban. Kalau Jepang bisa, kenapa Indonesia tidak? Lantas apa kendalanya mengeluarkan “political will” yang lebih bermakna bagi korban lumpur dan kepastian tanggungjawab korporasi modal jika terjadi bencana industri? Mestinya Keputusan Presiden (Keppres) yang dikeluarkan  tidak hanya menetapkan lumpur sebagai bencana nasional, serta menetapkan porong dan sekitarnya sebagai daerah rawan bencana serta membentuk tim nasional. Tetapi saat Bapepam (badan Pengawas Penanaman Modal) menolak terjadinya transaksi pengalihan kepemilikan Blok Brantas dari Lapindo Brantas Inc ke Freehold, seharunya di back up secara serius oleh badan publik di tingkat nasional. Tetapi sayangnya ini tidak dilakukan. Jelas Ini peristiwa yang menguji  dan menunjukkan kepekaan dan sensifitas pemerintah sangat rendah kepada para korban lumpur, sekaligus sense of environment yang rendah pula.

Harusnya secepatnya peraturan perundangan tentang penanggulangan bencana industri berbasis hak azasi korban dan tanggungjawab korporasi perlu segera dilahirkan. Agar saat bencana industri terjadi lagi ditempat lain di negeri ini, penanggulangannya tidak lagi berlarut-larut dan menimbulkan ketidakpastian atas nasib dan hak para korban, baik manusia maupun makhluk lainnya. Maka tidak ada alasan untuk tidak memberi kepastian hukum dengan memberikan jaminan yang memenuhi rasa keadilan bagi korban bencana industri.

 

 

Identitas Penulis :

Nama               : RIDHO SAIFUL ASHADI  ( 081.5509.3589)

Jabatan             : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur

Alamat             : JL. Pucang Anom Timur II/21 Surabaya T/F : 031-5014092 / 5054313

Email                : ipulsuroboyo@gmail.com, 

Tulisan “artikel/opini” di media yang pernah di publikasi :

1.        Ada Apa Dengan Kelangkaan BBM?                                         ( KOMPAS Jatim, 14/7/2005)

2.        Bisnis BBG Akan Geser Minyak                                                (KOMPAS Jatim, 12/10/2005)

3.        Mewaspadai Bencana Alam Di Jatim                                      (KOMPAS Jatim,, 3/1/ 2006)

4.        Rencana Subsidi Benih Untungkan Petani?                          (KOMPAS Jatim,17/7/ 2006)

5.        Sumber Kehidupan Jatim Dibawah Kuasa Modal              (Koran SURYA, 26/9/ 2006)

6.        Kedaulatan Pangan dan Nasib Tragis Petani                       (KOMPAS Jatim, 27/9/2006)

7.        Di Balik Kelangkaan Elpiji                                                          (Koran SURYA, 2/10/2006)

8.        Kekeringan Melanda, Waduk Gagal Berfungsi                (Kompas Jatim, 18/10/2006)

 

 

 

 

 

 

 

 

Lumpur Lapindo dan Keserakahan


Lumpur Lapindo Tanggungjawab Siapa?

 Memasuki bulan ke sembilan, sejak terjadi luapan lumpur panas Lapindo Brantas di Sidoarjo Jawa Timur (29 mei 2006). Lumpur yang suhunya encapai 600C dan disertai bau busuk gas hidrosulfida (H2S) serta  amoniak (NH3) sejak 29 mei 2006 lalu. Belum ada tanda-tanda kapan berhentinya aliran lumpur tersebut. Berbagai dampak terjadi secara meluas, tetapi siapa saja pihak yang seharusnya bertangungjawab belum juga ditetapkan sebagai tersangka dalam rangkaian proyek industri migas di Sidoarjo ini.

Meskipun beberapa waktu yang lalu Kepolisian Daerah Jatim telah menetapkan enam tersangka yang terdiri dari para operator lapangan (Kompas, 12/7/2006). Pada awalnya blow out ini diklarifikasi terkait ekses bencana gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah, ternyata tidak terbukti. Dan pada tanggal 30 Mei 2006 induk perusahaan Lapindo Brantas yakni PT. Energy Megah Persada (EMP) Tbk. Mengeluarkan release yang ditandangani oleh director PT. EMP Mr. Thomas Leo Soulsy. Menurutnya sumur Banjarpanji-1 mengeluarkan gas, uap dan air ke permukaan, serta kejadian tersebut tidak berakibat pada rusaknya barang-barang pihak ketiga. Betapa arogan dan kontras sekali pernyataan ini dengan situasi kenyataan di lokasi.

Untuk bencana industri pertambangan secara umum di Jawa Timur, ini bukan kejadian pertama, meskipun blow out lumpurnya adalah yang pertama kali di Jawa Timur. Pada tahun 2000 eksplorasi PT. Premier Oil di Blok Pangkah di perairan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik telah menumpahkan minyak mentah. Akibatnya banyak nelayan dan masyrakat pesisir yang melakukan protes, karena jala dan alat tangkap mereka lainnya terganggu. Begitu juga yang terjadi di Desa Rahayu Kecamatan Sooko Kabupaten Tuban pada tahun 2001, tambang migas PT. Devon Kanada yang sekarang dikelola PT.Petrochina menyemburkan gas H2S yang mengakibatkan 26 orang pingsan di tengah sawah. Keduanya tidak ada tindakan yang cukup berarti pada konteks pertanggungjawaban oleh korporasi sebagai pelaku.

Ada kesamaan sebab dari kejadian Gresik, Tuban dan Sidoarjo adalah pelakunya, ketiganya dilakukan oleh perusahaan tambang migas. Hanya kalau di Gresik dan Sidoarjo terjadi pada saat eksplorasi, sementara Tuban sudah eksploitasi. Namun terlepas dari proses eksplorasi dan eksploitasi, sebenarnya tahap-tahap aktivitas pertambangan migas bisa dilakukan oleh perusahaan yang mengantongi surat ijin administratif sesuai dengan aturan yang berlaku.Diantaranya adalah surat ijin usaha pertambangan (IUP) dan pemegang usaha pertambangan (PUP). Jika dia telah mendapat ijin ini dan selanjutnya bila si perusahaan mau melakukan eksplorasi, maka dia harus mendapatkan ijin eksplorasi. Dan mestinya ijin ini tidak dikeluarkan asal-asalan, tetapi melalui suatu assesment dan kelayakan yang komperehenship. Ini pun belum lengkap jika si pemegang IUP, PUP dan ijin eksplorasi belum mengantongi ijin lokasi yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah Tingkat II setempat, eksplorasi tidak dapat dilakukan.

Sumur Banjarpanji-1 merupakan perluasan dari  rencana pnegelolaan kandungan migas di Blok Brantas, yang meliputi tiga Kabupeten (Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan).  Yang rencananya akan ada 49 titik sumur pengeboran, yang meliputi 42 Desa. Dengan kejadian luapan lumpur disertai gas beracun ini telah membawa multiplayer efek lintas sektor, mestinya pimpinan perusahaan pemegang IUP dan PUP sudah bisa ditangkap dan diadili jika merujuk UU No.23 th.1997 di pasal 46 dan 47. Mengingat kasus ini layak dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan oleh perusahaan (eco corporate crime).

Kasus ini merupakan masalah  publik, karena pengelolaan sumber daya alam strategis ”migas” merupakan kebutuhan strategis untuk menggerakkan berbagai sektor pembangunan lainnya. Dampak dari bencana lumpur juga mengakibatkan kerugian publik yang sangat besar, rusaknya lingkungan dan ekosistem sekitar, terganggunnya infrastruktur trasportasi wilayah, terhambatnya pergerakan barang dan orang , meruginya kegaitan industri disekitarnya, proses produksi sawah dan tegalan masyarakat dan terganggunnya kehidupan sosial masyarakat yang menjadi korban. Dalam proses penegakan hukum dan penuntasan perkara, seharusnya aparat penegak hukum menggunakan pendekatan asas equality before the law (persamaan di muka hukum) terhadap siapapun yang bertanggungjawab (yang melaksanakan, menyuruh, turut serta dalam melakukan dan siapa yang jadi pimpinan di perusahaan). Dan diperlukan keterlibatan publik melalui transparansi gelar perkara kepada publik dalam perkara ini.

Pembuktian kejahatan lingkungan korporasi, bisa dibaca melalui logika alur proyek yang terkait data tentang titik akhir pengeboran (drilling) saat terjadinya blow out lumpur dan uap gas H2S. Dimana yang namanya rencana pengeboran (drilling planning) dalam  eksplorasi adalah bagian dari perencanaan strategis pemegang ijin eksplorasi. Erdasarkan data dari berbagai media, rencananya titik akhir dari pengeboran di Sumur Banjarpanji-1 adalah 10.000 feed. Sementara saat terjadinya luapan lumpur panas titik terdalam yang dicapai adalah di kisaran antara 8000-9000 feed. Ini artinya si operator pengeboran sebagai pelaksna hanya menjalankan kontrak saja. Saat belum melebihi titik terdalam yang ditentukan, yakni diatas 10.000 feed. Kecuali ketika si operator melebihi titik terdalam dari perencanaan pengeboran.

Pertanyaannya, kenapa pihak yang menyuruh dan pimpinan perusahaan yang mendapat ijin eksplorasi belum disidik dan jadi tersangka? Selain itu, dalam proses eksplorasi kan ada si pemberi ijin ”institusi pemerintah” dan pihak yang ditugasi untuk melakukan fungsi pengawasan drilling. Berdasarkan proses penyidikan, pihak pemberi ijin dan pengawas proyek belum dipanggil untuk diperiksa. Mengingat mereka yang memantau day to day kondisi dilapangan, sampai sekarang tidak kedengaran suaranya dan belum dimintai tanggungjawabnya dalam melakukan fungsi pengawasan.

Industri migas memang penuh dengan standart complexity and high technology. Bukti dilanggarnya pemasangan block cassing dengan sengaja sebagai standart eksplorasi drilling tidak dipenuhi oleh si perencana di sumur Banjarpanji-1, sepertinya bukan kemauan operator pengeboran saja. Sangat mungkin dia hanya menjalankan kontrak dan perintah yang tidak mensyaratkan pemasangan block cassing dengan si pemegang IUP. Berdasarkan situasi ini, apakah para operator layak ditetapkan sebagai tersangka utama?

Sampai kapan para saudagar yang di untungkan ini segara ditangkap dan diadili? Tentunya kembali pada kemauan para penegak hukum dan dukungan publik untuk melihat kenyataan ini lebih jernih atas prinsip-prinsip keadilan sosial. Sebab Jawa Timur adalah kawasan rentan bencana industri pertambangan, mengingat saat ini telah ditetapkan ada 28 blok migas diseluruh wilayah Provinsi Jawa Timur (Sumber: Direktorat Eksplorasi dan Eksploitasi Dirjen Migas). Luasan wilayah blok ini mulai dari Kepulauan Madura, Bawean, Lepas pantai Kabupaten Gresik, Tuban, Bojonegoro, Soidoarjo dan beberap tempat lainnya. Khusus untuk eksplorasi dan eksploitasi, ditargetkan akan ada pengeboran di 112 titik sumur lebih  yang siap di eksplorasi dan di eksploitasi (statemen Kepala Dinas ESDM Jatim di TVRI Surabaya).

Tentunya  ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, publik di Jawa Timur Khususnya dan Indonesia pada umumnya. Mulai bagaimana menuntut pertanggungjawaban, baik secara hukum maupun secara sosial, seperti tanggungjawab untuk melakukan penanganan kepada pihak yang dirugikan. Dan kita berharap aparat penegak hukum sebagai institusi publik (badan negara) yang diberi kewenangan atas nama Undang-undang harusnya menjadi garda utama dalam menegakkan hukum. Persoalan sebab dan dampak meluas dari banjir lumpur dan uap gas H2S, sudah jelas alur prpyek dan pihak mana saja yang perlu segera di sidik dan ditetapkan sebagai tersangka. Maka kepada pihak penegak hukum, mari kita yakinkan bahwa ini bukan persoalan bisa atau tidak aparat hukum menegakkan hukum, tetapi mau atau tidak aparat menegakkan hukum yang seadil-adilnya.

Sebab jika keadilan tidak terjadi pada kasus ini, maka saat 28 blok migas lain di Jatim nanti beroperasi dan terjadi bisa saja hal serupa ”bencana industri migas”, akan terjadi kembali. Dan para korban, baik masyarakat maupun ekosistem lingkungan hidup dan sektor sosial lainnya akan semakin pesismis berharap datangnya keadilan. Dan dengan makin tidak adanya  ketidakadilan kesekian kalinya di negeri ini, semakin memperjelas sebenarnya bahwa hukum sering berlaku untuk yang lemah, laiknya para operator pengeboran. Sementara induk perusahaan, para pimpinan/direksi perusahaan eksplorasi tambang migas yang penuh dengan kekayaan dan dekat dengan kekuasaan masih lebih aman dan bisa dihindarkan dari tanggungjawab sebagaimana mestinya. Semoga ini tidak terjadi.

 

Identitas Penulis                 : Ridho Saiful Ashadi

Jabatan                               : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur

HP                                           : 081. 5509. 3589

Email Pribadi                        : ipulsuroboyo@gmail.com 

 

 

Jatim Rawan Bencana


identity-penulis.jpg    Mewaspadai Bencana Alam Di Jawa Timur

Tujuh tahun setelah reformasi kondisi lingkungan hidup di Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur khususnya sama sekali tidak makin membaik. Berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif di tingkat Propinsi Jawa Timur untuk melakukan rehabilitasi lingkungan hidup lebih bersifat project oriented tanpa ada visi dan strategi yang jelas dan efektif.

Berbagai kisah tragis dan mengenaskan melingkupi sejak tahun 1998 sampai akhir tahun kemarin. Bencana lingkungan terjadi hampir di seluruh pelosok negeri. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia yang menelan korban jiwa 2022 orang. Dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor, (Bakornas BP, 2003). Dengan rincian sebagai berikut ; banjir di 302 lokasi dengan orban jiwa 1066, lonsor 245 lokasi dengan 645 korban jiwa, angin topan 46 lokasi dengan 3 korban jiwa, gempa bumi di 38 lokasi dengan 306 korban jiwa, gunung berapi di 16 kejadian dengan 2 korban jiwa.

Selain di wilayah negeri secara nasional. Di pulau Jawa dan Propinsi Jawa Timur juga mengalami hal yang serupa. Mulai dari bencana banjir bandang yang merendam Ibukota Jakarta dan kota-kota besar lainnya, serta tanah longsor, angin topan juga terjadi di hampir 23 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Dalam catatan WALHI Jawa Timur, bencana yang terjadi tahun 2000 hingga akhir 2004 adalah :

Ket. Tgl/Bln/Th

Lokasi Bencana dan Dampak Yang Di Timbulkan

Akhir Th. 2000

Banjir Bandang di Kab. Situbondo. Mengakibatkan 15 korban jiwa, menghancurkan ratusan rumah, ribuan sawah gagal panen. Aktifitas perkotaan dan jalan jalur luar kota terendam lumpur selama 1 minggu. Menyedot APBD Propinsi Jawa Timur 40 Milyar lebih untuk penanggulangan.

Th. 2001

Kab. Mojokerto, Bojonegoro, Lamongan, Gresik. Terkena luapan sungai Brantas dan Bengawan Solo akibat adatanggul yang jebol. Ribuan hektar sawah gagal panen, timbulnya penyakit diare dan gatal-gatal yang cukup luas di derita oleh masyarakat di sekitar kawasan sungai dan yang kebanjiran.

Th. 2002

· Banjir Bandang dan longsor Pemandian Air Panas Wana Wisata Padusan Pacet Mojokerto, 11Desember 2002. Menewaskan 24 orang (anak-anak, remaja, orang Dewasa) dan 2 orang hilang, puluhan luka berat dan ringan, serta puluhan lain mengalami trauma.

· Banjir bandang di Malang selatan th.2002, 10 orang meninggal, ribuan hektar sawah gagal panen

Th. 2003

· Pada bulan Januari-Agustus 2003 peristiwa bencana alam di Jawa Timur telah mengakibatkan sedikitnya 5 orang meninggal dunia, 6.842 hektar sawah rusak, 8.880 hektar tegalan rusak, dan sedikitnya 11.299 rumah rusak.

· Banjir bandang Mojokerto th.2003, 7 jembatan ambrol, ribuah hektar sawah gagal panen, puluhan rumah terendam air dan lumpur, banyak saluran air “anak sungai” mati karena alirannya berubah.

· Banjir dan tanah longsor di Sitiarjo Kabupaten Malang yang mengakibatkan 3 (tiga orang tewas) serta ratusan sawah dan rumah rusak berat

· pada tanggal 13 November 2003, juga banjir bandang dan tanah longsor di Tulungagung, Situbondo, Magetan, mengakibatkan rusaknya lingkungan dan menelan kerugian material yang tidak sedikit.

Th. 2004

· Banjir bandang Blitar Selatan th.2004 (16 orang meninggal, ribuan hektar sawah gagal panen, ratusan hewan ternak dan harta benda lainnya hanyut terbawa arus banjir).

· pada bulan Desember 2004 terjadi banjir yang melanda di beberapa wilayah mulai dari Kabupaten Blitar, Mojokerto, Malang, Pasuruan, Lumajang, Bojonegoro, Gresik, Lamongan, Jember, Trenggalek, dan Pacitan. Tetapi, yang paling parah di Kab. Blitar pada akhir tahun 2004.

Selain korban jiwa, ternyata jelas ada kerugian ekonomi, lingkungan dan sosial yang sangat besar. Tidak menutup kemungkinan luas wilayah maupun jumlah kerugian akan bertambah jika dilihat dari kondisi lingkungan hidup yang belum menunjukkan arah kebaikan pada akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006.

