Lumpur Lapindo dan Keserakahan


Lumpur Lapindo Tanggungjawab Siapa?

 Memasuki bulan ke sembilan, sejak terjadi luapan lumpur panas Lapindo Brantas di Sidoarjo Jawa Timur (29 mei 2006). Lumpur yang suhunya encapai 600C dan disertai bau busuk gas hidrosulfida (H2S) serta  amoniak (NH3) sejak 29 mei 2006 lalu. Belum ada tanda-tanda kapan berhentinya aliran lumpur tersebut. Berbagai dampak terjadi secara meluas, tetapi siapa saja pihak yang seharusnya bertangungjawab belum juga ditetapkan sebagai tersangka dalam rangkaian proyek industri migas di Sidoarjo ini.

Meskipun beberapa waktu yang lalu Kepolisian Daerah Jatim telah menetapkan enam tersangka yang terdiri dari para operator lapangan (Kompas, 12/7/2006). Pada awalnya blow out ini diklarifikasi terkait ekses bencana gempa Yogyakarta dan Jawa Tengah, ternyata tidak terbukti. Dan pada tanggal 30 Mei 2006 induk perusahaan Lapindo Brantas yakni PT. Energy Megah Persada (EMP) Tbk. Mengeluarkan release yang ditandangani oleh director PT. EMP Mr. Thomas Leo Soulsy. Menurutnya sumur Banjarpanji-1 mengeluarkan gas, uap dan air ke permukaan, serta kejadian tersebut tidak berakibat pada rusaknya barang-barang pihak ketiga. Betapa arogan dan kontras sekali pernyataan ini dengan situasi kenyataan di lokasi.

Untuk bencana industri pertambangan secara umum di Jawa Timur, ini bukan kejadian pertama, meskipun blow out lumpurnya adalah yang pertama kali di Jawa Timur. Pada tahun 2000 eksplorasi PT. Premier Oil di Blok Pangkah di perairan Kecamatan Ujung Pangkah Kabupaten Gresik telah menumpahkan minyak mentah. Akibatnya banyak nelayan dan masyrakat pesisir yang melakukan protes, karena jala dan alat tangkap mereka lainnya terganggu. Begitu juga yang terjadi di Desa Rahayu Kecamatan Sooko Kabupaten Tuban pada tahun 2001, tambang migas PT. Devon Kanada yang sekarang dikelola PT.Petrochina menyemburkan gas H2S yang mengakibatkan 26 orang pingsan di tengah sawah. Keduanya tidak ada tindakan yang cukup berarti pada konteks pertanggungjawaban oleh korporasi sebagai pelaku.

Ada kesamaan sebab dari kejadian Gresik, Tuban dan Sidoarjo adalah pelakunya, ketiganya dilakukan oleh perusahaan tambang migas. Hanya kalau di Gresik dan Sidoarjo terjadi pada saat eksplorasi, sementara Tuban sudah eksploitasi. Namun terlepas dari proses eksplorasi dan eksploitasi, sebenarnya tahap-tahap aktivitas pertambangan migas bisa dilakukan oleh perusahaan yang mengantongi surat ijin administratif sesuai dengan aturan yang berlaku.Diantaranya adalah surat ijin usaha pertambangan (IUP) dan pemegang usaha pertambangan (PUP). Jika dia telah mendapat ijin ini dan selanjutnya bila si perusahaan mau melakukan eksplorasi, maka dia harus mendapatkan ijin eksplorasi. Dan mestinya ijin ini tidak dikeluarkan asal-asalan, tetapi melalui suatu assesment dan kelayakan yang komperehenship. Ini pun belum lengkap jika si pemegang IUP, PUP dan ijin eksplorasi belum mengantongi ijin lokasi yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah Tingkat II setempat, eksplorasi tidak dapat dilakukan.

Sumur Banjarpanji-1 merupakan perluasan dari  rencana pnegelolaan kandungan migas di Blok Brantas, yang meliputi tiga Kabupeten (Sidoarjo, Mojokerto, Pasuruan).  Yang rencananya akan ada 49 titik sumur pengeboran, yang meliputi 42 Desa. Dengan kejadian luapan lumpur disertai gas beracun ini telah membawa multiplayer efek lintas sektor, mestinya pimpinan perusahaan pemegang IUP dan PUP sudah bisa ditangkap dan diadili jika merujuk UU No.23 th.1997 di pasal 46 dan 47. Mengingat kasus ini layak dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan oleh perusahaan (eco corporate crime).

Kasus ini merupakan masalah  publik, karena pengelolaan sumber daya alam strategis ”migas” merupakan kebutuhan strategis untuk menggerakkan berbagai sektor pembangunan lainnya. Dampak dari bencana lumpur juga mengakibatkan kerugian publik yang sangat besar, rusaknya lingkungan dan ekosistem sekitar, terganggunnya infrastruktur trasportasi wilayah, terhambatnya pergerakan barang dan orang , meruginya kegaitan industri disekitarnya, proses produksi sawah dan tegalan masyarakat dan terganggunnya kehidupan sosial masyarakat yang menjadi korban. Dalam proses penegakan hukum dan penuntasan perkara, seharusnya aparat penegak hukum menggunakan pendekatan asas equality before the law (persamaan di muka hukum) terhadap siapapun yang bertanggungjawab (yang melaksanakan, menyuruh, turut serta dalam melakukan dan siapa yang jadi pimpinan di perusahaan). Dan diperlukan keterlibatan publik melalui transparansi gelar perkara kepada publik dalam perkara ini.

Pembuktian kejahatan lingkungan korporasi, bisa dibaca melalui logika alur proyek yang terkait data tentang titik akhir pengeboran (drilling) saat terjadinya blow out lumpur dan uap gas H2S. Dimana yang namanya rencana pengeboran (drilling planning) dalam  eksplorasi adalah bagian dari perencanaan strategis pemegang ijin eksplorasi. Erdasarkan data dari berbagai media, rencananya titik akhir dari pengeboran di Sumur Banjarpanji-1 adalah 10.000 feed. Sementara saat terjadinya luapan lumpur panas titik terdalam yang dicapai adalah di kisaran antara 8000-9000 feed. Ini artinya si operator pengeboran sebagai pelaksna hanya menjalankan kontrak saja. Saat belum melebihi titik terdalam yang ditentukan, yakni diatas 10.000 feed. Kecuali ketika si operator melebihi titik terdalam dari perencanaan pengeboran.

Pertanyaannya, kenapa pihak yang menyuruh dan pimpinan perusahaan yang mendapat ijin eksplorasi belum disidik dan jadi tersangka? Selain itu, dalam proses eksplorasi kan ada si pemberi ijin ”institusi pemerintah” dan pihak yang ditugasi untuk melakukan fungsi pengawasan drilling. Berdasarkan proses penyidikan, pihak pemberi ijin dan pengawas proyek belum dipanggil untuk diperiksa. Mengingat mereka yang memantau day to day kondisi dilapangan, sampai sekarang tidak kedengaran suaranya dan belum dimintai tanggungjawabnya dalam melakukan fungsi pengawasan.

Industri migas memang penuh dengan standart complexity and high technology. Bukti dilanggarnya pemasangan block cassing dengan sengaja sebagai standart eksplorasi drilling tidak dipenuhi oleh si perencana di sumur Banjarpanji-1, sepertinya bukan kemauan operator pengeboran saja. Sangat mungkin dia hanya menjalankan kontrak dan perintah yang tidak mensyaratkan pemasangan block cassing dengan si pemegang IUP. Berdasarkan situasi ini, apakah para operator layak ditetapkan sebagai tersangka utama?

Sampai kapan para saudagar yang di untungkan ini segara ditangkap dan diadili? Tentunya kembali pada kemauan para penegak hukum dan dukungan publik untuk melihat kenyataan ini lebih jernih atas prinsip-prinsip keadilan sosial. Sebab Jawa Timur adalah kawasan rentan bencana industri pertambangan, mengingat saat ini telah ditetapkan ada 28 blok migas diseluruh wilayah Provinsi Jawa Timur (Sumber: Direktorat Eksplorasi dan Eksploitasi Dirjen Migas). Luasan wilayah blok ini mulai dari Kepulauan Madura, Bawean, Lepas pantai Kabupaten Gresik, Tuban, Bojonegoro, Soidoarjo dan beberap tempat lainnya. Khusus untuk eksplorasi dan eksploitasi, ditargetkan akan ada pengeboran di 112 titik sumur lebih  yang siap di eksplorasi dan di eksploitasi (statemen Kepala Dinas ESDM Jatim di TVRI Surabaya).

Tentunya  ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, publik di Jawa Timur Khususnya dan Indonesia pada umumnya. Mulai bagaimana menuntut pertanggungjawaban, baik secara hukum maupun secara sosial, seperti tanggungjawab untuk melakukan penanganan kepada pihak yang dirugikan. Dan kita berharap aparat penegak hukum sebagai institusi publik (badan negara) yang diberi kewenangan atas nama Undang-undang harusnya menjadi garda utama dalam menegakkan hukum. Persoalan sebab dan dampak meluas dari banjir lumpur dan uap gas H2S, sudah jelas alur prpyek dan pihak mana saja yang perlu segera di sidik dan ditetapkan sebagai tersangka. Maka kepada pihak penegak hukum, mari kita yakinkan bahwa ini bukan persoalan bisa atau tidak aparat hukum menegakkan hukum, tetapi mau atau tidak aparat menegakkan hukum yang seadil-adilnya.

Sebab jika keadilan tidak terjadi pada kasus ini, maka saat 28 blok migas lain di Jatim nanti beroperasi dan terjadi bisa saja hal serupa ”bencana industri migas”, akan terjadi kembali. Dan para korban, baik masyarakat maupun ekosistem lingkungan hidup dan sektor sosial lainnya akan semakin pesismis berharap datangnya keadilan. Dan dengan makin tidak adanya  ketidakadilan kesekian kalinya di negeri ini, semakin memperjelas sebenarnya bahwa hukum sering berlaku untuk yang lemah, laiknya para operator pengeboran. Sementara induk perusahaan, para pimpinan/direksi perusahaan eksplorasi tambang migas yang penuh dengan kekayaan dan dekat dengan kekuasaan masih lebih aman dan bisa dihindarkan dari tanggungjawab sebagaimana mestinya. Semoga ini tidak terjadi.

 

Identitas Penulis                 : Ridho Saiful Ashadi

Jabatan                               : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur

HP                                           : 081. 5509. 3589

Email Pribadi                        : ipulsuroboyo@gmail.com 

 

 

Tinggalkan komentar