Penuhi Hak Azasi Korban Lumpur


Penanggulangan Korban Lumpur Berbasis HAM

 

Penanggulangan korban lumpur sampai saat ini terkesan karitatif dan parsial. Penanganan dilakukan dengan tidak mengurai akar masalah yaitu, kerusakan lingkungan tidak diurus secara serius dan belum ada strategi krisis untuk menghadapi bencana ekologis atau malapetaka kehidupan sosial akibat kerusakan lingkungan.

Kandungan zat berbahaya dalam lumpur yang keluar sejak 29 mei 2006, sekarang debitnya mencapai 126.000/hari. Yag mengancam menenggelamkan lebih dari 17 Desa di Sidoarjo. Kontroversi pembuangan lumpur ke laut menimbulkan beragam pendapat, ketika lumbur ini diindikasi mengandung bahan berbahaya atau tidak. Sayangnya penyempitan persoalan hak azasi warga negara atas lingkungan didorong pada perdebatan  “lebih penting mana ikan atau manusia?”. Jelas manusia harus diutamakan terlebih dahulu, terutama penanganan kepada mereka yang telah terendam! Tetapi memberikan jaminan kepada  korban lain dan calon-calon korban yang akan tenggelam dan terkena dampak buangan ketika lumpur ini dialirkan ke sungai-laut juga sama pentingnya. Sebab jika tidak, maka ini memindah masalah dan bisa menimbulkan persoalan ketidakadilan baru ditempat lain.

Masyarakat pesisir menyandarkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sosial budayanya dari perairan dan hasil laut. Selain itu juga perlu ada formula resolusi konflik untuk antisipasi agar konflik horisontal antar korban jangan sampai terjadi. Sebab reaksi yang pernah ditunjukkan oleh para petambak, buruh tambak, pedagang ikan, nelayan Pasuruan, nelayan Madura, pengolah ikan dan hasil laut dipesisir, dll. tidak boleh dikesampingkan. Sebab mereka juga warga negara yang sah dan diakui hak-haknya yang rentan untuk kehilangan harapan hidup.

Itulah bukti kalau dampak persoalan ini sudah meluas dan memasuki ranah kompleksitas persoalan, yang dalam pemahaman penulis masalah ini sebut sebagai masalah sosial. Apalagi mereka yang terkena dampak tidak langsung akibat mobilitas dan produktivitasnya yang terganggu belum diperhitungksn. Contohnya para penyedia jasa transportasi, pariwisata dan penginapan di Kota Batu serta kawasan sekitar Malang, serta para penjual tas dan produk lain dari bahan kulit di kawasan wisata Tangulangin Sidoarjo. Pertanyaannya sekarang, bagaimana menyiapkan skenario penanggulangan yang bisa menjangkau dan memenuhi hak-hak dasar korban disemua wilayah?

Jika itu tidak dilakukan, berarti negara telah melakukan pembiaran terhadap kerentanan yang dihadapi warga negaranya akibat salah kelola dan penanganan bencana. Tentunya dalam perspektif Hak Azasi Manusia (HAM) ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan HAM. Sebab dalam konstitusi korban adalah manusia warga negara yang dijamin, dilindungi dan harus dipenuhi hak-haknya. Tidak terpenuhinya hak rakyat atas lingkungan, sebetulnya bisa dikatakan sebuah pelanggaran “konstitusi” dan kegagalan   penyelenggara negara “absen” dalam memenuhi hak-hak rakyat atas lingkungan dan sumber-sumber kehidupan.

Secara eksplisit hak rakyat atas lingkungan telah jelas diatur dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia UUD 1945 pasal 28H ayat (1) menyebutkan ; bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bati, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam aturan yang lain telah dicantumkan dalam pasal 5 dan 8 UU RI No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa: “setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bahkan dalam dimensi hak azasi diatur secara tegas dalam UU No.39 tahun 1999 tentang HAM, seperti di pasal 3 menyebutkan; “masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Sedangkan dalam skala internasional sebagai instrumen “pengakuan” politik atas pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan memenuhi hak-hak masyarakat untuk memperolehnya, diakui dalam sidang Komisi Tinggi HAM pada bulan April 2001. Bahwa “setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup”.