Konsep pembangunan dengan asas pertumbuhan (growth development) yang dilakukan selama ini telah menimbulkan eksploitasi sumberdaya alam yang sulit diperbaharui. Misalnya, adanya penebangan hutan yang tidak berorientasi pada keberlanjutan ekosistem yang cenderung merusak (destruktive logging), baik dilakukan secara legal (legal logging) maupun secara illegal (illegal logging), baik di hutan alam maupun hutan produksi. Berdasarkan Luas hutan di Jawa Timur yang mencapai 1.357.206,30 ha lebih dari 700.000 ha mengalami rusak parah yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh hutan di Jawa Timur telah rusak. Padahal, luas hutan 1.357.206,30 ha hanya 28,4% dari luas keseluruhan daratan Jatim yang mana secara ideal dalam suatu kawasan luas hutan adalah 30% dari luas daratan. Artinya, untuk mencapai luas hutan yang ideal Jawa Timur semestinya masih kekurangan 76.675 ha. Kemudian, darimana mendapatkan luas hutan yang ideal sementara laju kerusakan hutan saja mencapai 30% tiap tahunnya.

Dari Luas 1.357.206,3 ha tersebut, menurut laporan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur (th.2003), sedikitnya 660.000 ha atau lebih dari 50% dalam kondisi telah rusak yang diakibatkan oleh illegal logging dan kebakaran. Dari jumlah itu, 500.000 ha berada di luar kawasan lindung dan 160.000 ha sisanya berada di kawasan hutan lindung dalam wilayah kelola Perhutani. Sementara itu, berdasarkan data Satelit Citra Land-Sat tahun 2001 menunjukkan bahwa kawasan hutan Jawa Timur yang gundul 120.000 ha. Jika dibandingkan dengan tahun 2001 tingkat penggundulan tahun 2003 mengalami kenaikan lebih dari 30% (KOMPAS edisi Jawa Timur, 2 Agustus 2003).

Untuk melakukan antisipasi dari situasi ancaman rentan bencana alam akibat krisis lingkungan ini. Hendaknya mulai dari saat ini pemerintah mempersiapkan langkah-langkah jangka pendek dan panjang. Tetapi keduanya harus dalam satu langkah managemen bencana terpadu (Disaster Management Integrated). Yang kesemuanya dalam dimensi tindakan pencegahan, penanganan keadaan darurat (emergency respon), penaggulangan/rehabilitasi.

Untuk langkah jangka pendek, yang bisa ditempuh dalam menghadapi curah hujan yang tinggi menjelang mudik lebaran di hampir 23 Kabupaten/Kota di Jawa Timur (Kompas, 18/10/2005), sebaiknya pemerintah Provinsi atau kaputen/kota harus menjalin kerjasama dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) untuk mengetahui curah hujan dan kondisi perubahan alam. Kedua, pemerintah harus memiliki data base wilayah yang rawan terjadi bencana, kemudian menginformasikan secara terbuka kepada masyarakat luas. Ketiga, daerah yang memiliki rawan bencana jauh-jauh hari harus mengalokasikan dana dan menyiapkan tempat untuk merelokasi warganya yang dimungkinkan akan terkena bencana.

Sedangkan untuk jangka panjang, sebaiknya dilakukan reformasi secara menyeluruh dalam hal pengelolaan lingkungan, terutama landasan dan penegakan hukum pengelolaan lingkungan. Misalnya saat ini sedang dibahas Raperda RTRW (rencana tata ruang propinsi) Jawa Timur. Sebaiknya jangan di dominasi oleh eksekutif, legislatif dan para konsultan yang dibayar untuk membuat dokumen itu. Tetapi melibatkan multi stake holder yang dalam hal ini akan terkena dampak dan berkepentingan terhadap masa depan penataan ruang di Jawa Timur. Sebab tidak sedikit akibat salah kelola ruang, terjadi degradasi alam yang berkontribusi pada krisis lingkungan dan akhirnya berujung pada bencana alam. Karena indikasi Jawa Timur sebagai daerah padat modal “investasi” jelas akan banyak proyek-proyek besar. Mulai pertambangan, waduk, jalan lintas selatan dan terjadinya alih fungsi lahan untuk proyek infrastruktur menyiratkan ancaman akan terjadinya bencana secara luas.

Akhirnya, sudahkah kita siap menghadapi tahun penuh ketidakpastian, bencana dan konflik yang berpotensi terjadi di Jawa Timur di akhir tahun 2005 dan awal tahun 2006 dengan sumber daya yang ada saat ini?