            Tentu dengan melihat secara holistik dan menyiapkan seperangkat desain penggulangan berbasis hak asasi manusia yang bisa menjangkau keseluruhan hak korban perlu dilakukan. Ironisnya, saat dibentuk tim terpadu di tingkat Provinsi, sampai Timnas yang berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres), keduanya memandang keberadaan masyarakat korban sebagai obyek bencana. Korban tidak dilibatkan dan diberikan ruang dalam mengambil keputusan atas nasibnya sendiri. Akibatnya sekarang sebagian warga yang Desanya ditetapkan menjadi kawasan rawan bencana dan direkomendasikan untuk direlokasi menolak keputusan pemerintah (Kompas, 30/9/2006).

           

Manajemen Bencana Berbasis Hak Korban

            Penanggulangan bencana berbasis hak korban, menekankan diaturnya tentang pra, pada saat dan pasca bencana yang melibatkan sepenuhnya partisipasi korban. Untuk itu membangun pemahaman terhadap ruang kelola dan pemanfaatan lahan yang berbasis korban dan bencana dalam arti mengantisipasi dan memberikan jaminan penyelesaian dari dampak yang meluas  dari “bencana industri” ini perlu segera di buat. Misalnya secaras spesifik mengatur hak-hak dasar korban dan bagaimana menuntut tanggungjawab korporasi ketika menimbulkan “bencana industri” yang berakibat meluasnya dampak (kompleksitas) masalah.

Emergency respon dan skenario terburuk perlu dilakukan. Menempatkan korban sebagai subyek yang ikut memutuskan harus dikedepankan. Mau direlokasi atau tidak, menghitung secara detail kerugian dan dampak yang di derita korban, termasuk yang di pesisir dan tempat lain. Memberi ganti “layak” sesuai dengan kebutuhan dan hak-hak dasar dalam persepektif hak azasi manusia. Selanjutnya, tindakan pasca bencana juga harus dilakukan, dengan melakukan pembangunan kembali kawasan dengan perencanaan yang integrated dan penanggulangan bencana berbasis korban, yang di implementasikan dengan tindakan pencegahan. Sebab antisipasi setiap saat adalah kunci utama “penanggungan bencana”. Terutama mencegah bencana, harus membuka akses informasi dan melibatkan masyarakat secara luas “termasuk korban dan calon korban”, sebab mereka unsur penting dalam manajemen bencana terpadu.

Disisi lain. Apakah masyarakat Jawa Timur siap menghadapi bencana industri migas susulan di tempat lain? Sebab ada 28 Blok minyak dan gas yang akan dieksplorasi dan dieksploitasi, dikawasan padat huni. Padahal Peraturan Daerah Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jatim telah disahkan DPRD Provinsi yang tinggal menunggu pengesahan dari Menteri dalam negeri. Maka wajar jika kami mengajukan pertanyaan; bagaimana masyarakat dan kita semua bisa mengantisipasi dan terlibat, ketika akses informasi saja tidak dipenuhi? Semoga korban  tidak panik dan pelaku-pemberi ijin eksplorasi-eksploitasi tidak saling lempar tanggungjawab saat bencana lain terjadi. ***

 

Identitas Penulis :

Nama                      : RIDHO SAIFUL ASHADI  ( 081.5509.3589 / 031 – 71116367)

Jabatan                  : Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur,    Email: radinyono@yahoo.com

Tulisan “artikel/opini” di media yang pernah di publikasi :

1.        Ada Apa Dengan Kelangkaan BBM?                                           ( KOMPAS Jatim, 14/7/2005)

2.        Bisnis BBG Akan Geser Minyak                                                   (KOMPAS Jatim, 12/10/2005)

3.        Mewaspadai Bencana Alam Di Jatim                                      (KOMPAS Jatim,, 3/1/ 2006)

4.        Rencana Subsidi Benih Untungkan Petani?                         (KOMPAS Jatim,17/7/ 2006)

5.        Sumber Kehidupan Jatim Dibawah Kuasa Modal           (Koran SURYA, selasa 26/9/ 2006)

6.        Kedaulatan Pangan dan Nasib Tragis Petani                        (KOMPAS Jatim, 27/9/2006)

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar